MUTIARA ILMU: Agustus 2025

Rabu, 20 Agustus 2025

92 MARGA BAALAWI TERBUKTI BUKAN KETURUNAN KANJENG NABI MUHAMMAD SAW




Di Bawah ini Nama-nama 92 Marga  Ba Alwi Yang Terbukti Bukan Keturunan Nabi Muhammad Saw. berdasarkan fatwa Mufti Negara Yaman Syekh Syamsuddin Syarafuddin 

1. Mauladdawilah
2. Muqeybel
3. Maulakhailah
4. Bin Sahil Khailah
5. Bin Yahya
6. Bahsin Al-Mahar
7. Ba'bud Khurbashan
8. Al-Mahjub
9. Al-Hinduan
10. Assegaf
11. As-Shafi Assegaf
12. Alaydrus
13. Al-Bayti
14. Ba'agil
15. Bahsin
16. Al-Musawa
17. Al-Fakher
18. Al-Mahjub
19. Bin Quthban
20. Al-Munawwar
21. Al-Musyayyach
22. Al-Wahath
23. Banahsan
24. Bin Shahab
25. Al-Hadi
26. Al-Masyhur
27. Az-Zahir
28. Bin Agil
29. Al-Atthas
30. Bin Syaich Abu Bakar
31. Al-Muhdhor
32. Al-Hiyed
33. Al-Khamur
34. Al-Hamid
35. Abu Futaym
36. Al-Haddar
37. Bin Jindan
38. Al-Masileh
39. Barroum
40. Al-Junaid Al-Akhdhor
41. As-Syilli
42. Babereyk
43. Kherid
44. Baraqbah
45. Ba'bud Dibjan
46. Al-Manfar
47. Bin Hamid Manfar
48. Marzaq
49. Al-Masyhur Marzaq
50. Mudhir
51. Al-Mutohhar
52. Abu Numai
53. Abu Numai As-Syathiri
54. Al-Madihij
55. Fad'aq
56. Al-Habsyi
57. Asshatiry
58. Basyaiban
59. Jamalullail
60. Bin Sahil
61. Bahasan
62. Al-Qadri
63. Baharun
64. As-Sirri
65. Al-Junaid
66. Bilfaqih
67. Al-Baidh
68. Balghaits
69. Al-Jufri
70. As-Shafi Al-Jufri
71. Al-Bahar
72. Al-Kaaf
73. Ba'umar
74. Al-Baar
75. Ba'ali
76. Al-Khaidah
77. Al-Hamel
78. Khaneyman
79. Al-Haddad
80. Bafaraj
81. Basakutah
82. Basurrah
83. Al-Hudayli
84. Al-Auhaj
85. Al-Bayti Auhaj
86. Aidid
87. Bafaqih
88. Bahasyim
89. An-Nadhir
90. Bin Smith
91. Bin Thahir
92. Ba'bud Maghfun

Demikian 92 marga Ba Alwi yang terbukti bukan keturunan Nabi Muhammad Saw. barang siapa yang mendukung mereka dalam mengaku keturunan Nabi maka ia telah berbuat zalim dan merendahkan nasab Nabi Muhammad Saw. yang mulia. 

Wajib bagi seluruh kaum muslimin  yang bertemu dengan salah satu di antara mereka yang masih mengaku ngaku sebagai keturunan Nabi, untuk menasihatinya agar segera bertaubat untuk tidak mengaku lagi sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw.

❁ بارك الله فيكم أجمعين والله أعلمُ بالـصـواب ❁

Mufti kerajaan Yaman , memberikan Fatwa ...

H. MUTAHAR, PENCIPTA LAGU KEBANGSAAN, BUKAN HABIB BA‘ALAWI YAMAN


Oleh : Mohammad Yasin al Btanangiy al Liqo'iy

Dalam sejarah bangsa, nama Husein Mutahar atau lebih dikenal dengan singkatan H. Mutahar, tercatat sebagai salah satu tokoh besar. Ia bukan hanya penyelamat Bendera Pusaka, tetapi juga komponis yang melahirkan lagu-lagu monumental seperti Syukur dan Hari Merdeka yang sampai kini dinyanyikan setiap upacara. Namun di balik ketokohannya, muncul narasi yang menyebutnya sebagai seorang habib keturunan Ba‘alawi Hadhramaut, Yaman.

Narasi itu berseliweran di internet, bahkan ditulis dalam berbagai artikel populer. Nama lengkap yang sering dikutip adalah: Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Mutahar. Sekilas terdengar meyakinkan, seolah-olah ada garis nasab yang jelas menuju Ba Alawiy.

Namun, jika ditelusuri secara serius, narasi ini ternyata rapuh. Sumber tertua yang mempopulerkan klaim tersebut adalah situs Kabar Makkah, terbit Agustus 2020. Artikel itu menyebut H. Mutahar sebagai habib, bahkan menuliskan silsilahnya. Sayangnya, tidak ada bukti data, dokumen, atau manuskrip nasab yang disertakan. Tidak ada rujukan pada kitab nasab klasik, tidak ada arsip Rabithah Alawiyah, tidak pula dokumen keluarga yang bisa diverifikasi.

Di sinilah letak persoalannya. Sebab dalam tradisi Ba Alawiy, nasab itu sesuatu yang sangat dijaga, terdokumentasi dalam kitab-kitab nasab yang jelas, seperti al-Shajarah al-Alawiyyah. Setiap marga atau keluarga besar biasanya tercatat: al-Haddad, al-Saqqaf, al-Jufri, al-Attas, al-Syihab, dan seterusnya. Nama “al-Mutahar” tidak ditemukan dalam rumpun Ba Alawiy yang terdokumentasi.

Dengan demikian, menyebut H. Mutahar sebagai habib keturunan Ba‘alawi Yaman tidak punya dasar ilmiah yang kuat. Lebih tepat bila beliau dikenang sebagai keturunan Jawa, putra Semarang, yang tumbuh dalam tradisi kebangsaan Indonesia. Ia adalah sosok yang mengabdikan hidupnya untuk bangsa, bukan sekadar mengandalkan klaim keturunan.

BIODATA SINGKAT HUSEIN MUTAHAR:

Nama: Husein Mutahar Lahir: 5 Agustus 1916 di Semarang, Jawa Tengah 

Meninggal: 9 Juni 2004 di Jakarta 
Profesi: Komponis, tokoh musik 
Karya terkenal: Hari Merdeka, Syukur, Dirgahayu Indonesia, Himne Pramuka, Himne Universitas Indonesia

Husein Mutahar turunan pribumi asli Ayahnya bernama Raden mas Ario mutahar lahir di Semarang Jawa Tengah 

Beliau masih keturunan bangsawan kesultanan Demak ibunya bernama Raden Ajeng Siti Aminah beliau lahir di Demak beliau masih keturunan Bangsawan Kesultanan Demak
-------------------
Referensi : 
1. Buku Biografi Tokoh-Tokoh Nasional Indonesia karya Badan Pembinaan Sejarah Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, cetakan tahun 1986, halaman 245-247. 
2. Buku Sejarah Nasional Indonesia karya Sartono Kartodirdjo, cetakan tahun 1991, halaman 567-568. 
3. Buku Tokoh-Tokoh Nasional Indonesia karya Ismail Sunny, cetakan tahun 1994, halaman 234-236. 
4. Buku Ensiklopedi Tokoh Indonesia karya Ramadhan KH, cetakan tahun 2006, halaman 567-569. 
5. Buku Husein Mutahar Pengabdi Bangsa karya Taufiq Abdullah, cetakan tahun 2011, halaman 1-10.

Ironisnya, klaim “habib” yang ditempelkan ke namanya justru berpotensi mengaburkan esensi ketokohan beliau. H. Mutahar tidak pernah dikenal karena gelar nasab, melainkan karena karya. Ia adalah contoh nyata bahwa nasionalisme Indonesia dibangun bukan di atas status darah keturunan, melainkan di atas pengorbanan dan pengabdian nyata.

Maka sudah semestinya kita berhati-hati dalam menerima narasi sejarah. Klaim yang tidak disertai bukti hanya akan mereduksi nilai perjuangan tokoh itu sendiri. H. Mutahar adalah milik bangsa, bukan milik satu garis nasab. Ia adalah putra Indonesia yang kebesarannya lahir dari kerja nyata, bukan dari marga.

Senin, 18 Agustus 2025

BANTAHAN SEJARAH TERHADAP KISAH HABIB UTSMAN BIN YAHYA & RAPAT AKBAR SAREKAT ISLAM 1913

🛑 *
https://www.walisongobangkit.com/bantahan-sejarah-terhadap-kisah-habib-utsman-bin-yahya-rapat-akbar-sarekat-islam-1913/

Narasi yang beredar mengklaim bahwa pada tahun 1913, HOS Tjokroaminoto datang ke Batavia untuk meminta restu Mufti Batavia (Habib Utsman bin Yahya), dan setelah itu sang mufti bukan hanya merestui, tetapi hadir langsung di Solo dan memberikan sambutan di depan puluhan ribu massa Sarekat Islam.
👉 *Kisah ini tidak sesuai dengan fakta sejarah.*
Berikut poin-poin bantahannya:
________________________________________
❶ *Habib Utsman bin Yahya wafat pada tahun 1913 dalam keadaan sakit*
Habib Utsman lahir tahun 1822 dan meninggal dunia pada 1 Safar 1332 H / 1913 M (Huub de Jonge – Arab Communities in Indonesia 1800–1940, 2012).
Dalam beberapa bulan sebelum wafat, Dia tercatat sakit keras dan nyaris tidak pernah keluar dari kediamannya di Pekojan.
🟰 Artinya, mustahil secara fisik Dia bepergian jauh dari Batavia ke Solo untuk hadir dalam Rapat Akbar Sarekat Islam.
________________________________________
❷ *Jabatannya sebagai Mufti berada di bawah struktur pemerintah kolonial*
Habib Utsman bin Yahya secara resmi diangkat sebagai Mufti Pemerintah Hindia Belanda sejak 1871 dan bertugas memberikan fatwa untuk kepentingan otoritas kolonial (Koloniaal Verslag 1872 dan 1893).
Sementara itu pada tahun 1913, Sarekat Islam dianggap gerakan yang mencurigakan dan anti-pemerintah (Ricklefs – A History of Modern Indonesia since c.1200, 2001).
🟰 Sangat tidak logis bila seorang pejabat agama pemerintah kolonial secara terbuka hadir dan memberi dukungan pada organisasi yang diawasi ketat oleh pemerintahnya sendiri.
________________________________________
❸ *Sarekat Islam memang mengalami kesulitan izin, tetapi tidak pernah mengundang “Mufti Batavia” untuk mengatasinya*
Dalam catatan HOS Tjokroaminoto sendiri (Himpunan Pidato Tjokroaminoto, 1931), dijelaskan bahwa rapat akbar SI Solo 1913 akhirnya mendapat izin karena desakan masyarakat dan tekanan dari pengurus cabang.
Tidak ada keterangan bahwa Tjokro pergi ke Batavia untuk meminta “restu Mufti” atau bahwa Habib Utsman ikut turun tangan.
________________________________________
❹ *Narasi tersebut kontradiktif (30 orang vs 30 ribu orang)*
Kisah yang beredar menyebut:
“Lebih kurang 30 orang menghadiri acara tersebut… 30 ribu masyarakat yang hadir…”
Ini jelas kontradiktif dan menunjukkan narasi tersebut disusun secara dramatis–bukan berdasarkan dokumen faktual rapat Sarekat Islam (lihat: Arsip De Locomotief, 29 Maret 1913).
________________________________________
❺ *Tidak ditemukan dalam koran Hindia Belanda laporan kehadiran Habib Utsman*
Media kolonial seperti Bataviaasch Nieuwsblad, Het Nieuws van den Dag dan De Expres justru secara lengkap melaporkan rapat besar Sarekat Islam Solo 1913, termasuk daftar tokoh yang hadir.
🟥 *Nama Habib Utsman BIN YAHYA tidak tercatat sama sekali* di daftar pembicara maupun tamu undangan.
________________________________________
✅ *KESIMPULAN*
• Habib Utsman bin Yahya sudah sangat tua dan dalam keadaan sakit berat pada tahun 1913 (tahun wafat),
• Ia merupakan Mufti resmi Hindia Belanda, sehingga posisinya tidak mungkin menghadiri rapat Sarekat Islam yang saat itu sedang diawasi kolonial,
• Catatan sejarah Sarekat Islam tidak mencatat adanya kedatangan atau sambutan Mufti Batavia,
• Narasi tersebut mengandung kontradiksi internal dan tidak didukung sumber primer.
👉 Dengan demikian, *kisah tersebut dapat dikategorikan sebagai manipulasi sejarah yang bertujuan membangun citra palsu bahwa tokoh klan Ba’alwi ikut berperan dalam kebangkitan nasional.*

Minggu, 17 Agustus 2025

🕌 *ISLAM MASUK KE NUSANTARA: FAKTA SEJARAH DENGAN FAKTA SEJARAH UNTUK MENOLAK KLAIM SEJARAH PALSU DARI VERSI KLAN BA’ALWI*

Masuknya Islam ke Nusantara adalah bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia. Belakangan ini muncul narasi seolah-olah Islam pertama kali disebarkan oleh klan Ba’alwi (Arab Hadramaut) sejak abad ke-15. Narasi ini tidak sesuai dengan fakta sejarah yang tercatat dalam riset para sejarawan, baik dari Indonesia maupun internasional.
⚠️ Catatan penting:
Kedatangan kelompok Ba’alwi memang terjadi, tetapi secara besar-besaran baru berlangsung pada abad ke-18 dan ke-19, yaitu setelah VOC (Belanda) menguasai jalur perdagangan dan mendatangkan mereka sebagai Kapitan Arab. Artinya, mereka bukan pelopor Islamisasi Nusantara.
________________________________________
🧭 FAKTA SEJARAH YANG SEBENARNYA
✅ Jejak tertua Islam di Nusantara ditemukan di wilayah pesisir utara Jawa dan Sumatra.
Batu nisan Fatimah binti Maimun di Gresik bertarikh 1082 M, sementara batu nisan Sultan Malik al-Saleh (Samudera Pasai) bertarikh 1297 M. Artinya, Islam sudah menyebar sejak abad ke-11–13.
✅ Islam menyebar melalui jalur perdagangan internasional.
Para pedagang dan ulama dari Gujarat, Benggala dan Persia membawa agama Islam ke pesisir Nusantara. Fakta ini disebutkan oleh Prof. Azyumardi Azra, T.W. Arnold, dan Anthony Reid. Bukan klan Ba’alwi.
✅ Sebelum Ba’alwi datang, kerajaan-kerajaan Islam Nusantara sudah kokoh berdiri.
Kesultanan Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13.
Kesultanan Demak di Jawa berdiri pada tahun 1478.
Kesultanan Banjar di Kalimantan sudah berdiri pada 1526.
Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku telah eksis sejak abad ke-15.
Dengan kata lain, Islam sudah mapan jauh sebelum klan Ba’alwi datang ke Nusantara.
✅ Kedatangan klan Ba’alwi secara masif baru terjadi setelah VOC berkuasa.
Arsip VOC di Belanda mencatat bahwa para sayyid/Hadrami baru didatangkan pada abad ke-18 dan ditempatkan sebagai Kapitan Arab (pemimpin komunitas Arab binaan kolonial) di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar.
Mereka masuk dalam struktur kolonial — bukan dalam barisan penyebar Islam atau pejuang pribumi.
✅ Ulama-ulama penyebar Islam pertama di Nusantara berasal dari kalangan pribumi yang belajar ke pusat-pusat Islam di India dan Persia.
Tokoh-tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Maulana Ishaq, Sunan Bonang merupakan wali dan ulama Nusantara yang memiliki jaringan ilmu dengan Gujarat, bukan dari Ba’alwi.
________________________________________
✅ KESIMPULAN
• Islam sudah hadir di Nusantara sejak abad ke-11 dan berkembang melalui jaringan perdagangan dan ulama pribumi yang terhubung dengan pusat-pusat Islam di India dan Persia.
• Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara (Samudera Pasai, Demak, Banjar, Ternate, Tidore) berdiri jauh sebelum klan Ba’alwi mulai bermigrasi ke Indonesia.
• Kedatangan klan Ba’alwi secara besar-besaran justru terjadi setelah VOC berkuasa, dan mereka ditempatkan sebagai Kapitan Arab atau bahkan Mufti Belanda.
• Dengan demikian, klaim bahwa “kl an Ba’alwi menyebarkan Islam pertama kali di Nusantara” tidak berdasar dan bertentangan dengan fakta sejarah.
🧠 Sejarah tidak pernah bisa diubah. Islam ditegakkan di Nusantara oleh ulama pribumi dan jaringan keilmuan lintas benua—bukan oleh privilese nasab.
________________________________________
📚 Referensi:
• Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII–XVIII
• Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce
• T.W. Arnold, The Preaching of Islam
• M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200
• Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
• Arsip VOC (Algemeen Rijksarchief, Den Haag)

✸ *JIWA MERDEKA: EPOS HEROIK PERJUANGAN BANGSA INDONESIA* ✸


Sejarah bangsa Indonesia adalah kisah agung tentang keberanian, kegigihan, dan kesetiaan pada tanah air. Dari ujung Aceh hingga kepulauan Maluku, dari tanah Jawa hingga pelosok Kalimantan, detak nadi rakyat Nusantara berdegup dalam satu irama: Merdeka atau mati!

*Ratusan tahun lamanya bumi pertiwi ini diinjak-injak oleh kekuasaan penjajah Belanda*. Tetapi penjajah tak pernah mampu merampas harga diri anak bangsa. Pangeran Diponegoro bangkit mengobarkan Perang Jawa, Imam Bonjol bangkit menentang penindasan dalam Perang Padri, Cut Nyak Dien bersama rakyat Aceh mempertaruhkan nyawa demi kemuliaan bangsa. Semua bergerak—petani, santri, ulama, prajurit, pemuda, dan kaum ibu—bersatu mempertahankan kehormatan bangsa.

*Tahun 1942*, datang gelombang baru penjajahan bernama Jepang. Kekejamannya meneteskan darah dan air mata. Rakyat dipaksa kerja paksa, lumbung padi dirampas, dan desa-desa dijadikan kamp militer. Namun justru dalam penderitaan itulah api nasionalisme semakin menyala. Dan ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom Amerika Serikat, bangsa Indonesia membaca pertanda dari langit: inilah saatnya memproklamasikan kemerdekaan.

*Maka pada pagi suci 17 Agustus 1945*, di sebatang rumah sederhana di Pegangsaan Timur, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menangis haru, para pemuda menengadahkan tangan ke langit seraya bersumpah: Kami siap mempertahankan kemerdekaan ini hingga titik darah penghabisan!

Dan benar, tak lama kemudian Belanda bersama sekutu datang kembali membawa meriam dan senapan, hendak menenggelamkan Indonesia ke dalam penjajahan kedua. Tetapi rakyat telah bersatu padu. Agresi Militer Belanda I (1947) kita hadapi dengan semangat gerilya yang membara. Agresi Militer II (1948) disambut dengan perlawanan total di seluruh penjuru negeri.

*Hari paling bersejarah itu pun tiba: 10 November 1945* di Surabaya! Teriakan Bung Tomo mengguncangkan langit, menyalakan semangat wira bangsa:

*“Selama banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah yang dapat membasahi sehelai kain putih, selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!”*

Arek-arek Surabaya tidak gentar. Rumah-rumah dijadikan benteng, bambu runcing diangkat tinggi-tinggi. Tua-muda, santri-rakyat, jatuh satu bangkit seribu. Sejak hari itu, darah para syuhada kemerdekaan mengaliri setiap jengkal tanah sebagai saksi perjuangan.

Belum reda pertempuran di Surabaya, sejarah kembali mencatat keberanian bangsa ini melalui Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam enam jam, TNI merebut kota dari cengkeraman Belanda, menggugah dunia bahwa Republik Indonesia belum mati!

Dan akhirnya, atas pengorbanan darah dan nyawa putra-panji bangsa, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

⚠️ *Perlu ditegaskan dengan jelas dan jujur dalam lembar sejarah ini: Bahwa seluruh rangkaian perjuangan suci tersebut tidak pernah melibatkan peran kaum habib klan Ba’alwiy*. Justru sebaliknya, ketika rakyat Indonesia bangkit melawan penjajahan, sebagian tokoh klan tersebut berdiri di sisi penjajah. Mereka didatangkan oleh Belanda dan diberikan kedudukan sebagai Kapitan Arab untuk mengamankan kepentingan kolonial. Bahkan tercatat jelas dalam arsip sejarah bahwa Habib Utsman bin Yahya diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai Mufti Kesultanan Belanda, dan karenanya berdiri di pinggir medan sejarah sebagai bagian dari sistem kolonial, bukan pada barisan pejuang bangsa.

Bangsa ini tidak pernah dibebaskan oleh gelar, keturunan, atau privilese apapun. *Bangsa ini meraih kemerdekaannya dengan cucuran darah petani, dengan air mata santri, dengan nyawa para pemuda yang tak punya apa-apa selain cinta kepada tanah air.*

💥 *Inilah Indonesia!*
Bangsa pejuang yang lahir dari keberanian, tumbuh dalam kesengsaraan, dan menang karena semangat persatuan.

🛑 *Bantahan Fakta Ngawur Terkait Sejarah Masuknya Islam dan Klan Ba’alwi di Nusantara*

Banyak orang sekarang menyebarkan informasi keliru seolah-olah “Islam baru muncul di Jawa abad ke-18” dan “habib sudah masuk sejak abad 16–17 lalu ikut menyebarkan Islam.” Fakta sejarah justru membantah semuanya.
📌 Fakta Sejarah yang Benar:
✅ Islam sudah hadir di Jawa sejak abad ke-13–14, dibuktikan dengan batu nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) di Gresik.
✅ Kesultanan Demak berdiri tahun 1478 (akhir abad ke-15) — berarti Jawa sudah menjadi kerajaan Islam jauh sebelum Belanda datang.
✅ Belanda (VOC) masuk ke Jawa tahun 1602, pada masa Kesultanan Mataram Islam, bukan pada masa Hindu. Bahkan Sultan Agung sudah menyerang Batavia pada 1628–1629.
✅ Kesultanan Islam di Sumatra bahkan lebih tua:
• Samudera Pasai berdiri abad ke-13,
• Aceh Darussalam bangkit akhir abad-15.
✅ Kesultanan Banjar di Kalimantan berdiri tahun 1526 (abad ke-16).
✅ VOC sudah membuka kantor dagang di Aceh tahun 1607 dan masuk Banjarmasin tahun 1635. Artinya Belanda sudah masuk Sumatra & Kalimantan jauh sebelum abad ke-19.
❌ Jadi sangat jelas keliru apabila ada yang mengatakan:
• “Belanda menjajah Jawa saat Jawa masih Hindu.” → SALAH
• “Islam baru masuk ke Jawa abad ke-18.” → SALAH
• “Habib datang ke Nusantara abad 16 sebagai penyebar Islam.” → SALAH BESAR
📌 Justru faktanya:
➡️ Kedatangan klan Ba’alwi secara masif baru terjadi setelah VOC berkuasa dan mereka diberi kedudukan sebagai Kapitan Arab serta Mufti Belanda (contoh: Habib Utsman bin Yahya).
➡️ Tidak satu pun tokoh Ba’alwi yang tercatat ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, KH Hasyim Asy’ari, atau laskar rakyat pribumi.
➡️ Sebaliknya, sebagian tokoh marga tersebut mendukung kolonial dan bahkan memalsukan nasab sejumlah pahlawan dan ulama pribumi setelah Indonesia merdeka.
🧠 Maka, mari jujur dalam membaca sejarah:
Bangsa ini diperjuangkan oleh darah, air mata, dan nyawa pribumi — bukan oleh gelar dan privilese keturunan.
🇮🇩 Fakta tetaplah fakta. Seberapapun sering kebohongan diulang, ia tidak akan mengubah sejarah.

Kamis, 14 Agustus 2025

𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐇𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚 𝐈𝐬𝐭𝐢𝐠𝐡𝐨𝐭𝐬𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐬𝐮𝐬𝐮𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐇𝐚𝐝𝐥𝐫𝐚𝐭𝐮𝐬𝐲 𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐊𝐇 𝐌𝐮𝐡𝐚𝐦𝐦𝐚𝐝 𝐇𝐚𝐬𝐲𝐢𝐦 𝐀𝐬𝐲’𝐚𝐫𝐢



Bagi warga Nahdliyyin, istighotsah adalah amalan yang sudah membudaya. Kadang dibaca tiap selapan sekali (35 hari), seminggu sekali, bahkan ada yang mengamalkan sehari sekali. Tergantung seberapa berat masalah hidup yang dihadapi.

Bacaan dan bilangan istighotashpun berbeda-beda. Wirid istighotsah seperti halnya ukuran obat. Beda dokter, tentu beda pula ukuran dosis yang diberikan.

Dari sekian banyak amalan istighotsah yang sudah diamalkan. Ada satu wirid istighotsah istimewa. Wirid istighotsah ini disusun oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Salah satu kiyai yang mendapat ijazah istighotsah dari KH M Hasyim Asy’ari adalah Kiai Luqman, asal Tremas.

Pada Selasa, 23 Syawal 1435 Hijriyah, saya diminta menemani Kiai Luqman pergi ke luar kota. Hari itu beliau memiliki tiga agenda berbeda. Pagi ke Ponorogo, sowan salah seorang kiai sepuh, kemudian siangnya ke Magetan ta'ziyah wafatnya Pengasuh Pesantren Temboro KH Uzairon dan malam harinya mengisi pengajian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI di sebuah desa di Wonogiri.

Kami pergi ditemani oleh isteri Kiai Luqman. Kiai Luqman yang menyetir sendiri mobilnya. Beliau memang kerap membawa sendiri mobilnya tanpa menggunakan sopir pribadi. Dan seperti biasa saya yang disopiri.

Sampai di Ponorogo kami mampir dulu di rumah Gus Munir, salah satu keluarga Pondok Jenes. Kemudian bersama-sama sowan kepada Kiai Fahruddin, Pengasuh Pesantren Thoriqul Huda, Cekok, Kecamatan Babadan, Ponorogo.

Sowan Kiai Luqman ini tentunya dalam rangka “ngalap barokah”, meminta doa-pangestu agar senantiasa istiqamah membimbing santri di Pondok Tremas. Kiai Luqman memang gemar sekali bersilaturahmi, utamanya kepada kiai sepuh. Apalagi saat itu masih dalam suasana hari raya Idul Fitri.

Pada malam hari sebelum sowan, Kiai Luqman sempat berkomunikasi intens dengan salah satu cucu Hadratussyaikh, Gus Zaki Hadziq (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Masyhuriyah). Keduanya, saling berbagi kabar penting tentang sebuah wirid istighotsah langka yang pernah disusun oleh Hadratusy Syaikh KH M Hasyim Asy’ari, dan pernah diijazahkan kepada salah seorang putranya.

Entah karena suatu hal. Di Tebuireng sendiri, ternyata teks istighotsah itu sudah “tidak ada” lagi yang menyimpanya. Maka dicarilah informasi, siapakah gerangan santri Tebuireng yang masih menyimpan dan mengamalkanya.

Singkat cerita, didapati kabar ada seorang kiai sepuh di Ponorogo yang masih mengamalkannya. Santri Tebuireng itu adalah Kiai Fahruddin Dasuki. Maka Kiai Luqman segera sowan ke sana.

Di Ndalemnya yang sejuk itu, Kiai Luqman berbincang cukup lama dengan Kiai Fahruddin yang saat itu ditemani beberapa putranya. Perbincangan berlangsung cukup hangat. Hampir dua jam.

Saya yang duduk agak jauh dari Kiai Luqman diberi tugas mendokumentasikan pertemuan antara dua kiai beda generasi itu. Waktu itu saya membawa semacam kamera Flip, kamera kecil khusus untuk merekam video.

Mula-mula Kiai Fahruddin bercerita tentang masa-masa nyantri di Tebuireng, ngaji kepada Kiai Kholiq Hasyim. Kemudian topik beralih seputar pesantren, NU dan Bangsa. Kiai sepuh ini memang dikenal getol menjaga nilai kebangsaan dan kenegaraan.

Yang dapat saya ingat, Kiai Fahruddin juga sempat bercerita tentang peristiwa pernikahan KH Harits Dimyathi, ayah Kiai Luqman, dengan salah satu putri Hadratusyaikh yang bernama Nyai Fathimah. Saat itu Kiai Fahruddin yang masih menjadi santri anyaran turut menyaksikan prosesi ijab qobul antara putra KH Dimyati Tremas itu dengan salah satu putri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Walaupun pada akhirnya ikatan pernikahan itu tidak berlangsung lama.

Di tengah perbincangan, dengan rasa hormatnya Kiai Luqman lalu memberanikan diri “matur”, menanyakan tentang sebuah wirid istighosah yang pernah disusun oleh Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari. Seperti diketahui, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selain dikenal sebagai kiai yang mampu menulis berpuluh-puluh kitab, beliau juga menyusun wirid-wirid tertentu untuk diamalkan para santrinya saat itu.

Dengan tutur kata lembut dan penuh kerendahan hati, Kiai Fahruddin menjawab pernah mendapat ijazah wirid istighosah langka itu dari gurunya, KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq merupakan tokoh Tebuireng generasi ke-5 yang cukup disegani oleh masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.

Istighotsah itu, kata Kiai Fahruddin masih diamalkannya.  Mendengar jawaban itu, wajah Kiai Luqman tampak bahagia. Sebab salah satu wirid istighosah, saya menyebutnya seperti “Harta Karun” langka telah berhasil ditemukan.

Kiai Fahruddin kemudian mengambil secarik kertas, yang didalamnya berisi wirid istighosah. Menurut Kiai Fahruddin, ijazah istighosah ini diperolehnya langsung dari KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq mendapat ijazah langsung dari Ayahnya, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.

Saya menyaksikan proses pemberian ijazah istighotsah langka itu kepada Kiai Luqman. Sebelumnya, Kiai Fahruddin tampak “berkata dengan lirih (pelan)”, dengan suara yang hanya mampu didengar Kiai Luqman. Sepertinya beliau menyampaikan suatu pesan yang amat penting.

Setelah itu mulailah proses ijab-qobul itu. Kiai Fahruddin mengawali “ijazahan” dengan bacaan basmallah dan shalawat. Lalu beliau juga memberikan tela'ah dan tashih (pembenaran) pada tiap bacaan istighatsah itu. Satu persatu bacaan istighatsah yang diawali dengan Asmaul Husna, istighfar, semua itu beliau bacakan sesuai dengan urutan dan jumlah bacaannya.

Kiai Luqman lalu mantap menjawab “Qobiltu” sebagai akad telah menerima wirid itu. Jadilah transmisi sanad wirid dari Tebuireng ini nyambung ke Tremas. Kiai Fahruddin mengakhiri ijazahan dengan membaca doa dan kamipun ikut mengamininya. Teks istighotsah kemudian disimpan dan dibawa pulang ke Tremas.

Selang beberapa bulan setelah memberikan ijazah ini, Kiai Fahruddin wafat. Namun wirid istighotsah itu sempat diijazahkan pula kepada salah satu dzurriyah Tebuireng, Gus Zaki Hadziq.

Jadi sebelum wafat, Kiai Fahruddin telah “mengembalikan” wirid istighotsah itu ke tempat asal pertama kali wirid itu disusun, yaitu dari Pondok Pesantren Tebuireng.

Kiai Luqman merupakan sosok kiai yang gemar berbagi. Utamanya dalam hal keilmuan. Beliau sangat dermawan, senang berbagi kepada siapa saja dan dimana saja. Lebih-lebih wirid istighotsah yang telah diperolehnya. Seperti pesan dari Kiai Fahruddin, istighotsah itu agar diamalkan oleh para santri dan umumnya warga nahdliyin.

Untuk wirid istighotsah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari ini, sekarang sudah mulai diamalkan bersama-sama oleh santri Tremas dan dibaca setiap malam Selasa Kliwon. Kiai Luqman sendiri yang memimpin langsung amalan istighotsah ini. 

Adapun teks istighosah milik (yang disusun oleh) Hadlratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asyrai adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

١ – أَسْمَاءُ الْحُسْنَى ١

٢ – أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ ٣

٣- لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ ١١

٤- يَا اللهُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ١١

٥- بِسْمِ اللهِ بِعَوْنِ اللهِ، اللهُ يَا حَفِيْظُ ١١

٦- إِلَهَنَا يَا سَيِّدَنَا أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ/ الظَّالِمِيْنَ/ الْمُنَافِقِيْنَ ١١

٧- يَا حَنَّانُ، يَا مَنَّانُ، يَا دَيَّانُ ٩

٨– السَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا رِجَالَ الْغَيْبِ، يَا أَيُّهَا الْأَرْوَاحُ الْمُقَدَّسَةُ، أَغِيْثُوْنِيْ بِالْغَوْثَةِ، وَانْظُرْنِيْ بِالنَّظَرَةِ، يَا رُقَبَاءُ، يَا  نُقَبَاءُ، يَا نُجَبَاءُ، يَا أَبْدَلُ 

 يَا أَوْتَادُ، يَا غَوْثُ، يَا قُطُبُ، أَغِيْثُوْنِيْ باِلْغَوْثَةِ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ٣ 

 ٩- يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ، بَلِّغْ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ ٣

(Zaenal Faizin)

*********
Dikutip dengan sedikit perubahan judul dan kata oleh NuBorneo dari laman: https://www.tebuireng.co/kisah-ijazah-istighotsah-kh-hasyim-asyari-yang-sempat-hilang/

Ditulis pada 2021-06-20 oleh: Abdurrahman Santri #Pondok_Pesantren_Tebuireng dan aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri.

Sang "Bapak Pramuka"

[Special Story] Pengorbanan Sang "Bapak Pramuka", Penyelamat Republik Di Belakang Layar
Membahas tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX terutama dari sudut pandang kepramukaan, mungkin hal yang paling sering kita lihat atau dengar adalah biografi singkat beliau beserta perannya dalam perkembangan Gerakan Pramuka Indonesia. Namun, sepertinya tak banyak tulisan atau artikel yang mencoba membahas tentang peranan penting beliau dalam sejarah berdirinya NKRI, dukungan yang beliau berikan kepada Indonesia yang kala itu baru berdiri dan tentunya berbagai "sisat" beliau sebagai raja untuk rakyatnya di Yogyakarta. Hal ini memang bisa dimaklumi karena memang akan terasa 'out-of-the topic' dengan konteks kepramukaan dan tentunya karena adanya aspek politik didalamnya.
Sang Pahlawan Nasional (Berdasarkan Kepres No. 53/TK/Th 1990) sekaligus salah satu dari 4 Pramuka Indonesia hingga saat ini yang mendapatkan penghargaan Bronze Wolf WOSM tersebut memang merupakan tokoh krusial dalam berjalannya Negara Indonesia yang masih "belia". Beliau bukanlah tipe orang yang suka "gambar-gembor" sehingga memang nama beliau seakan kalah bersinar jika dibandingkan dengan Dwitunggal (Sukarno - Hatta) bahkan Suharto dan Adam Malik meskipun kala itu beliau masuk ke jajaran "tri tunggal" ketika masa peralihan ke orde baru. Meskipun begitu, peran beliau terhadap negara maupun rakyat khususnya Yogyakarta tetap dapat dirasakan hingga sekarang. Karena itu, untuk menyambut post sebelumnya, saya akan mencoba merangkum 'special story' ini. Meskipun memang sedikit panjang dari biasanya namun setidaknya dapat memberikan sedikit informasi sejarah baru bagi kita semua....
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang raja didalam sebuah republik. Pada awal kemerdekaan Sang Raja mengeluarkan maklumat bahwa ia bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. Ketika Yogyakarta yang kala itu menjadi ibukota jatuh, ia letakan jabatan kepala daerah sebagai tanda bahwa beliau tak mau bekerja sama dengan Belanda. Beliau bahkan menolak tawaran untuk menjadi "wali" bagi Jawa dan Madura dari Belanda. 
Ketika pemimpin negara berangkat ke Den Haag mengikuti Konferensi Meja Bundar yang bersejarah itu, ia tetap tinggal di Yogyakarta dan beliau pula lah yang menerima penyerahan kedaulatan di Jakarta. Dukungan Sri Sultan kepada RI memang sangat total hingga ke urusan finansial dimana beliau rela berkorban mengeruk kas kraton demi Indonesia 'muda'. Namun, ia tak mau jasanya itu digambar-gembor kan, itulah sebabnya artikel Jusuf Ronodipuro yaitu "Episode Bangka" yang menceritakan pemberian cek 6 juta gulden (sekitar 47 triliun rupiah, konversi Januari 2022) kepada Presiden Sukarno yang sedianya dimuat dalam buku 'Tahta untuk Rakyat' tak terjadi karena Sri Sultan melarangnya.
Ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan pada jam 10 pagi, Jumat 17 Agustus 1945. Selang 2 jam kemudian masjid-masjid besar di Yogyakarta juga mengumumkan kabar proklamasi kemerdekaan kepada jemaah sholat Jumat sekaligus seluruh rakyat kala itu. Petang harinya, Ki Hajar Dewantara mengerahkan guru dan murid Taman Siswa untuk pawai bersepeda keliling kota Yogyakarta sekaligus memekikkan kata "Merdeka". Beberapa jam setelahnya, Sri Sultan mengirimkan telegram ucapan selamat atas terbentuknya NKRI kepada Sukarno, M. Hatta, serta ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat.
Dua hari kemudian, sebuah pesan telegram susulan dari Yogyakarta datang yang menegaskan Yogyakarta "sanggup berdiri dibelakang pimpinan mereka" yang juga sekaligus menjadi pernyataan bahwa Yogyakarta bergabung ke wilayah Republik Indonesia. Sebuah pernyataan yang 'mengejutkan' karena sang Raja Yogyakarta kala itu yang masih dibawah pemerintahan jajahan, pasukan Jepang yang masih tersebar dan Belanda sebagai bagian dari sekutu pemenang perang dapat mengirim pasukan kapan saja untuk menagih kesetiaan Keraton yang diparaf Sultan sebagai salah satu syarat pelantikannya sebagai Raja Yogyakarta pada tahun 1940 sebelumnya. Meskipun begitu, Sri Sultan yang sebenarnya telah berembug dengan para abdi dalem keraton dan berbekal "Wisik" leluhur, tetap mantap menyatakan Yogyakarta sebagai bagian dari RI yang kemudian disusul dengan amanat Sri Sultan pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan Yogyakarta sebagai daerah istimewa Republik Indonesia berbentuk kerajaan yang kemudian disusul oleh Paku Alam VIII yang memberikan amanat yang sama kepada rakyatnya. Sejak saat itu, kerajaan Yogyakarta dan Paku Alaman bersatu menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta yang kita kenal sekarang dengan Sultan sebagai kepada dan pangeran Pakualam sebagai wakil pemerintahan.
Indonesia yang masih 'belia' dan tentunya banyak ancaman dari sukutu serta Belanda kala itu tak ayal membuat keamanan Jakarta sebagai ibu kota manjadi tak menentu, banyak sekali petinggi negara yang diburu oleh serdadu Belanda. Sultan Sjahrir yang kala itu menduduki posisi mentri pernah hampir tewas ketika mobilnya diberondong peluru serdadu Belanda, Sukarno-Hatta juga terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Melihat keadaan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim sepucuk surat kepada Bung Karno lewat seorang kurir yang isinya adalah tawaran pemindahan ibukota ke Yogyakarta yang segera direspon oleh presiden Sukarno dimana kemudian para petinggi negara segera menuju Yogyakarta setelah sebelumnya menyelesaikan rapat kabinet. Sri Sultan pun juga telah mempersiapkan Yogyakarta sebagai ibukota negara, termasuk dalam urusan pembiayaan yang diperlukan untuk menyokong pemerintahan. Sri Sultan juga mempersiapkan para cendikiawan dengan membangun perguruan tinggi Akademi Ilmu Pemerintah dan nantinya juga memegang peran besar dalam pendirian Universitas Gajah Mada sebagai bentuk penyediaan cendikiawan dan pemuda untuk negara kedepannya.
Cerita lainnya juga ketika Bung Karno dan pada petinggi lainnya menjalani pengasingan, Sri Sultan menjadi bagian dari delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen pasca serangan umum 1 Maret 1949. Sri Sultan juga sempat mendapatkan mandat dari Presiden Sukarno untuk memegang kekuasaan penuh dan pemerintahan Indonesia pada 1 Mei 1949 setelah Belanda pergi dari Jogja, dan kemudian menyerahkan kembali kekuasaan kepada Presiden Sukarno pada tanggal 6 Juli 1949. Saat konferensi meja bundar yang juga menjadi pengakuan kedaulatan Indonesia (kala itu RIS) oleh Belanda, Sri Sultan yang berada di Istana Gambir bersama dengan Johanes Lovink menjadi perwakilan Indonesia dan Belanda dalam penyerahan kedaulatan pemerintah RIS dari Pemerintah Belanda di Indonesia. Ketika Ratu Juliana selesai memberikan pidato sekaligus ucapan selamat atas kedaulatan Indonesia. Sri Sultan dan Lovink langsung menuju ke halaman Istana Gambir untuk melaksanakan upacara penurunan Bendera Prinsevlag (Julukan Bendera Belanda) yang diiringi dengan lagu Wilhelmus, lagu kebangsaan Belanda yang dinyanyikan oleh 28 tentara Belanda kala itu. Selang kemudian, berganti dengan penaikan bendera merah-putih yang diiringi oleh lagu Indonesia Raya. Ketika bendera sampai di puncak tiang, sontak rakyat yang telah menunggu di luar pagar istana meneriakkan kata merdeka yang terus dikumandangkan oleh rakyat. Saat itu pula, Istana Gambir berubah nama menjadi Istana Merdeka, dan gambaran proses menaikkan bendera ini dapat kita lihat saat upacara 17 Agustus setiap tahunnya. 
Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga memegang peran penting dalam "Ikhtiar untuk mengisi kantong républik" untuk membentuk pondasi ékonomi pada awal Orde baru dimana pasca demokrasi terpimpin dimana perekonomian Indonesia yang morat-marit, dengan inflasi yang melambung ditambah dengan devisa negara yang kosong. Saat itulah Presiden Suharto menunjuk Sri Sultan untuk berkeliling dunia guna mencari bantuan dan menjajakan peluang investasi. Sri Sultan memegang peran penting untuk membentuk kembali kepercayaan negara Barat dan Malaysia dengan Indonesia sekaligus mendatangkan bantuan USD 30 juta dari Jepang. Sri Sultan juga berhasil meyakinkan negara luar dalam acara Tokyo Meeting tahun 1966 yang sekaligus membuka jalan Indonesia untuk menjadi warga ekonomi dunia. Langkah ini juga sempat menjadi kontroversi dinama Sultan dan pemerintah Indonesia kala itu dituding tengah berusaha "menjual Indonesia" karena banyaknya investasi asing yang masuk ke bumi pertiwi Indonesia.
Ketika ekonomi Indonesia berhasil membaik, Sri Sultan ditunjuk menjadi Wakil Presiden pada tahun 1973 hingga 1978 dan setelah tak mau memperpanjang masa jabatannya, terdapat isu bahwa hubungan Sri Sultan dengan Presiden Suharto memburuk terutama dengan alasan kesehatan yang dikemukakan Sri Sultan sebagai alasan beliau untuk menolak tawaran jabatan tersebut apalagi ditambah dengan kabar bahwa Presiden dan Wakilnya tak bertemu selama 9 bulan. Hal lainya juga adalah kontroversi pada peristiwa serangan 1 Maret dimana kala itu keluar film Janur Kuning dan komik yang sangat menonjolkan peran Suharto dalam peristiwa tersebut, dimana dikatakan bahwa peristiwa bersejarah yang mengembalikan kepercayaan rakyat kepada tentara sekaligus menarik perhatian dunia atas propaganda bohong Belanda nyatanya berawal atas usul Sultan, Jendral Sudirman sebagai pemberi perintah dan Letkol Suharto sebagai pelaksana lapangan. Dikatakan bahwa kontoversi ini juga menjadi salah satu alasan memburuknya hubungan Sultan dengan Suharto kala itu.
Salah satu cerita yang mungkin cukup populer bagi warga Yogyakarta adalah ketika beliau akan naik tahta pada tahun 1940 lalu. Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mangkat pada akhir tahun 1939, terdapat perundingan alot antara GRM Dorodjatun (Gelar Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebelum diangkat menjadi Raja Yogyakarta) dan Gubernur Yogyakarta Luciden Adam terhadap kontrak politik dimana saat Raja baru dinobatkan, maka sang Raja wajib untuk menandatangani kesepakatan yang berisi kontrak politik antara Belanda dengan penguasa lokal untuk mengakomodasi kepentingan Belanda. Praktek ini sudah dilakukan sejak era VOC pada abad ke-17 dan juga menjadi syarat bagi pangeran untuk diangkat menjadi Sultan.
Dalam buku Tahta untuk Rakyat, dikatakan bahwa negosiasi dilakukan hampir setiap hari antara GRM Dorodjatun dan Gubernur Adam bahkan dilakukan hingga 3 kali sehari. Banyak literatur yang mengatakan lelahnya Dorodjatun muda menjalani rentetan perundingan ini, terutama karena banyaknya poin pada kontrak tersebut terdapat beberapa poin yang menemui jalan buntu sehingga perundingan berlangsung alot. Namun pada Februari 1940, sikap GRM Dorodjatun tiba-tiba berubah 180° setelah mendapatkan Wisik: "Wis tho le, teken no wae Landa bakal lunga seko bumi kene" ("Sudahlah nak, tanda tangani saja. Belanda bakal pergi dari bumi ini).  Pada hari yang sama, pada sesi perundingan malam, beliau meminta Gubernur Adam untuk memfasilitasi kontrak dan ia bersedia menandatangani. Pertemuan itu berlangsung singkat, sekitar 10 menit sebelum akhirnya keduanya pulang. Kemudian pada awal bulan Maret 1940, kontrak pun ditandatangani dan GRM Dorodjatun naik takhta, ia pun dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Wisik yang diterima Sri Sultan terbukti benar karena selang 2 tahun setelahnya, Jepang menduduki Indonesia dan sempat mengusir Belanda dari bumi pertiwi.
Ketika masa pendudukan Jepang, juga terdapat sedikit cerita yang cukup terkenal dikalangan warga Yogyakarta yaitu perihal Selokan Mataram. Kala itu, Jepang membutuhkan banyak sekali sumber daya dalam perang menguasai seluruh Asia Timur yang juga ditambah dengan banyak kekalahan di sana-sini. Dalam usaha untuk menyokong kepentingan inilah, tentara Jepang merekrut penduduk lokal untuk diperas habis tenaganya sebagai romusha, dan banyak kasus dimana banyak romusha yang direkrut tak kembali lagi. Kala itu, Sri Sultan diminta untuk melaporkan hasil pertanian diwilayah Yogyakarta, namun Sri Sultan sedikit memanipulasi statistik pertanian rakyat yang tak mampu untuk mencukupi kebutuhan dimana pertanian tadah hujan tak bisa berjalan ketika musim kemarau panjang dan selalu dilanda banjir ketika musim hujan. Dan agar masyarakat terhindar dari kerja paksa itu, Sultan mengusulkan untuk membangun selokan irigasi dari Sungai Progo tembus ke Sungai Opak di Klaten dengan panjang 30 Km. Sebenarnya sejak zaman Belanda sudah ada saluran Van der Wicjk yang mengambil air dari Gunung Sumbing untuk mengairi kebun tebu milik Belanda tapi Sultan beralasan untuk melanjutkan irigasi tersebut.
Jepang pun setuju dengan usul Sultan bahkan menyediakan 1 juta gulden untuk membiayai proyek tersebut dimana pada awalnya akan dinamai dengan Kanal Yoshiro. Sultan merencanakan proyek ini untuk menyerap sebanyak mungkin rakyat untuk mengerjakan proyek tersebut sehingga Jepang tak memiliki kesempatan untuk menggunakan tenaga rakyat demi keperluan perang dan romusha, meskipun tetap ada rakyat yang diambil untuk romusha. Proyek pengerjaan Selokan Mataram dilakukan secara bertahap dan dilaksanakan dengan gotong-royong bergiliran tanpa diupah sehingga tak memberatkan rakyat dan tetap bisa mengerjakan pekerjaan pokoknya. Dikatakan juga kalau rombongan yang datang sengaja "melebihkan" jumlah anggotanya untuk mendapatkan jatah makan tambahan. Selokan Mataram ini tetap digunakan oleh masyarakat Yogyakarta hingga sekarang terutama untuk keperluan irigasi sawah.
Sejak kecil, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memang telah di didik untuk mandiri jauh dari kehidupan Putra Mahkota Keraton. Sejak kecil beliau dititipkan kepada Keluarga Mulder dan mendapat panggilan "Henkie" yang juga menjadi panggilan akrab beliau dikalangan anak Belanda hingga berkuliah di Haarlem. Dari sekolah Belanda inilah beliau mengenal dunia Kepanduan hingga akhirnya beliau menjadi sosok Bapak Pramuka yang kita kenal hingga sekarang. Terlepas mungkin dari berbagai intrik politik beliau, namun tak bisa dipungkiri memang banyak hal yang dapat kita teladani dari beliau sekaligus juga lebih mengenal peran sekaligus "pengorbanan" yang telah Sri Sultan Hamengkubuwono IX berikan kepada NKRI.
Source: Majalah Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan, 23 Agustus 2015
Dok. Pic: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka

Selasa, 05 Agustus 2025

”Menjaga Marwah NU di Tengah Distorsi Sejarah : Jangan Tergelincir oleh Romantisme Palsu Sejarah”*

*
https://www.walisongobangkit.com/menjaga-marwah-nu-di-tengah-distorsi-sejarah/

Oleh Redaksi walisongobangkit.com
Pada Sabtu, 10 Agustus 2025 mendatang, Masjid Istiqlal Jakarta akan menjadi panggung sebuah acara besar bertajuk “Ikrar Kebangsaan” yang digagas oleh organisasi baru bernama JATMA Aswaja. Di balik semangat kebangsaan yang dikibarkan, ada benang kusut yang layak dipertanyakan—terutama oleh warga Nahdliyyin.
Acara tersebut, yang diinisiatori oleh Habib Luthfi bin Yahya bersama mantan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini, dan bukan merupakan agenda resmi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kegiatan tersebut tidak ada kaitannya dengan organisasi NU ataupun badan otonomnya seperti JATMAN. Ini adalah fakta yang penting untuk dipahami publik, agar tidak terseret dalam narasi simbolik yang menjebak.

*Ketika Romantisme Mengaburkan Kebenaran*
Salah satu pangkal keprihatinan warga NU terhadap geliat JATMA terletak pada aspek historiografi. Buku berjudul Cahaya dari Nusantara, yang beredar di kalangan simpatisan, menyisipkan klaim bahwa Habib Hasyim bin Yahya—kakek dari Habib Luthfi—adalah salah satu pendiri NU. Padahal, berdasarkan dokumen resmi Statuten Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama tertanggal 31 Januari 1926, nama tersebut tidak tercantum dalam struktur pendiri awal NU.
Menambahkan tokoh ke dalam narasi sejarah tanpa dasar valid bukan sekadar kesalahan teknis. Itu adalah bentuk pembelokan identitas yang bisa mengikis integritas institusi. Sejarah bukan panggung fiksi, dan penulisan sejarah tidak boleh ditunggangi romantisme keturunan atau karisma individual.

*Bahaya Klaim Tak Terverifikasi*
Klaim sejarah memerlukan penopang kuat: dokumen primer, kesaksian sezaman, dan konsensus akademik. Mengandalkan tradisi lisan atau klaim personal, tanpa verifikasi, hanyalah langkah spekulatif yang berpotensi mengacaukan peta intelektual umat.
Sejarawan seperti Prof. Anhar Gonggong dan Dr. Taufik Abdullah mengingatkan kita bahwa sejarah adalah fondasi identitas bangsa. Ketika narasi sejarah dibelokkan, generasi mendatang akan tumbuh dengan identitas yang rapuh dan semu. Apa jadinya jika kebanggaan itu dibangun di atas mitos?

*Tasawuf Bukan Jalur Politik*
Lebih menyakitkan lagi bagi sebagian pengamal thariqah adalah munculnya organisasi baru yang mengatasnamakan thariqah, tapi melenggang tanpa restu dan ruh persatuan dari tubuh JATMAN—organisasi resmi dan sah di bawah NU yang telah mewadahi ribuan salik sejak 1979.
Sebagai jalan ruhani, thariqah tidak pernah membutuhkan sorotan panggung apalagi manuver organisasi tandingan. Munculnya JATMA justru mengancam keheningan spiritual yang selama ini dijaga para mursyid dengan penuh hormat dan kesabaran.
Apa motif di balik pendirian JATMA? Mengapa harus didirikan di luar struktur NU, padahal pendirinya pernah menjabat sebagai Rais ‘Aam JATMAN sendiri? Jika jawaban jujurnya adalah ambisi politik atau retakan relasi, maka umat berhak untuk bersikap kritis.

*Seruan Kritis untuk Warga NU: Menjaga Marwah, Menyelamatkan Sanad*
Kita tidak sedang memperdebatkan semangat kebangsaan, apalagi menafikan jasa sebagian tokoh-tokoh karismatik, termasuk dari kalangan habaib, yang turut serta dalam merawat wajah Islam yang ramah di Nusantara. Namun, kita patut waspada ketika sejarah mulai direkonstruksi demi kepentingan identitas kelompok tertentu, dan jalur spiritual dijadikan instrumen pencitraan politik.
Sebagai warga Nahdlatul Ulama, kita dituntut untuk jernih melihat:
*Apakah kegiatan bertajuk “Doa Bersama Ulama dan Habaib untuk Keselamatan Bangsa” pada 10 Agustus 2025 di Masjid Istiqlal benar-benar mewakili visi NU?*
Jawabannya: *tidak.*
Acara tersebut bukan agenda resmi NU, tidak berada dalam garis koordinasi struktur jam'iyyah, dan tidak mewakili sanad ruhaniyah para muassis NU. Justru, keterlibatan pihak-pihak tertentu yang mengklaim monopoli atas spiritualitas Islam Indonesia dapat mencederai keutuhan sanad keilmuan dan ruhaniyah yang telah dijaga rapi oleh para ulama NU selama lebih dari satu abad.
Karena itu, kami menyerukan kepada seluruh warga NU agar tidak menghadiri acara tersebut. Ini bukan bentuk kebencian atau permusuhan, tetapi bentuk tanggung jawab dalam menjaga marwah organisasi, menjaga akidah dari pengaburan sejarah, dan menjaga sanad dari infiltrasi simbolik.
Mari kita sadari:
Kesetiaan kita bukan pada simbol, bukan pada kelompok, tapi pada kebenaran, sanad, dan warisan para muassis NU.
Keberpihakan kita adalah pada nilai, bukan sekadar acara.
Keteguhan kita adalah menjaga NU tetap menjadi rumah besar ahlussunnah wal jamaah, bukan menjadi alat legitimasi untuk agenda-agenda yang tidak berpijak pada prinsip-prinsip keulamaan.

*Akhir Kata: Waspada dalam Iman, Kritis dalam Cinta*
Warga NU—khususnya para pengamal thariqah—harus lebih berhati-hati. Jangan sampai terhanyut dalam narasi baru yang dibangun bukan atas dasar musyawarah jamaah, melainkan keinginan pribadi. Jangan sampai sejarah yang dibangun oleh keringat dan air mata para ulama pesantren direduksi menjadi silsilah keluarga dan jaringan loyalis.
Cinta pada ulama tidak berarti taklid buta. Justru karena cinta itulah, kita harus menjaga warisan mereka dari distorsi.
Karena cinta yang sejati tidak membutakan—ia justru menuntun kepada kebenaran.

WaAllahu a’lam.

*SKANDAL NASAB HABIB: MENGUNGKAP KEJAHATAN KLAN BA’ALWI TERHADAP BANGSA INDONESIA*



https://www.walisongobangkit.com/skandal-nasab-habib-mengungkap-kejahatan-klan-baalwi-terhadap-bangsa-indonesia/

Benih badai ini mulai ditanam oleh KH Imaduddin Utsman al Bantani pada November 2022 melalui penelitian ilmiahnya yang berjudul “Habib Bukan Cucu Nabi.” Awalnya, temuan ini hanya menjadi perbincangan terbatas, namun badai besar pecah pada 19-20 Maret 2023 ketika Gus Fuad Plered mengalami pertengkaran yang diduga dilakukan oleh kelompok habib dan pendukungnya. Peristiwa ini membuka tabir lebih luas mengenai berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Klan Ba’alwi di Indonesia.

 

Sejak kejadian tersebut viral, semakin banyak kejahatan yang terungkap ke publik. Pemalsuan sejarah, klaim sepihak terhadap tanah dan tokoh nasional, serta manipulasi ajaran Islam untuk kepentingan pribadi menjadi bukti kuat yang tidak bisa diabaikan. Dalam dua tahun terakhir, kesadaran pribumi Nusantara semakin meningkat untuk melawan dominasi berkedok agama ini.

 

*POLA KELICIKAN KLAN BA’ALWI: BUKTI-BUKTI KEJAHATAN TERHADAP BANGSA INDONESIA*

Penulis melakukan penelitian mendalam, mengumpulkan data, dan menemukan pola yang konsisten dalam tindakan Klan Ba’alwi. Berdasarkan fakta yang ditemukan, ada tiga pola utama yang menunjukkan bagaimana mereka beroperasi:

*1. Saat Bangsa Indonesia Menghadapi Ancaman, Klan Ba’alwi Cenderung Diam dan Tetap Menikmati Keuntungan dari Situasi Tersebut.*

Contoh Kasus: Sikap Diam Klan Ba’alwi saat Indonesia Melawan Penjajah

Ketika bangsa Indonesia berjuang melawan penjajahan Belanda, banyak tokoh pribumi yang mengorbankan nyawa dan hartanya demi kemerdekaan. Namun, sejarah mencatat bahwa Klan Ba’alwi justru bersantai dan bahkan menikmati keuntungan ekonomi dari situasi tersebut.

📌 Kasus di Batavia:
Pada abad ke-18 dan 19, saat rakyat pribumi menderita di bawah kolonialisme Belanda, beberapa keluarga dari Klan Ba’alwi justru mendapatkan keistimewaan dalam perdagangan, menjadi perantara dagang Belanda, serta mendapatkan perlindungan khusus (Klan ba’alwi  di gaji dengan dijadikan menjadi perwakilan Belanda di setiap daerah dengan sebutan “Kapiten Arab”). Mereka lebih memilih bekerja sama dengan penjajah daripada ikut serta dalam perjuangan rakyat.

Silahkan melihat informasi tersebut di link berikut ini:



📌 Kasus Perang Diponegoro (1825-1830):
Dalam Perang Diponegoro, banyak ulama dan santri gugur melawan penjajah. Namun, apakah ada catatan bahwa Klan Ba’alwi juga ikut serta dalam perjuangan ini? Tidak ada. Sebaliknya, mereka justru menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial dan tidak menunjukkan kepedulian terhadap perjuangan rakyat Nusantara. Justru dari kalangan klan ba’alwi yang bernama Ibrahim ba’abud  berkhianat terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro yang menjadikan Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda.

Silahkan dilihat informasinya di link berikut:

https://www.walisongobangkit.com/habib-baabud-klan-baalwi-sang-pengkhianat-vs-kyai-babud-karbasan-sang-pejuang-dua-sisi-sejarah-di-balik-perang-diponegoro/

 

📌 Geger Cilegon 1888 (Pengkhianatan Habib Usman bin Yahya dalam Peristiwa Geger Cilegon 1888)

Salah satu contoh paling jelas dari Pengkhianatan Klan Ba’alwi terhadap perjuangan bangsa Indonesia adalah peran Habib Usman bin Yahya (Mufti Betawi, 1822-1913) dalam peristiwa Geger Cilegon 1888

Geger Cilegon 1888 adalah pemberontakan petani Banten terhadap penjajahan Belanda yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888. Perlawanan ini dipimpin oleh ulama-ulama pribumi dan pejuang tarekat yang muak dengan kolonial. Namun, alih-alih mendukung perjuangan rakyat, Habib Usman bin Yahya justru mengeluarkan fatwa yang mendukung Belanda dan menentang jihad rakyat Banten!

📌 Isi Fatwa Pengkhianatan Habib Usman bin Yahya:
Dalam kitabnya Manhajul Istiqâmah fîd Dîn bis Salâmah , halaman 22, ia menulis:

“Bahwa perbuatan bikin rusuh negeri sebagaimana yang telah jadi di Cilegon Banten dan yang dahulu di Bekasi sekalian itu batil bukannya jihad sebab tiada syarat-syaratnya malahan perbuatan begitu rupa melanggar agama dengan menjatuhkan beberapa banyak darurat pada orang-orang.”

Dampak dari Fatwa Ini:

Fatwa ini dijadikan alasan oleh Belanda untuk menindak keras para pejuang rakyat Banten.
Para ulama tarekat yang memimpin pemberontakan kehilangan dukungan dari sebagian umat yang mempengaruhi fatwa tersebut.
Perjuangan rakyat menjadi lebih sulit karena adanya pengkhianatan dari dalam umat Islam sendiri.
📌 Kesimpulan dari Kasus Geger Cilegon 1888:
👉 Klan Ba’alwi menunjukkan keberpihakan kepada penjajah dan tidak memiliki loyalitas terhadap bangsa Indonesia.
👉 Fatwa yang mereka keluarkan lebih menguntungkan kepentingan kolonial daripada kepentingan umat Islam dan rakyat Indonesia.
👉 Mereka bukan bagian dari perjuangan kemerdekaan, namun justru menjadi alat penjajah untuk membangkitkan perlawanan rakyat.

Silahkan dilihat informasinya di link berikut:

https://www.walisongobangkit.com/penghianatan-habib-asal-yaman-klan-baalawiy-habib-utsman-bin-yahya-terhadap-perjuangan-pribumi-melawan-penjajah-belanda/

 

📌 Pengkhianatan di Aceh
Pada 13 Oktober 1878, Habib Abdurrahman El Zahir menyerah kepada Belanda dengan bayaran 10.000 gulden/bulan. Ia bahkan membantu Belanda merancang strategi untuk menundukkan Aceh.

Silahkan dilihat informasinya di link berikut:

https://www.walisongobangkit.com/fakta-sejarah-sosok-yang-berjasa-kepada-penjajah-belanda-terkait-perang-aceh-adalah-seorang-habaib/

 

📌 Perang Banjar (Martapura)
Tahun 1864, Syarif Hamid Al-Idrus bin Pangeran Syarif Ali Al-Idrus berkhianat dengan membantu Belanda menangkap prajurit Demang Lehman demi ketidakseimbangan jabatan dan hadiah gulden. Akibat pengecualian ini, Demang Lehman digantung Belanda, dan kepalanya dibawa ke Museum Leiden.

Silahkan dilihat informasinya di link berikut:

https://www.walisongobangkit.com/penghianatan-habib-hamid-al-idrus-bin-pangeran-syarif-ali-al-idrus-pada-perjuangan-demang-lehman-melawan-belanda-perang-banjar-martapura/

 

*2. Saat Bukti Kejahatan Mereka Terungkap, Mereka Justru Berusaha Membungkam dan Menyerang Balik Para Pengkritiknya.*

Contoh Kasus: Penganiayaan Gus Fuad Plered (2023)

Salah satu bukti nyata dari pola ini adalah kasus perpecahan terhadap Gus Fuad Plered pada 19-20 Maret 2023 . Gus Fuad adalah salah satu tokoh yang secara terbuka mengkritik status nasab Klan Ba’alwi. Namun, bukannya menjawab dengan ilmiah atau membuktikan klaim mereka dengan bukti, para pendukung Klan Ba’alwi justru memilih jalan kekerasan untuk membungkam kritik.

📌 Fakta Kasus:

Gus Fuad mengalami penyampaian setelah menyuarakan penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa Klan Ba’alwi bukan keturunan Nabi.
Tidak ada satu pun tokoh Klan Ba’alwi yang mengecam tindakan kekerasan ini, yang menunjukkan sikap mereka dalam menghadapi kritik.
Media-media yang dikuasai mereka berusaha mengalihkan isu dan menutup-nutupi kejadian ini agar publik tidak mengetahui kebenarannya.
Contoh Kasus: Upaya Membungkam KH Imaduddin Utsman al Bantani

Penelitian KH Imaduddin Utsman al Bantani yang membuktikan bahwa nasab Klan Ba’alwi bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW mendapatkan banyak serangan dari berbagai pihak. Alih-alih merenungkan dengan argumen ilmiah, Klan Ba’alwi dan pendukungnya mencoba mendiskreditkan penelitian ini dengan cara:
✔ Menyebut penelitian KH Imaduddin sebagai “hoaks” tanpa bukti yang jelas.
✔ Menyerang kredibilitas KH Imaduddin secara pribadi.
✔ Menghindari perdebatan ilmiah dengan alasan yang tidak rasional.

*3. Saat Indonesia Berada dalam Kondisi Krisis, Loyalitas Mereka terhadap Bangsa Patut Dipertanyakan.*

Contoh Kasus: Sikap Klan Ba’alwi dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Saat Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, banyak ulama pribumi yang ikut serta dalam perang dan jihad melawan penjajah. Namun, apakah ada catatan bahwa Klan Ba’alwi berada di garis depan perjuangan ini? Justru sebaliknya, beberapa tokoh Klan Ba’alwi memilih untuk menjaga hubungan baik dengan kolonial demi kepentingan kelompok mereka sendiri.

📌 Kasus Proklamasi 17 Agustus 1945:
Saat para tokoh nasionalis seperti Sukarno, Hatta, dan para pejuang lainnya terancam nyawa untuk memproklamasikan kemerdekaan, tidak ada peran signifikan dari Klan Ba’alwi dalam peristiwa besar ini. Mereka lebih memilih untuk berada di posisi yang aman, tanpa ikut serta dalam perjuangan aktif.

📌 Kasus Klaim Palsu terhadap Pahlawan Indonesia:
Beberapa anggota Klan Ba’alwi mencoba menghubungkan diri dengan tokoh-tokoh besar perjuangan Indonesia, seperti Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol , dengan klaim nasab yang tidak berdasar. Mereka berusaha membentuk narasi seolah-olah leluhur mereka memiliki peran besar dalam perjuangan bangsa, padahal tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim ini.

*Kesimpulan: Klan Ba’alwi Bukan Bagian dari Perjuangan Bangsa Ini*

Dari berbagai contoh kasus di atas, kita dapat menarik kesimpulan yang jelas:

✅ Klan Ba’alwi lebih memilih diam atau berpihak pada pihak yang menguntungkan mereka dalam situasi sulit.
✅ Ketika kritik terhadap mereka muncul, mereka tidak menanggapinya secara ilmiah, namun justru berusaha membungkam dan menyerang balik pengkritiknya.
✅ Loyalitas mereka terhadap bangsa Indonesia patut dipertanyakan karena mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok sendiri.

Fakta-fakta ini harus menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai kita tertipu oleh klaim-klaim palsu yang hanya bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan segelintir orang dengan mengatasnamakan agama. Sudah saatnya bangsa Indonesia bersatu untuk menjaga kebenaran sejarah dan melindungi identitas nasional dari distorsi yang disengaja.

✊ Saatnya kita bangkit! Saatnya kita mengungkap kebenaran dan menghentikan manipulasi sejarah yang telah berlangsung selama ini!

 

Sebagian pihak mungkin berdalih, “Tidak semua anggota Klan Ba’alwi terlibat dalam kejahatan ini.” Namun, selama dua tahun terakhir, belum ada satu pun dari mereka yang secara terbuka membela Indonesia dari distorsi sejarah yang dilakukan oleh kelompoknya. Jika mereka benar-benar bagian dari bangsa ini, mereka seharusnya ikut menegakkan kebenaran dan menolak segala bentuk manipulasi sejarah.

Sebagai perbandingan, Prof. Peter Carey , seorang sejarawan asal Oxford yang bukan pribumi Indonesia, justru aktif membela sejarah asli bangsa ini. Lalu, di manakah suara para Habib Ba’alwi? Mengapa mereka diam ketika sejarah bangsa ini dipalsukan? Jawabannya jelas: karena mereka bukan bagian dari perjuangan bangsa ini!

Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk membuktikan sikap mereka. Faktanya, tidak ada satu pun anggota Klan Ba’alwi yang secara terbuka membela kebenaran sejarah Indonesia. Jika ada, tunjukkan di mana mereka? Sampai saat ini, bukti tersebut tidak pernah ada.

Sudah saatnya pribumi Nusantara menyadari fakta ini: Klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW, melainkan kelompok yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik dan sosial mereka sendiri. Bangsa Indonesia harus bersatu untuk melindungi sejarah dan identitasnya dari segala bentuk manipulasi dan penyesatan.

✊ *Saatnya kita bangkit! Saatnya kita menjaga warisan sejarah Indonesia agar tidak jatuh ke tangan mereka yang ingin mengubah demi kepentingan pribadi!*