MUTIARA ILMU: *JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA*

Senin, 28 April 2025

*JEJAK RUHANI DI PANGGUNG KEKUASAAN: SUFISME POLITIK DARI SAMARKAND KE NUSANTARA*

https://www.facebook.com/share/p/16N7TbBnJv/


_(Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika (9 Mutiara Hikmah) Jatman NU dari Mudir Ali Idarah 'Aliyah Jatman NU, *Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa*)_ 

Oleh: *Abdur Rahman El Syarif*

BAB V. 
DI BUMI MELAYU: NAQSYABANDIYAH DAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM NUSANTARA

*5.2 Di Gerbang Aceh: Awal Penyebaran Naqsyabandiyah di Nusantara*

Aceh, yang oleh banyak sejarawan dijuluki sebagai "Serambi Mekkah", menjadi pintu masuk utama penyebaran ajaran Islam di kepulauan Nusantara. Sejak abad ke-13 hingga ke-17, Aceh bukan hanya pusat perdagangan dan politik, tetapi juga pusat pendidikan Islam dan tasawuf. Dalam konteks ini, thariqah Naqsyabandiyah menemukan lahan subur untuk bertumbuh dan berkembang.

Gelombang pertama penyebaran Thariqah Naqsyabandiyah di Aceh berkaitan erat dengan dinamika dunia Islam pada abad ke-16 hingga ke-17, ketika jalur perdagangan maritim menghubungkan India, Hijaz, dan Asia Tenggara. Para ulama sufi dari India, khususnya dari Delhi dan Gujarat serta dari Arab Saudi di timur Tengah dan Samarkand di Asia Tengah, banyak yang bermukim atau sekurang-kurangnya singgah di Aceh dalam perjalanan dakwah mereka.

Dalam periode ini, muncul tokoh-tokoh penting yang memperkenalkan ajaran Naqsyabandiyah atau semangat tasawuf reformis ke masyarakat Aceh. Salah satu nama yang kerap disebut adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili (w. 1693 M), seorang ulama besar Aceh yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah) dan membawa pulang ajaran thariqah ke kampung halamannya. Meskipun Syekh Abdurrauf lebih dikenal sebagai penganut Shattariyah, jejak Naqsyabandiyah di Aceh kemungkinan mulai menguat pada masa sesudahnya, terutama melalui jaringan murid-murid yang meneruskan semangat tasawuf reformis di wilayah ini.

Masuknya Naqsyabandiyah ke Aceh juga didorong oleh faktor politik. Kesultanan Aceh Darussalam, dalam berbagai fase pemerintahannya, menunjukkan ketertarikan untuk mengadopsi legitimasi keagamaan berbasis tasawuf dalam memperkuat kedudukan politiknya. Raja-raja Aceh tidak sekadar mengundang ulama untuk menjadi pengajar di istana, tetapi juga menjadikan thariqah sebagai sarana penguatan sosial dan spiritual di tengah masyarakat yang multikultural.

Selain itu, faktor perdagangan dan pelayaran turut mempercepat penyebaran ajaran ini. Pedagang-pedagang Aceh yang melakukan perjalanan ke Gujarat, Hijaz, dan bahkan hingga Turki membawa pulang praktik-praktik tasawuf dan memperkenalkannya ke kampung halaman mereka. Dengan demikian, Naqsyabandiyah tumbuh bukan hanya dalam lingkup elite istana, tetapi juga di kalangan rakyat biasa melalui madrasah, pesantren, dan surau-surau kecil.

Bab ini akan menelusuri lebih jauh bagaimana Aceh menjadi gerbang awal bagi berkembangnya Naqsyabandiyah di kepulauan Melayu, menyoroti peran para ulama perintis, dinamika adat, budaya dan sosial politik yang melatarbelakanginya, serta transformasi sufisme Aceh dari masa ke masa.

5.2.1 Perkembangan Thariqah di Kesultanan Aceh Darussalam

Sejak abad ke-16, Aceh Darussalam telah menjelma menjadi salah satu pusat Islam terpenting di kawasan Asia Tenggara. Kesultanan ini bukan hanya dikenal karena kekuatan militernya dalam melawan Portugis, tetapi juga karena peranannya sebagai pusat penyebaran ilmu agama, tasawuf, dan thariqah.

Thariqah-thariqah sufi, terutama Shattariyah dan Naqsyabandiyah, berkembang subur di Aceh melalui jaringan ulama yang berafiliasi dengan Haramain (Mekkah dan Madinah) dan pusat-pusat tasawuf di India dan Samarkand. Ulama-ulama Aceh kerap menimba ilmu di Timur Tengah lalu kembali ke tanah air membawa ajaran-ajaran thariqah yang telah mereka pelajari.

Dalam struktur sosial Aceh, keberadaan thariqah menjadi salah satu tulang punggung spiritual masyarakat. Ia tidak hanya hidup dalam dunia wirid dan zikir, melainkan juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik, memperkokoh solidaritas komunitas Muslim dalam menghadapi ancaman eksternal, khususnya kolonialisme Barat.

5.2.2 Peran Syekh Abdurrauf Singkel dan Integrasi Ajaran Naqsyabandiyah ke Sistem Pemerintahan dan Pendidikan

Salah satu tokoh kunci dalam perkembangan tasawuf di Aceh adalah Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili (w. 1693 M). Ia belajar di Mekkah dan Madinah selama hampir dua dekade, berguru kepada para ulama besar tasawuf, termasuk mursyid-mursyid dari thariqah Shattariyah dan Naqsyabandiyah.

Sekembalinya ke Aceh, Syekh Abdurrauf mendirikan pusat pendidikan Islam yang kelak menjadi model bagi sistem pendidikan pondok pesantren di Nusantara. Ia menyusun ajaran tasawuf dengan pendekatan yang sistematis, menekankan pentingnya adab, tauhid murni, dan amal zikir. Melalui karyanya seperti Mir’at al-Tullab, ia mewariskan literatur penting yang menjadi pedoman tidak hanya dalam tasawuf, tetapi juga dalam tata hukum dan sosial.

Meskipun beliau dikenal terutama sebagai tokoh Shattariyah, semangat integratifnya membuka jalan bagi penerimaan ajaran-ajaran Naqsyabandiyah yang masuk ke Aceh melalui jalur lain. Di tangan para murid dan penerusnya, elemen-elemen Naqsyabandiyah seperti dzikr khafi (zikir dalam hati) dan penekanan pada keseimbangan syariat-hakikat mulai mengakar kuat di kalangan masyarakat Aceh.

Dalam pemerintahan, Syekh Abdurrauf berperan sebagai Qadhi Malik al-Adil (Mufti Kesultanan), sehingga ajaran-ajarannya menjadi bagian integral dari sistem hukum dan pendidikan formal Kesultanan Aceh. Pengaruhnya sangat besar dalam membentuk karakter religius rakyat Aceh dan memberikan dasar ruhani dalam kehidupan bernegara.

5.2.3 Hubungan antara Ulama Sufi dan Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M) adalah salah satu raja terbesar Kesultanan Aceh yang memerintah dengan tangan kuat, namun juga menunjukkan dukungan besar terhadap dunia pendidikan Islam dan tasawuf. Ia memfasilitasi pembangunan madrasah, memperkuat posisi para ulama di dalam istana, dan menjadikan ulama sufi sebagai penasihat spiritual bagi pemerintahan.

Hubungan antara Sultan dan para ulama sufi di Aceh menunjukkan simbiosis yang sangat erat,  sultan membutuhkan legitimasi spiritual untuk memperkuat kekuasaannya, sementara ulama membutuhkan perlindungan politik untuk mengembangkan jaringan dakwah dan pendidikan.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa di masa Sultan Iskandar Muda, muncul praktek integrasi antara kekuatan duniawi (siyasa) dan kekuatan ruhani (tasawuf) sebagai fondasi pemerintahan. Ini menjadi cikal bakal "politik ruhani" yang akan mewarnai tradisi Aceh hingga abad-abad selanjutnya.

5.2.4 Politik Ruhani: Resistensi terhadap Portugis dan Belanda

Perpaduan antara kekuatan tasawuf dan struktur politik ini menjadi benteng utama Aceh dalam menghadapi ekspansi kolonial Barat. Para sufi memainkan peran ganda: di satu sisi sebagai pembimbing spiritual, dan di sisi lain sebagai penggerak semangat jihad fi sabilillah melawan Portugis dan kemudian Belanda.

Sikap resistensi ini tidak lahir semata-mata dari nasionalisme awal, melainkan dibangun di atas doktrin ruhani yang mengajarkan pentingnya menjaga hifdz al-din (penjagaan agama) dan amar ma'ruf nahi munkar. Ulama sufi Aceh mengajarkan bahwa mempertahankan tanah air dari serangan kafir adalah bagian integral dari laku spiritual.

Dalam banyak perlawanan fisik, para pemimpin perlawanan adalah alumni atau bagian dari jaringan thariqah. Ini memperlihatkan bagaimana Naqsyabandiyah, meskipun dalam format spiritual, bertransformasi menjadi kekuatan sosial-politik yang efektif dalam mempertahankan identitas Islam di Nusantara.

Aceh, dengan demikian, tidak hanya menjadi pintu masuk Naqsyabandiyah, tetapi juga menjadi benteng yang membuktikan bahwa sufisme mampu membentuk karakter bangsa: religius, tangguh, dan mandiri

Catatan Reflektif: Denyut Zikir di Balik Deru Perang

Meskipun bahasan utama bab ini berfokus pada perkembangan awal tarekat Naqsyabandiyah dan pengaruh ruhani dalam Kesultanan Aceh Darussalam abad ke-17, penting untuk menengok sejenak bagaimana warisan ruhani itu terus mengalir, melintasi generasi, hingga menjadi napas perjuangan melawan kolonialisme pada abad-abad berikutnya. Semangat jihad ruhani, keterikatan pada tarekat sufi, dan zikir sebagai kekuatan batin hidup nyata dalam sosok-sosok pejuang Aceh abad ke-19, seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.

Walaupun mereka hidup hampir dua abad setelah masa Syekh Abdurrauf as-Singkili, tradisi tasawuf Aceh yang telah berakar kuat menjadikan perjuangan mereka bukan semata-mata perang fisik, melainkan jihad batin yang berlandaskan kesabaran (shabr), keteguhan (tsabat), dan ketawakkalan penuh kepada Allah.

Dalam derasnya gelombang penjajahan Belanda, para pejuang ini menapaki medan laga dengan denyut zikir di dada, menjadikan medan perang sebagai ladang pengabdian kepada Sang Khalik, Pencipt alam semesta.
Warisan ini menunjukkan bahwa ruhaniyah sufistik tetap menjadi daya hidup Aceh sepanjang zaman, dari bilik-bilik zikir Singkil, hingga riuhnya medan jihad di pedalaman Meulaboh.

Sebagaimana Allah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, serta tetaplah bersiap siaga, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung."
(QS. Ali 'Imran: 200)

Dan sabda Nabi ﷺ:
"Orang yang berjihad adalah yang berjuang melawan hawa nafsunya untuk menaati Allah."
(HR. Tirmidzi, no. 1621)

Dengan demikian, perlawanan Aceh bukan hanya epik sejarah, melainkan juga bagian dari perjalanan ruhani menuju Allah.

(Bersambung ke Sub Bab 5.3)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar