MUTIARA ILMU: Sang "Bapak Pramuka"

Kamis, 14 Agustus 2025

Sang "Bapak Pramuka"

[Special Story] Pengorbanan Sang "Bapak Pramuka", Penyelamat Republik Di Belakang Layar
Membahas tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX terutama dari sudut pandang kepramukaan, mungkin hal yang paling sering kita lihat atau dengar adalah biografi singkat beliau beserta perannya dalam perkembangan Gerakan Pramuka Indonesia. Namun, sepertinya tak banyak tulisan atau artikel yang mencoba membahas tentang peranan penting beliau dalam sejarah berdirinya NKRI, dukungan yang beliau berikan kepada Indonesia yang kala itu baru berdiri dan tentunya berbagai "sisat" beliau sebagai raja untuk rakyatnya di Yogyakarta. Hal ini memang bisa dimaklumi karena memang akan terasa 'out-of-the topic' dengan konteks kepramukaan dan tentunya karena adanya aspek politik didalamnya.
Sang Pahlawan Nasional (Berdasarkan Kepres No. 53/TK/Th 1990) sekaligus salah satu dari 4 Pramuka Indonesia hingga saat ini yang mendapatkan penghargaan Bronze Wolf WOSM tersebut memang merupakan tokoh krusial dalam berjalannya Negara Indonesia yang masih "belia". Beliau bukanlah tipe orang yang suka "gambar-gembor" sehingga memang nama beliau seakan kalah bersinar jika dibandingkan dengan Dwitunggal (Sukarno - Hatta) bahkan Suharto dan Adam Malik meskipun kala itu beliau masuk ke jajaran "tri tunggal" ketika masa peralihan ke orde baru. Meskipun begitu, peran beliau terhadap negara maupun rakyat khususnya Yogyakarta tetap dapat dirasakan hingga sekarang. Karena itu, untuk menyambut post sebelumnya, saya akan mencoba merangkum 'special story' ini. Meskipun memang sedikit panjang dari biasanya namun setidaknya dapat memberikan sedikit informasi sejarah baru bagi kita semua....
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang raja didalam sebuah republik. Pada awal kemerdekaan Sang Raja mengeluarkan maklumat bahwa ia bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. Ketika Yogyakarta yang kala itu menjadi ibukota jatuh, ia letakan jabatan kepala daerah sebagai tanda bahwa beliau tak mau bekerja sama dengan Belanda. Beliau bahkan menolak tawaran untuk menjadi "wali" bagi Jawa dan Madura dari Belanda. 
Ketika pemimpin negara berangkat ke Den Haag mengikuti Konferensi Meja Bundar yang bersejarah itu, ia tetap tinggal di Yogyakarta dan beliau pula lah yang menerima penyerahan kedaulatan di Jakarta. Dukungan Sri Sultan kepada RI memang sangat total hingga ke urusan finansial dimana beliau rela berkorban mengeruk kas kraton demi Indonesia 'muda'. Namun, ia tak mau jasanya itu digambar-gembor kan, itulah sebabnya artikel Jusuf Ronodipuro yaitu "Episode Bangka" yang menceritakan pemberian cek 6 juta gulden (sekitar 47 triliun rupiah, konversi Januari 2022) kepada Presiden Sukarno yang sedianya dimuat dalam buku 'Tahta untuk Rakyat' tak terjadi karena Sri Sultan melarangnya.
Ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan pada jam 10 pagi, Jumat 17 Agustus 1945. Selang 2 jam kemudian masjid-masjid besar di Yogyakarta juga mengumumkan kabar proklamasi kemerdekaan kepada jemaah sholat Jumat sekaligus seluruh rakyat kala itu. Petang harinya, Ki Hajar Dewantara mengerahkan guru dan murid Taman Siswa untuk pawai bersepeda keliling kota Yogyakarta sekaligus memekikkan kata "Merdeka". Beberapa jam setelahnya, Sri Sultan mengirimkan telegram ucapan selamat atas terbentuknya NKRI kepada Sukarno, M. Hatta, serta ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Dua hari kemudian, sebuah pesan telegram susulan dari Yogyakarta datang yang menegaskan Yogyakarta "sanggup berdiri dibelakang pimpinan mereka" yang juga sekaligus menjadi pernyataan bahwa Yogyakarta bergabung ke wilayah Republik Indonesia. Sebuah pernyataan yang 'mengejutkan' karena sang Raja Yogyakarta kala itu yang masih dibawah pemerintahan jajahan, pasukan Jepang yang masih tersebar dan Belanda sebagai bagian dari sekutu pemenang perang dapat mengirim pasukan kapan saja untuk menagih kesetiaan Keraton yang diparaf Sultan sebagai salah satu syarat pelantikannya sebagai Raja Yogyakarta pada tahun 1940 sebelumnya. Meskipun begitu, Sri Sultan yang sebenarnya telah berembug dengan para abdi dalem keraton dan berbekal "Wisik" leluhur, tetap mantap menyatakan Yogyakarta sebagai bagian dari RI yang kemudian disusul dengan amanat Sri Sultan pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan Yogyakarta sebagai daerah istimewa Republik Indonesia berbentuk kerajaan yang kemudian disusul oleh Paku Alam VIII yang memberikan amanat yang sama kepada rakyatnya. Sejak saat itu, kerajaan Yogyakarta dan Paku Alaman bersatu menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta yang kita kenal sekarang dengan Sultan sebagai kepada dan pangeran Pakualam sebagai wakil pemerintahan.
Indonesia yang masih 'belia' dan tentunya banyak ancaman dari sukutu serta Belanda kala itu tak ayal membuat keamanan Jakarta sebagai ibu kota manjadi tak menentu, banyak sekali petinggi negara yang diburu oleh serdadu Belanda. Sultan Sjahrir yang kala itu menduduki posisi mentri pernah hampir tewas ketika mobilnya diberondong peluru serdadu Belanda, Sukarno-Hatta juga terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Melihat keadaan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim sepucuk surat kepada Bung Karno lewat seorang kurir yang isinya adalah tawaran pemindahan ibukota ke Yogyakarta yang segera direspon oleh presiden Sukarno dimana kemudian para petinggi negara segera menuju Yogyakarta setelah sebelumnya menyelesaikan rapat kabinet. Sri Sultan pun juga telah mempersiapkan Yogyakarta sebagai ibukota negara, termasuk dalam urusan pembiayaan yang diperlukan untuk menyokong pemerintahan. Sri Sultan juga mempersiapkan para cendikiawan dengan membangun perguruan tinggi Akademi Ilmu Pemerintah dan nantinya juga memegang peran besar dalam pendirian Universitas Gajah Mada sebagai bentuk penyediaan cendikiawan dan pemuda untuk negara kedepannya.
Cerita lainnya juga ketika Bung Karno dan pada petinggi lainnya menjalani pengasingan, Sri Sultan menjadi bagian dari delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen pasca serangan umum 1 Maret 1949. Sri Sultan juga sempat mendapatkan mandat dari Presiden Sukarno untuk memegang kekuasaan penuh dan pemerintahan Indonesia pada 1 Mei 1949 setelah Belanda pergi dari Jogja, dan kemudian menyerahkan kembali kekuasaan kepada Presiden Sukarno pada tanggal 6 Juli 1949. Saat konferensi meja bundar yang juga menjadi pengakuan kedaulatan Indonesia (kala itu RIS) oleh Belanda, Sri Sultan yang berada di Istana Gambir bersama dengan Johanes Lovink menjadi perwakilan Indonesia dan Belanda dalam penyerahan kedaulatan pemerintah RIS dari Pemerintah Belanda di Indonesia. Ketika Ratu Juliana selesai memberikan pidato sekaligus ucapan selamat atas kedaulatan Indonesia. Sri Sultan dan Lovink langsung menuju ke halaman Istana Gambir untuk melaksanakan upacara penurunan Bendera Prinsevlag (Julukan Bendera Belanda) yang diiringi dengan lagu Wilhelmus, lagu kebangsaan Belanda yang dinyanyikan oleh 28 tentara Belanda kala itu. Selang kemudian, berganti dengan penaikan bendera merah-putih yang diiringi oleh lagu Indonesia Raya. Ketika bendera sampai di puncak tiang, sontak rakyat yang telah menunggu di luar pagar istana meneriakkan kata merdeka yang terus dikumandangkan oleh rakyat. Saat itu pula, Istana Gambir berubah nama menjadi Istana Merdeka, dan gambaran proses menaikkan bendera ini dapat kita lihat saat upacara 17 Agustus setiap tahunnya. 
Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga memegang peran penting dalam "Ikhtiar untuk mengisi kantong rΓ©publik" untuk membentuk pondasi Γ©konomi pada awal Orde baru dimana pasca demokrasi terpimpin dimana perekonomian Indonesia yang morat-marit, dengan inflasi yang melambung ditambah dengan devisa negara yang kosong. Saat itulah Presiden Suharto menunjuk Sri Sultan untuk berkeliling dunia guna mencari bantuan dan menjajakan peluang investasi. Sri Sultan memegang peran penting untuk membentuk kembali kepercayaan negara Barat dan Malaysia dengan Indonesia sekaligus mendatangkan bantuan USD 30 juta dari Jepang. Sri Sultan juga berhasil meyakinkan negara luar dalam acara Tokyo Meeting tahun 1966 yang sekaligus membuka jalan Indonesia untuk menjadi warga ekonomi dunia. Langkah ini juga sempat menjadi kontroversi dinama Sultan dan pemerintah Indonesia kala itu dituding tengah berusaha "menjual Indonesia" karena banyaknya investasi asing yang masuk ke bumi pertiwi Indonesia.
Ketika ekonomi Indonesia berhasil membaik, Sri Sultan ditunjuk menjadi Wakil Presiden pada tahun 1973 hingga 1978 dan setelah tak mau memperpanjang masa jabatannya, terdapat isu bahwa hubungan Sri Sultan dengan Presiden Suharto memburuk terutama dengan alasan kesehatan yang dikemukakan Sri Sultan sebagai alasan beliau untuk menolak tawaran jabatan tersebut apalagi ditambah dengan kabar bahwa Presiden dan Wakilnya tak bertemu selama 9 bulan. Hal lainya juga adalah kontroversi pada peristiwa serangan 1 Maret dimana kala itu keluar film Janur Kuning dan komik yang sangat menonjolkan peran Suharto dalam peristiwa tersebut, dimana dikatakan bahwa peristiwa bersejarah yang mengembalikan kepercayaan rakyat kepada tentara sekaligus menarik perhatian dunia atas propaganda bohong Belanda nyatanya berawal atas usul Sultan, Jendral Sudirman sebagai pemberi perintah dan Letkol Suharto sebagai pelaksana lapangan. Dikatakan bahwa kontoversi ini juga menjadi salah satu alasan memburuknya hubungan Sultan dengan Suharto kala itu.
Salah satu cerita yang mungkin cukup populer bagi warga Yogyakarta adalah ketika beliau akan naik tahta pada tahun 1940 lalu. Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mangkat pada akhir tahun 1939, terdapat perundingan alot antara GRM Dorodjatun (Gelar Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebelum diangkat menjadi Raja Yogyakarta) dan Gubernur Yogyakarta Luciden Adam terhadap kontrak politik dimana saat Raja baru dinobatkan, maka sang Raja wajib untuk menandatangani kesepakatan yang berisi kontrak politik antara Belanda dengan penguasa lokal untuk mengakomodasi kepentingan Belanda. Praktek ini sudah dilakukan sejak era VOC pada abad ke-17 dan juga menjadi syarat bagi pangeran untuk diangkat menjadi Sultan.
Dalam buku Tahta untuk Rakyat, dikatakan bahwa negosiasi dilakukan hampir setiap hari antara GRM Dorodjatun dan Gubernur Adam bahkan dilakukan hingga 3 kali sehari. Banyak literatur yang mengatakan lelahnya Dorodjatun muda menjalani rentetan perundingan ini, terutama karena banyaknya poin pada kontrak tersebut terdapat beberapa poin yang menemui jalan buntu sehingga perundingan berlangsung alot. Namun pada Februari 1940, sikap GRM Dorodjatun tiba-tiba berubah 180° setelah mendapatkan Wisik: "Wis tho le, teken no wae Landa bakal lunga seko bumi kene" ("Sudahlah nak, tanda tangani saja. Belanda bakal pergi dari bumi ini).  Pada hari yang sama, pada sesi perundingan malam, beliau meminta Gubernur Adam untuk memfasilitasi kontrak dan ia bersedia menandatangani. Pertemuan itu berlangsung singkat, sekitar 10 menit sebelum akhirnya keduanya pulang. Kemudian pada awal bulan Maret 1940, kontrak pun ditandatangani dan GRM Dorodjatun naik takhta, ia pun dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Wisik yang diterima Sri Sultan terbukti benar karena selang 2 tahun setelahnya, Jepang menduduki Indonesia dan sempat mengusir Belanda dari bumi pertiwi.
Ketika masa pendudukan Jepang, juga terdapat sedikit cerita yang cukup terkenal dikalangan warga Yogyakarta yaitu perihal Selokan Mataram. Kala itu, Jepang membutuhkan banyak sekali sumber daya dalam perang menguasai seluruh Asia Timur yang juga ditambah dengan banyak kekalahan di sana-sini. Dalam usaha untuk menyokong kepentingan inilah, tentara Jepang merekrut penduduk lokal untuk diperas habis tenaganya sebagai romusha, dan banyak kasus dimana banyak romusha yang direkrut tak kembali lagi. Kala itu, Sri Sultan diminta untuk melaporkan hasil pertanian diwilayah Yogyakarta, namun Sri Sultan sedikit memanipulasi statistik pertanian rakyat yang tak mampu untuk mencukupi kebutuhan dimana pertanian tadah hujan tak bisa berjalan ketika musim kemarau panjang dan selalu dilanda banjir ketika musim hujan. Dan agar masyarakat terhindar dari kerja paksa itu, Sultan mengusulkan untuk membangun selokan irigasi dari Sungai Progo tembus ke Sungai Opak di Klaten dengan panjang 30 Km. Sebenarnya sejak zaman Belanda sudah ada saluran Van der Wicjk yang mengambil air dari Gunung Sumbing untuk mengairi kebun tebu milik Belanda tapi Sultan beralasan untuk melanjutkan irigasi tersebut.
Jepang pun setuju dengan usul Sultan bahkan menyediakan 1 juta gulden untuk membiayai proyek tersebut dimana pada awalnya akan dinamai dengan Kanal Yoshiro. Sultan merencanakan proyek ini untuk menyerap sebanyak mungkin rakyat untuk mengerjakan proyek tersebut sehingga Jepang tak memiliki kesempatan untuk menggunakan tenaga rakyat demi keperluan perang dan romusha, meskipun tetap ada rakyat yang diambil untuk romusha. Proyek pengerjaan Selokan Mataram dilakukan secara bertahap dan dilaksanakan dengan gotong-royong bergiliran tanpa diupah sehingga tak memberatkan rakyat dan tetap bisa mengerjakan pekerjaan pokoknya. Dikatakan juga kalau rombongan yang datang sengaja "melebihkan" jumlah anggotanya untuk mendapatkan jatah makan tambahan. Selokan Mataram ini tetap digunakan oleh masyarakat Yogyakarta hingga sekarang terutama untuk keperluan irigasi sawah.
Sejak kecil, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memang telah di didik untuk mandiri jauh dari kehidupan Putra Mahkota Keraton. Sejak kecil beliau dititipkan kepada Keluarga Mulder dan mendapat panggilan "Henkie" yang juga menjadi panggilan akrab beliau dikalangan anak Belanda hingga berkuliah di Haarlem. Dari sekolah Belanda inilah beliau mengenal dunia Kepanduan hingga akhirnya beliau menjadi sosok Bapak Pramuka yang kita kenal hingga sekarang. Terlepas mungkin dari berbagai intrik politik beliau, namun tak bisa dipungkiri memang banyak hal yang dapat kita teladani dari beliau sekaligus juga lebih mengenal peran sekaligus "pengorbanan" yang telah Sri Sultan Hamengkubuwono IX berikan kepada NKRI.
Source: Majalah Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan, 23 Agustus 2015
Dok. Pic: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar