Oleh: Mustafa Abdillah
Mari kita runutkan dengan kepala dingin dan logika yang jernih peristiwa yang sedang menguji Nahdlatul Ulama ini. Pemberhentian Ketua Umum PBNU Gus Yahya oleh Rais Aam dinilai inkonstitusional karena menabrak aturan tertinggi organisasi. Hanya Muktamar yang berwenang memberhentikan mandatarisnya, bukan rapat harian Syuriah. Prosedurnya pun sarat masalah. Gus Yahya bahkan dilarang hadir untuk memberikan klarifikasi meski diminta sebagian peserta rapat. Di saat yang sama, pengangkatan Muhammad Nuh sebagai Katib Aam baru dalam rapat yang hanya dihadiri 14 orang pengurus terasa sangat dipaksakan. Maka, wajar jika sikap mayoritas pengurus di daerah adalah tegak lurus menjunjung AD/ART yang sebenarnya.
Lalu, apa alasan di balik tindakan yang "bukan NU banget" ini? Tuduhan soal "Zionisme" sebagai dalih terasa sangat lemah. Banyak bukti menunjukkan Gus Yahya justru gigih memperjuangkan Palestina. Jika kriteria "berhubungan dengan entitas berafiliasi Zionis" dipakai, bahkan Gus Dur pun bisa kena tuduhan serupa, dan itu jelas tidak masuk akal.
Jika bukan Zionisme, apakah ini soal "rebutan tambang"? Istilah "rebutan" memang kurang tepat, karena pembahasan pengelolaan konsesi tambang PBNU, yang rencananya akan dibicarakan secara transparan di Muktamar untuk kemaslahatan warga NU, bahkan belum benar-benar dimulai. Bahkan, wacana untuk mengembalikan konsesi ini ke pemerintah pun sudah disampaikan Gus Yahya sebagai opsi yang bisa dibicarakan bersama. Jadi, narasi "rebutan" lebih terdengar seperti umpan untuk mengalihkan perhatian.
Pertanyaan mendasarnya tetap: mengapa Rais Aam dan kelompoknya begitu terburu-buru dan ngotot, hingga rela menabrak konstitusi organisasi sendiri? Jawabannya mungkin terletak pada desakan waktu akibat sebuah "janji". Bukan janji biasa, melainkan indikasi kesepakatan "di bawah meja" dengan pihak tertentu, diduga salah satu operator tambang, yang harus dipenuhi sebelum segalanya menjadi transparan di hadapan Muktamar. Inilah yang menjelaskan mengapa mereka memilih jalan pintas yang penuh syubhat, mengabaikan seruan para kiai sepuh Mustasyar untuk penyelesaian yang elegan dan bermartabat.
Karena itu, suara ini kami angkat bukan sebagai bentuk su'ul adab, tetapi sebagai bentuk tanggung jawab untuk menjaga marwah dan kedaulatan jamiyah kita dari kepentingan serakah para "kelelawar" yang bersarang di tubuh PBNU. Kebenaran harus disuarakan, dan NU harus kembali ke khittahnya: menyelesaikan persoalan dengan cara yang konstitusional, melalui Muktamar, bukan dengan pemakzulan sepihak yang justru menimbulkan kemudaratan lebih besar.
Dengan demikian, konsekuensi logis dan jalan resolusi satu-satunya yang tersisa adalah seperti desakan keras yang mengalir dari daerah: "Islah atau Mundur!". Tekanan ini bukan gertakan, melainkan peringatan keras dari ulama sepuh dan suara hati mayoritas pengurus di semua tingkatan yang tetap berpegang teguh pada AD/ART. Pilihan tegas ini diperlukan untuk menghentikan manuver politik yang merusak, menyelamatkan ukhuwah dari retaknya kepercayaan, dan menjaga kewibawaan NU agar tidak luntur. Hanya dengan sikap legawa untuk duduk dalam islah hakiki atau mundur secara terhormat, kecintaan pada jam'iyah dapat dibuktikan mengatasi ambisi sempit, sehingga NU tetap menjadi benteng bangsa yang kokoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar