
TUJUH HURUF DAN DIMENSI SEMESTA: TAFSIR SOPIR ANGKOT DAN ARDIPITHECUS
Oleh:
Abdur Rahman El Syarif
Pagi itu belum genap terbit, tapi diskusi telah membuncah seperti matahari yang menembus kabut. Di satu ruang maya, seorang bernama Ary Kiem memulai dengan menukil sabda Nabi:
“Inna hāżal Qur’āna unzila ‘alā sab‘ati ahrufin, fa ayyumā qara’tum fa aṣabtum, falā tamāraw fīhi fa innal mirā’a fīhil kufr.”
“Al-Qur’an diturunkan di atas tujuh huruf. Maka bacalah dengan huruf mana saja, kalian telah berbuat baik. Tapi janganlah kalian memperdebatkannya, sebab perdebatan tentangnya adalah kekufuran.” (HR. Muslim no. 818)
Hadits ini telah lama menjadi bahan diskusi para ulama tafsir dan ahli qira’at. Bahwa “tujuh huruf” bisa bermakna ragam dialek, variasi makna, atau bahkan lapisan makna ilahiah yang disusun sedemikian rupa sehingga ia terus hidup dalam setiap zaman. Tapi pagi itu, maknanya melompat ke semesta lain, yakni ke ruang dimensi fisika.
Ary Kiem yang sering menyebut dirinya sebagai sopir angkot dalam diskusi daring itu berkata dengan lugas namun dalam:
“Om,” Jika dia sudah memakai sebutan ini pertanda bahwa kalimat itu menceritakan tentang diskusi dia dengan Gus Dur yang biasa dia panggil sebagai Om Wahid. “Om, menurut saya, Allah menurunkan Al-Qur’an dengan kekuatan-Nya yang sepenuhnya, karena menurut Fisika, alam semesta terdiri dari tujuh dimensi utama, yakni massa, panjang, waktu, suhu, listrik, cahaya, dan jumlah materi.”
Diam. Hening. Tapi tak hampa. Lalu Ary Kiem membiarkannya mengalir. Bukankah dalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat pancaran ilmu semesta? Bukankah Allah berfirman:
“Sanurīhim āyātinā fil āfāqi wa fī anfusihim ḥattā yatabayyana lahum annahul ḥaq.”
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru alam dan pada diri mereka sendiri, hingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar.” (QS. Fushshilat: 53)
Kemudian muncul Surah Saba’ ayat 12 sebagai pemantik tafsir dimensi kelistrikan:
“Dan Kami alirkan baginya (Sulaiman) mata air tembaga…” (QS. Saba: 12)
Tembaga. Dalam dunia teknik elektro, tembaga dikenal sebagai konduktor listrik terbaik secara alami setelah perak. Ia mampu menghantarkan muatan dengan resistansi sangat rendah. Dalam istilah Saintifik, resistivitas tembaga adalah sekitar 1.68 x 108 Ohm·meter pada suhu kamar. Sungguh, nyaris ideal.
Apakah ayat itu sekadar kisah atau sebuah kode?
Dalam Tafsir Al-Baghawi dan Al-Thabari, “qithr” (قِطْرٍ) disebut sebagai tembaga cair yang ditundukkan Allah untuk kepentingan kerajaan Sulaiman, dengan kekuatan di luar kapasitas teknologi manusia saat itu.
Tapi sang sopir angkot tidak berhenti di sana. Ia menembus satu titik sunyi yang menyentak.
Ia berkata:
“2000 tahun lalu, di Baghdad, orang sudah menemukan baterai. Logam penghantarnya? Tembaga.”
Ary Kiem pun serius membuat peserta diskusi tersentak kagum. Ia tidak sedang bercanda. Ia pun mengisahkan tentang baterai Baghdad, teknologi ribuan tahun sebelum Faraday. Baghdad Battery, sebuah artefak purbakala yang ditemukan di daerah Khujut Rabu’, Irak, diyakini oleh sebagian arkeolog sebagai cikal-bakal teknologi penyimpanan energi listrik. Tabung tembaga di dalam bejana tanah liat yang berisi cairan asam, bisa menghasilkan arus listrik kecil.
Ary Kiem berkisah saat itu Om Wahid saat mendengarkan ulasan darinya kemudian memekik penuh rasa takzim: “Son of Jacob!”
Kalimat itu mengandung lapisan identitas dan spiritualitas. Yakub (Jacob) adalah ayah dari Bani Israel. Seorang sopir angkot yang tak punya gelar akademik tiba-tiba bisa melintasi ruang tafsir, sains, dan arketipe kenabian. Ia pun menjawab lembut kepada Gus Dur: “Baruch Hashem.” Segala puji bagi Nama-Nya.
Ary Kiem melanjutkan refleksinya di ruang diskusi yang sudah terasa hangat meski empun di rerumputan depan rumah belum mengering.
“Sekarang, demi Allah, Siapa yang betulan masih zurriyah Rasulullah SAW dan Sayyidina Ali RA? Yang memikul Qur’an, hadis, dan sains, bukan sekadar sorban dan teriakan mata melotot?”
Pertanyaan tajam pun muncul dari sisi lain layar:
“Apakah peristiwa pelanggaran hari Sabat, yang membuat Bani Israel menjadi kera, itu sejati atau hanya kiasan?”
Ary Kiem menjawab, “Sejati. Allah mengubah mereka menjadi Ardipithecus, manusia purba sebelum budaya dan peradaban.”
Satu frasa yang mengundang kontemplasi:
“Apa susahnya bagi Allah membalikkan evolusi? Bukankah Dia yang menciptakan evolusi itu sendiri?”
Pengetahuan pun bersambut. Ardipithecus ramidus, yang hidup sekitar 4,4 juta tahun lalu di Ethiopia, adalah hominid awal dengan struktur tubuh yang belum sepenuhnya tegak, dan kecakapan sosial yang primitif. Apa gerangan bentuk “penghinaan” yang lebih menyakitkan daripada di-reset menjadi makhluk yang kehilangan akal budinya?
Ayat yang jadi penguat:
“Dan sungguh, kalian telah mengetahui orang-orang di antara kalian yang melanggar hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka: ‘Jadilah kalian kera yang hina!’” (QS. Al-Baqarah: 65)
Dan kajian inilah yang mendasari kerangka berfikir Gus Fuad Plered sehingga menyebutkan seorang tokoh imigran sebagai Ardipithecus ramidus (kera) dan akhirnya menjadi polemik sosial budaya.
Seseorang kemudian bertanya:
“Jika mereka punya keturunan, apakah Y-DNA mereka bisa dilacak?” Pertanyaan genetika yang sangat modern, menyatu dalam tafsir klasik. Seorang menjawab ringkas,
“Y-DNA dengan haplogrup G sudah pasti bukan Arab, bukan bani Hasyim.” Dan jawaban itu ditutup dengan Surah Al-Baqarah, fa‘alu limā yurīd (Dia berbuat sesuai kehendak-Nya).
Dan saat langit mulai terang, diskusi itu berakhir tak dengan kesimpulan, tapi dengan kesadaran bahwa ilmu, zikir, dan tafsir bisa lahir dari siapa saja. Bahkan dari mereka yang duduk di belakang kemudi angkot, bukan di balik mimbar dengan imamah yang tebal, gamis yang berjuntai dan mata yang melotot berteriak ‘takbir’.
Dan tulisan ini menjadi saksi bisu bahwa Qur’an memang diturunkan dengan tujuh huruf. Tapi ia juga menyentuh tujuh lapis langit, tujuh spektrum cahaya, tujuh cakrawala dimensi. Ia adalah Kitab yang berbicara pada zaman, dan juga melampauinya.
Dan mereka yang menghidupkan ayat-ayat itu bukan hanya para ulama di menara, tapi juga para penziarah sunyi yang mendekapnya di jalanan.
“Dan tidaklah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an ini melainkan agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka berpikir.” (QS. An-Nahl: 44)
Wallahu A’lamu Bi ash-Shawab
#peradabanislam #islam #quran #hadits #sains #Ardipithecusramidus #nusantara #obrolan #oborpemikiran

Tidak ada komentar:
Posting Komentar