*
https://www.walisongobangkit.com/menjaga-marwah-nu-di-tengah-distorsi-sejarah/
Oleh Redaksi walisongobangkit.com
Pada Sabtu, 10 Agustus 2025 mendatang, Masjid Istiqlal Jakarta akan menjadi panggung sebuah acara besar bertajuk “Ikrar Kebangsaan” yang digagas oleh organisasi baru bernama JATMA Aswaja. Di balik semangat kebangsaan yang dikibarkan, ada benang kusut yang layak dipertanyakan—terutama oleh warga Nahdliyyin.
Acara tersebut, yang diinisiatori oleh Habib Luthfi bin Yahya bersama mantan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini, dan bukan merupakan agenda resmi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kegiatan tersebut tidak ada kaitannya dengan organisasi NU ataupun badan otonomnya seperti JATMAN. Ini adalah fakta yang penting untuk dipahami publik, agar tidak terseret dalam narasi simbolik yang menjebak.
*Ketika Romantisme Mengaburkan Kebenaran*
Salah satu pangkal keprihatinan warga NU terhadap geliat JATMA terletak pada aspek historiografi. Buku berjudul Cahaya dari Nusantara, yang beredar di kalangan simpatisan, menyisipkan klaim bahwa Habib Hasyim bin Yahya—kakek dari Habib Luthfi—adalah salah satu pendiri NU. Padahal, berdasarkan dokumen resmi Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama tertanggal 31 Januari 1926, nama tersebut tidak tercantum dalam struktur pendiri awal NU.
Menambahkan tokoh ke dalam narasi sejarah tanpa dasar valid bukan sekadar kesalahan teknis. Itu adalah bentuk pembelokan identitas yang bisa mengikis integritas institusi. Sejarah bukan panggung fiksi, dan penulisan sejarah tidak boleh ditunggangi romantisme keturunan atau karisma individual.
*Bahaya Klaim Tak Terverifikasi*
Klaim sejarah memerlukan penopang kuat: dokumen primer, kesaksian sezaman, dan konsensus akademik. Mengandalkan tradisi lisan atau klaim personal, tanpa verifikasi, hanyalah langkah spekulatif yang berpotensi mengacaukan peta intelektual umat.
Sejarawan seperti Prof. Anhar Gonggong dan Dr. Taufik Abdullah mengingatkan kita bahwa sejarah adalah fondasi identitas bangsa. Ketika narasi sejarah dibelokkan, generasi mendatang akan tumbuh dengan identitas yang rapuh dan semu. Apa jadinya jika kebanggaan itu dibangun di atas mitos?
*Tasawuf Bukan Jalur Politik*
Lebih menyakitkan lagi bagi sebagian pengamal thariqah adalah munculnya organisasi baru yang mengatasnamakan thariqah, tapi melenggang tanpa restu dan ruh persatuan dari tubuh JATMAN—organisasi resmi dan sah di bawah NU yang telah mewadahi ribuan salik sejak 1979.
Sebagai jalan ruhani, thariqah tidak pernah membutuhkan sorotan panggung apalagi manuver organisasi tandingan. Munculnya JATMA justru mengancam keheningan spiritual yang selama ini dijaga para mursyid dengan penuh hormat dan kesabaran.
Apa motif di balik pendirian JATMA? Mengapa harus didirikan di luar struktur NU, padahal pendirinya pernah menjabat sebagai Rais ‘Aam JATMAN sendiri? Jika jawaban jujurnya adalah ambisi politik atau retakan relasi, maka umat berhak untuk bersikap kritis.
*Seruan Kritis untuk Warga NU: Menjaga Marwah, Menyelamatkan Sanad*
Kita tidak sedang memperdebatkan semangat kebangsaan, apalagi menafikan jasa sebagian tokoh-tokoh karismatik, termasuk dari kalangan habaib, yang turut serta dalam merawat wajah Islam yang ramah di Nusantara. Namun, kita patut waspada ketika sejarah mulai direkonstruksi demi kepentingan identitas kelompok tertentu, dan jalur spiritual dijadikan instrumen pencitraan politik.
Sebagai warga Nahdlatul Ulama, kita dituntut untuk jernih melihat:
*Apakah kegiatan bertajuk “Doa Bersama Ulama dan Habaib untuk Keselamatan Bangsa” pada 10 Agustus 2025 di Masjid Istiqlal benar-benar mewakili visi NU?*
Jawabannya: *tidak.*
Acara tersebut bukan agenda resmi NU, tidak berada dalam garis koordinasi struktur jam'iyyah, dan tidak mewakili sanad ruhaniyah para muassis NU. Justru, keterlibatan pihak-pihak tertentu yang mengklaim monopoli atas spiritualitas Islam Indonesia dapat mencederai keutuhan sanad keilmuan dan ruhaniyah yang telah dijaga rapi oleh para ulama NU selama lebih dari satu abad.
Karena itu, kami menyerukan kepada seluruh warga NU agar tidak menghadiri acara tersebut. Ini bukan bentuk kebencian atau permusuhan, tetapi bentuk tanggung jawab dalam menjaga marwah organisasi, menjaga akidah dari pengaburan sejarah, dan menjaga sanad dari infiltrasi simbolik.
Mari kita sadari:
Kesetiaan kita bukan pada simbol, bukan pada kelompok, tapi pada kebenaran, sanad, dan warisan para muassis NU.
Keberpihakan kita adalah pada nilai, bukan sekadar acara.
Keteguhan kita adalah menjaga NU tetap menjadi rumah besar ahlussunnah wal jamaah, bukan menjadi alat legitimasi untuk agenda-agenda yang tidak berpijak pada prinsip-prinsip keulamaan.
*Akhir Kata: Waspada dalam Iman, Kritis dalam Cinta*
Warga NU—khususnya para pengamal thariqah—harus lebih berhati-hati. Jangan sampai terhanyut dalam narasi baru yang dibangun bukan atas dasar musyawarah jamaah, melainkan keinginan pribadi. Jangan sampai sejarah yang dibangun oleh keringat dan air mata para ulama pesantren direduksi menjadi silsilah keluarga dan jaringan loyalis.
Cinta pada ulama tidak berarti taklid buta. Justru karena cinta itulah, kita harus menjaga warisan mereka dari distorsi.
Karena cinta yang sejati tidak membutakan—ia justru menuntun kepada kebenaran.
WaAllahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar