MUTIARA ILMU: HISTORIS THORIQOH TIJANIYAH

Kamis, 29 Agustus 2024

HISTORIS THORIQOH TIJANIYAH




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA


Saya berbincang dengan pimpinan thoriqah tijaniyah cabang Jember KH. Nurhasan bersama jamaahnya di kediaman ibu Siti Aminah, S. Ag., MM. hingga larut malam. 

Perbincangan itu cukup antusias pasalnya menyangkut histori thoriqah tijaniyah perspektif sejarah sebagai akar ideologi para pengamalnya. Ini penting dibincangkan untuk mengokohkan keyakinan mereka.

Thariqah Tijaniyah berdiri pada tahun 1196 H/1781 M. yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani Al-Jazairi. Nama At- Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suku yang hidup di sekitar wilayah Tilimsan, Aljazair. Kabilah Tijanah adalah keluarga Syekh Ahmad At-Tijani dari pihak ibu dan pada kabilah inilah lebih dikenal sebutan marganya sehingga lazim disebut dengan Tijani. Dari keluarga besar atau kabilah Tijanah ini banyak lahir ulama dan wali-wali agung.

Nasab beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Abu Al-'ld bin Salim bin Ahmad (Al-'Ulwani) bin Ahmad bin 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul-Jabbar bin Idris bin Idris bin Ishaq bin 'Ali Zainal 'Abidin bin Ahmad bin Muhammad (Nafs Az-Zakiyah) bin 'Abdullah Al-Kamil bin Hasan As-Sibth bin Hasan Al-Mutsanna bin 'Ali dan Fathimah binti Rasulullah.

Ahmad At-Tijani dilahirkan (1150 H/1737 M) di 'Ain Madhi atau biasa juga disebut Madhawi masuk wilayah Tilmisan selatan Aljazair. Ahmad At-Tijani sejak kecil sudah digembleng dengan pendidikan yang ketat sehingga pada umur 7 tahun sudah hafal al-Qur'an di bawah bimbingan Syekh Sayyid 'Isa di daerah Ukazh Madhi.

Sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai macam cabang ilmu seperti Fiqh, Ushul Fiqh, dan sastra dari Syekh Al-Mubarak bin Rusyd dan Syekh Al-Ahdhori. Beliau dikenal dengan kecerdasan, ketekunan, memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga pada usia 20 tahun telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.

Pada tahun 1171, saat usia Ahmad At-Tijani menginjak 21 tahun, beliau pindah ke kota Fez, Maroko, yang pada saat itu menjadi pusat studi ilmu agama di wilayah barat sebagaimana kota Kairo, Mesir. Di kota ini beliau mempelajari kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah karya Syekhul-Akbar Ibnu 'Arabi (w. 638 H/1240 M) di bawah bimbingan Ath-Thayyib bin Muhammad Al-Yamhali dari Hibthi dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Wanjali (w.1185).

Ketika Syekh Ahmad At-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti beberapa thariqah, di antaranya adalah; Thariqah Qadiriyyah di bawah bimbingan langsung Syekh 'Abdul-Qadir Al-Jilani; Thariqah Nashiriyyah yang diambil dari Syekh Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah; Thariqah Ahmad Al-Habib bin Muhammad; Thariqah Malamatiyyah di bawah bimbingan Syekh Abu 'Abbas Ahmad Ath- Thawwas.

Kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren) Syekh 'Abdul-Qadir bin Muhammad Al-Abyadh dan menetap beberapa saat kemudian kembali ke Tilmisan. Pada tahun 1186 H, Beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke makam Nabi Muhammad. Dalam menempuh perjalanan panjang ke Makkah, beliau menjumpai tokoh-tokoh Sufi dan sekaligus mendalami ilmu tasawuf.

Beliau tiba di Desa Azwari wilayah Aljazair dan menjumpai Sayyid Ahmad bin 'Abdur-Rahman Al-Azhari (w.1198) seorang tokoh Thariqah Khalwatiyyah dan beliau mendalami thariqah ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunisia dan menjumpai Syekh 'Abdus-Shamad Ar-Rakhawi (w. 1196 H). Di kota ini beliau belajar thariqah sambil mengajar ilmu tasawuf, diantara kitab yang diajarkan adalah Al-Hikam.

Kemudian beliau meneruskan safar ke Mesir menjumpai Shufi dari Thariqah Kholwatiyyah, Syekh Mahmud Al-Kurdi (w.1208 H), sembari mendalami Thariqah Kholwatiyyah. Pada bulan Syawwal tahun 1187 H. sampailah beliau ke Makkah. Pada waktu di Makkah ada seorang wali bernama Syekh Al-Imam Abu Al-'Abbas Sayyid Muhammad bin 'Abdillah Al-Hindi (w. 1187 H). Setelah melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad At-Tijani terus berziarah ke makam Nabi Muhammad. Di kota Madinah beliau menjumpai seorang Wali Quthub Syekh Muhammad bin 'Abdullah As-Samman (w. 1775 M.) yaitu seorang mursyid Thariqah Khalwatiyyah dengan maksud untuk mendapatkan ajaran-ajaran sebagai persiapan masa depan.

Dalam perjalanan pulang ke Aljazair, Syekh Ahmad At-Tijani menjumpai gurunya di Mesir yaitu Syekh Mahmud Al-Kurdi, dengan tujuan untuk mendiskusikan tentang masalah tasawuf yang sulit dipahami (musykil). Dalam waktu yang relatif lama beliau tiap hari berdiskusi dengan Syekh Mahmud Al-Kurdi, sampai akhirnya Syekh Mahmud Al-Kurdi mengangkat Syekh Ahmad At- Tijāni sebagai khalifah Thariqah Khalwatiyyah di wilayah Maroko.

Pada tahun 1196 H, tepatnya ketika Syekh Ahmad At-Tijani berusia 46 tahun, beliau pergi ke pedalaman Aljazair tepatnya di Desa Abu Samghun untuk melakukan khalwat hingga di situlah beliau mendapatkan Al-Futüh (keterbukaan). Beliau bertemu Rasulullah dalam keadaan sadar, terjaga bukan dalam keadaan mimpi. Selanjutnya Rasulullah membimbing (menalqin) Syekh Ahmad At-Tijani dengan membaca istighfar 100 kali, Shalawat 100 kali dan selanjutnya Rasulullah bersabda:

لَا مُنَّةَ لِمَخْلُوقٍ عَلَيْكَ مِنْ أَشْيَاحَ الطَّرِيقِ فَأَنَا وَاسِطَتُكَ وَ مُمِدُّكَ عَلَى التَّحْقِيقِ. فَاتَرُكْ عَنْكَ جَمِيعَ مَا أَخَذْتَ مِنْ جَمِيعِ الطَّرِيقِ وَ قَالَ لَهُ : الْزَمْ هَذِهِ الطَّرِيقَة مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ وَ لَا اعْتِزَالَ عَنِ النَّاسِ حَتَّى تَصِلَ مَقَامَكَ الَّذِي وُعِدْتَ بِهِ وَ أَنْتَ عَلَى حَالِكَ مِنْ غَيْرِ ضَيْقٍ وَ لَا حَرَجٍ وَ لَا كَثْرَةِ مجَاهَدَةِ وَ اتْرُكُ عَنْكَ جَمِيعَ الْأَوْلِيَاء

"Tidak ada karunia bagi seorang makhluk dari guru-guru thariqah atas kamu, maka akulah perantara dan pembimbingmu secara nyata. (Oleh karena itu) tinggalkanlah semua thariqah yang telah kamu ambil. Tekunilah thariqah ini tanpa khalwat dan menghindari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan kepadamu dan kamu tetap berada pada keadaanmu tanpa kesempitan, tanpa susah payah, tidak banyak mujahadah dan tinggalkanlah semua wali.”

Empat tahun berikutnya, ketika berusia 50 tahun, Syekh Ahmad At-Tijani mencapai martabat Al-Quthb Al-Kamil, Al-Quthb Al-Jami dan Al-Quthb Al-'Uzhma, yang pengukuhannya di Padang 'Arafah, Makkah Al-Mukarromah. Pada tahun yang sama, hari ke-18 bulan Shafar, beliau dianugerahi sebagai Al-Khatm Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh jamaah, ikhwan, dan para muhibbin Thariqah Tijaniyah sebagai 'Idul-Khatmi.

Syekh Ahmad At-Tijani meninggal di Fez Maroko 1230 H. Sejauh ini At-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam thariqahnya. Ajaran-ajaran thariqah ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir Al-Ma'ani wa Bulūgh Al-Amani fi Faidhi Asy-Syekh At-Tijani, Kasyf Al-Hijab 'Amman Talaqqa Ma'a At-Tijäni min Al-Ahzab, dan As-Sirr Al-Abhar fi Aurad Ahmad At-Tijäni. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid At-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Thariqah Tijaniyah pada abad ke-19.

Al-Muhaddits Muhammad bin 'Ali Al-Hakim At-Tirmidzi (penyusun Kitab Nawadirul-Ushūl Fil-Hadits) menyatakan makna sebenarnya dengan istilah khatmul-auliya’, beliau berkata,

و ليس معناها ان صاحب هذه المرتبة هو اخر الأولياء و لكن معناها انه اتم مقامات الولاية وبلغ اعلى مرتبة فيها (الواردات : ١٢٦(

“Makna khatmiyah (penutup) bukanlah bahwa pemilik martabat ini merupakan akhir para wali. Tetapi dia paling sempurna maqam wilayahnya dan mencapai kedudukan (martabat) paling tinggi di dalamnya."

Perkembangan Thariqah Tijaniyah

Pada tahun 1789 M, Syekh Ahmad At-Tijani pindah dan menetap di kota Fes Maroko. Syekh Ahmad At-Tijani mengajak Sultan Maulana Sulaiman (W. 1238 H) untuk mengembangkan thariqah ini di wilayah kerajaannya yaitu Maroko. Sampai Syekh Ahmad At-Tijani meninggal dunia pada hari Kamis tanggal 17 Sya'ban 1230 H. dan dimakamkan di kota Fes Maroko. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu; Sayyid Muhammad Al-Habib dan Sayyid Muhammad Al-Kabir. Sejak dimulai pada tahun 1787, selain di Maroko, pengikutnya kemudian banyak tersebar di Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Sudan, Mauritania, Senegal dan Nigeria.

Thariqah Tijaniyah dibawa masuk ke Indonesia kira-kira tahun 1920-an oleh seorang ulama kelahiran Makkah, 'Ali bin 'Abdullah Ath-Thayyib Al-Azhari. Awal perkembangannya di Tanah Air, thariqah tersebut mendapatkan penentangan dari thariqah-thariqah lain yang lebih dahulu ada dan telah mapan, antara lain Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syathariyyah, Syadziliyyah dan Khalwatiyyah.

Perkembangan Tijaniyyah di Indonesia tidak begitu pasti diketahui kapan waktunya, tetapi munculnya Thariqah Tijaniyyah ini bisa ditandai dengan dua fenomena yang terjadi, yaitu adanya gerakan Tijaniyyah di Cirebon pada tahun 1928 dengan adanya pengajaran Tijaniyyah di Pesantren Buntet oleh Kiai Anas dan fenomena yang kedua yaitu dengan hadirnya Syekh 'Ali bin 'Abdullah Ath-Thayyib dengan mengajar Tijaniyyah di Tasikmalaya pada awal abad ke-20 M. Beliau juga menulis kitab Munyat Al-Murid yang menjelaskan mengenai sanad Thariqah ini dari guru-gurunya terdahulu, yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya secara meluas.

Perselisihan mengenai Thariqah Tijaniyah reda setelah Muktamar Jam'iyyah Nahdlatul Ulama ke III tahun 1928 di Surabaya yang memutuskan bahwa Thariqah Tijaniyah adalah mu'tabarah (diakui secara absah). Keputusan tersebut diperkuat kembali di dalam Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon, bahwa Thariqah Tijaniyah termasuk dalam kategori thariqah yang mu ‘tabarah.

Saat ini Thariqah Tijaniyah merupakan salah satu dari 43 Thariqah Mu'tabarah Indonesia atau thariqah yang diakui keabsahannya. Jumlah jamaah thariqah ini di Tanah Air sekitar 10 juta jiwa. Dan, sekitar 40 persen dari mereka adalah kalangan kiai dan pemimpin pondok pesantren yang tersebar di 14.657 pesantren. Di beberapa tempat, thariqah ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur Pulau Jawa.

Amalan dan Ajaran Thariqah Tijaniyah

Amalan wirid Thariqah Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu: istighfar, shalawat dan tahlil. Di dalam Thariqah Tijaniyah terdapat dua macam zikir yaitu zikir lazim (yang harus diamalkan) dan zikir ikhtiyari (yang lebih baik kalau diamalkan). Thariqah Tijaniyah menitik beratkan zikir-zikir pagi dan sorenya dengan istighfar, shalawat, dan tahlil.

اما اوراده التي تلقن الخلق هي : استغفر الله مائة مرة و الصلاة على رسول الله باي صيغة مائة مرة ثم الهيللة مائة مرة (جواهر المعاني ج:۱ ص: ۱۰۳ / ميزاب الرحمة ص : ١٨ / الفتح الرباني ص : ٦٩(

"Adapun beberapa wirid Syekh Ahmad At-Tijäni yang ditalqinkan kepada semua makhluk adalah Astagfirullah 100 kali, shalawat kepada Rasulullah dengan bentuk lafal apapun 100 kali dan tahlil 100 kali."

Syekh Ahmad At-Tijäni mengembangkan thariqah At-Tijani menggabungkan dua corak metode tasawuf yaitu; tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Hal ini dapat dilihat dari ajaran Syekh Ahmad At-Tijani tentang maqâm Nabi Muhammad sebagai Haqiqat Al-Muhammadiyyah dan Wali Khatam. Lalu muncul shalawat Al-Fatih dan shalawat Jauhar Al-Kamal,

Thariqah Tijaniyah tidak ada larangan ziarah, yang ada ialah mengatur berziarah. Lebih-lebih ziarah semua aulia sangat dianjurkan, karena mereka kekasih Allah dan kita juga wajib mencintainya. Ziarah sesama muslim hukumnya Sunah baik waktu masih hidup atau sudah mati. Jadi ziarah kita ke orang shalih atau muslim selain ikhwan At-Tijani semata-mata karena silaturahmi dan hadiah Al-Fatihah.

ان شيخنا لم ينه احدا من طريقته من التعلم من جميع الأولياء والعلماء ولا من حضور مجالسهم ولا من استماع مواعظهم وكلامهم ولا من التواصل في الله و الرحم (ما ع ١ / ١٤٥(

"Bahwa Sayyidi Syekh Ahmad At-Tijäni tidak melarang ziarah secara umum, karena beliau tidak pernah melarang siapapun dari pengikut Thariqahnya menuntut ilmu kepada semua Wali atau Ulama, tidak melarang menghadiri majelis (ta'lim) mereka, tidak melarang mendengarkan wejangan-wejangan dan perkataan mereka dan tidak melarang mengadakan hubungan karena Allah dan silaturahmi.”

Dan Ikhwan Tijäni berkewajiban menuntut ilmu untuk menjaga 'aqidah dan amal ibadah.

اعلم انه على كل مكلف ان يحصل من العلم ما يضح به اعتقاده على مذهب السنة والجماعة وما تضحونه اعماله على وفق الشريعة المطهرة (ما ع ١/ ٩٩(

“Ketahuilah, bahwa semua orang mukallaf berkewajiban menghasilkan ilmu yang menjadikan sah aqidahnya sesuai dengan madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah dan ilmu-ilmu yang menjadikan amal ibadahnya sehingga cocok dengan Syari'at yang suci itu.”

Syekh At-Tijani banyak mengingatkan dan berpesan agar selalu takut kepada Allah, tidak menyalahi perintah-perintah-Nya dan merasa aman dari murka Allah serta supaya waspada dari dosa- dosa dan maksiat. Beliau berkata,

فليحذروا من معاصى الله و من عقوبته و من قضي الله عليه منكم و العبد غير معصوم فلا يقربنه الا وهو باكي القلب خاف من عقوبة الله )ميزاب الرحمه ص : ٢٩(

"Hendaklah kalian takut dari maksiat-maksiat kepada Allah dan siksa-Nya. Siapa yang telah melakukannya dari kalian (dengan ketetapan Allah juga) dan seorang hamba memang tidak ma'shum, maka jangan mendekat kepada Allah, kecuali dengan hati yang menangis dan takut akan siksa Allah."

Jama'ah Thariqah Tijaniyah pada hari Jumat setelah Ashar akan melakukan zikir, mengingat Allah dan banyak berdoa kepada Allah. Baik sendiri atau pun berjama'ah. Karena waktu akhir Jum'at merupakan waktu yang dianggap mustajab untuk berdoa. Nabi mengingatkan supaya banyak berdoa dan mengingat Allah pada hari Jumat setelah Ashar.

Hal yang ditekankan dalam Thariqah Tijaniyah bagi jamaahnya adalah istiqamah, bukan karamah.

كن طالب الاستقامة ولا تكن صاحب الكرامة فإن نفسك تتحرك في طلب الكرامة ومولاك يطالبك و كن بحق مولاك اولى بك ان تكون بحظ نفسك وهواك )بغية المسقيد : ۲۰۸(

"Jadilah orang yang berusaha istiqamah dan jangan mengharap karamah. Sesungguhnya nafsu bergejolak dalam mencari karamah, tetapi Tuhanmu menuntut istiqamah. Kamu tidak akan dapat mengutamakan Tuhanmu selama kamu mementingkan bagian nafsu dan keinginanmu."

Syekh Ahmad At-Tijani banyak berlindung diri dari mengaku-ngaku sesuatu yang tidak sesuai dengan kedudukan atau maqamnya, baik karamah atau lainnya. Beliau berkata,

ان عقوبتها اي الدعوى الموت على سوء الخاتمة ( ميزا ب الرجمة : ١٠(

"Sesungguhnya siksanya (pengakuan) adalah mati secara su'ul khatimah."

Demikianlah sekilas pengantar tentang Thariqah At-Tijaniyyah. Lebih rinci, kami persilakan datang ke mursyid, kholifah atau badal At-Tijaniyyah di daerah terdekat.

Salam al-Mihrab Foundation, Jatibarang Brebes, 30 Agustus 2024. Artikel ini ditulis hasil dari diskusi dengan para pegiat dan pengamal thoriqah tijaniyah asal kota Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar