https://www.facebook.com/share/p/1BYkWw44U7/
**
_(Tulisan sederhana sebagai ikhtiar menterjemahkan Konsep Nawa Mustika Jatman NU dari Mudir Idarah 'Aliyah Jatman NU, Prof. Dr. KH. Ali Masykur Musa)_
Oleh: *Abdur Rahman El Syarif*
*BAB IV*
*JALUR SUTRA RUHANI: PERJALANAN SUNYI KE ARAH MASYRIQ*
Dalam bab ini, kita akan menelusuri perjalanan spiritual dan politik Thariqah Naqsyabandiyah saat menyebar dari Asia Tengah menuju Persia, India, dan Turki Utsmani. Di jalur inilah Naqsyabandiyah tidak hanya berfungsi sebagai praktik keagamaan individual, tetapi sebagai alat konsolidasi moral, sosial, dan bahkan politik dalam struktur negara.
*Jalur Sutra Ruhani: Jaringan Ulama, Mursyid, dan Kekuasaan*
Jalur Sutra (Silk Road) adalah jaringan perdagangan kuno yang menghubungkan Tiongkok dengan Dunia Islam, Eropa, dan Asia Selatan. Selain menjadi jalur distribusi barang mewah seperti sutra, rempah, dan batu mulia, Jalur Sutra juga berfungsi sebagai saluran pertukaran budaya, filsafat, sains, dan spiritualitas.
Dalam konteks Naqsyabandiyah, Jalur Sutra tidak hanya berarti perdagangan fisik, tetapi juga merujuk pada Jalur Sutra Ruhani, yakni jalur transmisi ajaran sufisme, zikir, sanad keilmuan, dan adab ruhaniyah. Para mursyid dan khalifah tarekat melakukan perjalanan melewati lembah-lembah dan kota-kota besar Jalur Sutra, membawa serta cahaya spiritual yang kemudian membentuk jalinan ruhani lintas wilayah.
Kota-kota seperti Bukhara, Samarkand, Balkh, Herat, Nishapur, Merv, hingga Kashgar menjadi titik-titik penting dalam peta penyebaran Naqsyabandiyah. Di sanalah dibangun madrasah, zawiyah, dan tempat khalwat yang menjadi pusat pembinaan para salik dan ulama.
Penyebaran Naqsyabandiyah mengikuti jalur-jalur intelektual dan perdagangan, khususnya yang dikenal sebagai "Jalur Sutra". Namun lebih dari sekadar jalur ekonomi, ia menjadi jalur pertukaran ruhani dan kekuasaan. Para khalifah tarekat, dengan sanad keilmuan dan spiritual yang kuat, mengembara dan menetap di berbagai pusat peradaban Islam, seperti Herat, Isfahan, Delhi, Istanbul. Jaringan murid dan mursyid ini membentuk "daulah batin" yang melampaui batas-batas kekuasaan formal.
Naqsyabandiyah memelihara sistem silsilah (silsilah) yang ketat, menghubungkan setiap mursyid dengan sanad yang bersambung kepada Rasulullah melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ini memberi otoritas spiritual yang diakui lintas batas wilayah. Di sepanjang Jalur Sutra Ruhani, para mursyid seperti Baha’uddin Naqsyaband (Bukhara), Khwaja Ahrar (Tashkent-Samarkand), dan Ahmad Sirhindi (India) membangun jaringan hubungan antar pusat tarekat yang kuat dan stabil.
Jaringan ini juga mencakup sistem pendidikan spiritual berbasis adab, zikir khafi, dan penguatan moral pribadi. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi rujukan politik karena wibawa spiritual mereka, bukan karena ambisi kekuasaan.
Perjalanan Naqsyabandiyah tidak ditandai oleh revolusi berdarah atau kudeta kekuasaan, tetapi oleh gerakan sunyi melalui transformasi individu. Para penguasa sering kali mendekat kepada para sufi bukan karena tekanan, tetapi karena kebutuhan akan bimbingan moral dan legitimasi spiritual.
Karena itulah, di banyak kota sepanjang Jalur Sutra, para khalifah tarekat bukan hanya tokoh keagamaan, tetapi juga menjadi penasehat istana, mediator konflik, dan penghubung antara rakyat dan elite.
*Di India: Pengaruh Naqsyabandiyah atas Dinasti Mughal*
Naqsyabandiyah mulai masuk ke anak benua India sejak abad ke-15 melalui para khalifah dari Asia Tengah. Namun, pengaruh paling monumental datang dari Syekh Ahmad Sirhindi (1564–1624), seorang sufi sekaligus ulama besar yang kemudian dikenal dengan gelar Mujaddid Alf al-Tsani, sang Pembaru Abad ke-2 Hijriyah. Ia lahir di Sirhind, Punjab, dan merupakan murid dari Syekh Baqi Billah, pelopor Naqsyabandiyah di India yang berasal dari Kabul dan menetap di Delhi.
Di bawah kekuasaan Dinasti Mughal, khususnya pada masa Jalaluddin Akbar (r. 1556–1605), terjadi arus kuat sinkretisme religius yang dikenal dengan Din-i Ilahi, sebuah gagasan yang ingin mempersatukan berbagai agama besar India, Islam, Hindu, Zoroaster, Jain, dan Kristen ke dalam satu sistem kepercayaan istana. Dalam suasana ini, banyak ulama dan tokoh keagamaan yang memilih diam atau kompromi.
Di tengah gelombang itu, muncul seorang sufi muda dari Sirhind, Punjab, bernama Ahmad bin Abdul Ahad (1564–1624). Dikenal sebagai Imam Rabbani, Syekh Ahmad Sirhindi bukan hanya seorang sufi, tapi penyeimbang zaman. Tulisannya yang menggelegar, makātīb (surat-surat ruhani), menembus istana, menghidupkan kembali syariat, dan menjadi titik balik bagi perjalanan sejarah Islam di anak benua India.
Sebuah Awal yang Sunyi. Awalnya Imam Rabbani tidak mencari konfrontasi. Ia memulai dengan ilmu dan zikir. Ia mendalami berbagai ilmu zahir, berguru kepada para ulama dan sufi, dan kemudian memasuki jalan.
Naqsyabandiyah-Mujaddidiyah melalui Syekh Muhammad Baqi Billah (w. 1603), murid dari jalur Naqsyabandiyah India yang bersambung ke Imam Khwaja al-Ahrar. Namun ketika ia melihat syariat Islam diinjak-injak oleh penguasa demi toleransi yang dipaksakan, ia tidak diam. Ia mengirim surat-surat kepada pejabat, ulama, bahkan kaisar, dengan bahasa yang tajam tapi penuh hikmah.
Ia menulis lebih dari 500 maktubat (surat-surat) kepada para pejabat, ulama, dan bahkan penguasa, menasihati mereka agar kembali kepada nilai-nilai Islam yang murni. Dalam salah satu maktubat kepada seorang wazir, ia menulis:
“Agama tidak akan hidup dengan kemewahan dan debat, tetapi dengan amal yang tulus dan pemimpin yang adil. Pemimpin bukan hanya pelindung negeri, tetapi juga pelayan syariat.”
Ketika Jahangir naik tahta, Sirhindi sempat ditahan karena pengaruhnya yang besar, namun kemudian dibebaskan setelah beberapa penasihat istana mulai tersentuh oleh kedalaman spiritualitas dan konsistensinya. Ia dikenal menolak kekerasan dan memberdayakan jalur intelektual dan spiritual.
Kisah Sang Sufi ketika ditawan oleh Jahangir. Karena surat-suratnya yang menyerukan tegaknya syariat dan mengkritik Dīn-i-Ilāhī, Imam Rabbani dipanggil ke istana oleh Jahangir. Ia tetap mengenakan pakaian sufi sederhana. Di hadapan kaisar, ia diminta bersikap lunak terhadap ide-ide sinkretik istana. Tapi ia menolak.
“Agama bukan permainan para penguasa,” katanya, “dan syariat bukan selimut yang bisa dilipat dan dibentangkan sesuka hawa nafsu.”
Ia pun dipenjara di Gwalior selama hampir satu tahun. Tapi di dalam penjara, bukan rasa takut yang tumbuh justru majlis-majlis zikir, pelajaran tasawuf, dan penguatan akidah yang menyebar di antara para tahanan dan penjaga.
Penjaranya berubah menjadi madrasah ruhani.
Akhirnya, Jahangir sendiri berubah pandangan. Ia mengakui keteguhan Imam Rabbani dan melepaskannya. Hubungan keduanya kemudian membaik. Imam Rabbani bahkan menjadi penasihat spiritual informal bagi pejabat-pejabat tinggi, yang kemudian memulihkan banyak kebijakan pro-syariat di masa-masa berikutnya.
Murid-murid Sirhindi kemudian menjadi guru dan penasihat istana, termasuk pada masa Aurangzeb (r. 1658–1707), yang dikenal sebagai sultan paling religius dalam sejarah Mughal. Aurangzeb menghormati ulama, memperluas peran madrasah, dan menolak kebijakan sinkretis para pendahulunya. Dalam banyak catatan, Aurangzeb sering menyendiri membaca kitab tasawuf dan bahkan memintal kain untuk nafkahnya sendiri.
Naqsyabandiyah menjadi kekuatan moral dan spiritual yang tidak hanya menghidupkan kembali nilai-nilai syariat, tetapi juga memperkuat akar etika dalam pemerintahan. Jaringan zikir, pengajian, dan majlis hikmah yang disebarkan oleh para khalifah tarekat menjadi benteng kebudayaan Islam di tengah pluralitas anak benua.
Dalam salah satu riwayat dialog antara murid dan gurunya, ketika seorang pejabat bertanya kepada seorang khalifah Sirhindi, “Bagaimana mungkin zikir batin bisa mengubah negeri?” sang mursyid menjawab:
“Batin yang jernih melahirkan niat yang lurus; niat yang lurus menggerakkan kebijakan yang bijaksana; dan kebijakan yang bijaksana akan memelihara keadilan. Inilah kekuatan zikir yang tidak tampak, tapi menuntun yang tampak.”
Perjalanan Naqsyabandiyah di India adalah contoh bagaimana sebuah tarekat bisa menjadi jantung spiritual dan moral bagi kekuasaan, tanpa harus memegang pedang atau tahta. Ia merasuk ke dalam ruh peradaban dengan kesunyian yang berdaya. melalui figur agung Imam Rabbani, Syekh Ahmad Sirhindi (1564–1624). Di bawah kekuasaan Dinasti Mughal, terutama masa Akbar dan Jahangir, sufisme mengalami tantangan karena sinkretisme keagamaan istana.
Sirhindi muncul sebagai pembaru spiritual yang menolak akulturasi teologis, namun tetap bersikap politik elegan. Ia menulis ratusan maktubat (surat-surat spiritual) kepada pejabat dan sultan. Murid-muridnya kemudian memengaruhi istana melalui jalur etika dan spiritualitas, bukan pemberontakan.
Meskipun sempat dipenjara karena kritiknya terhadap kebijakan sinkretik, pengaruhnya justru melebar. Ia menjadikan Naqsyabandiyah bukan sekadar tarekat spiritual, tetapi pusat konsolidasi moral umat dalam menghadapi kekacauan politik dan sosial.
Naqsyabandiyah kemudian menjadi salah satu kekuatan moral dalam birokrasi dan sistem pendidikan Mughal, terutama pada era Aurangzeb, yang dikenal sangat mendukung syariat dan ulama.
*Hujjah dan Hikmah dari Imam Rabbani*
Imam Rabbani bukan sembarang sufi. Ia menulis lebih dari 500 surat kepada para pejabat, ulama, sufi, dan murid-muridnya. Beberapa petikannya menjadi warisan hikmah:
• “Tauhid tidak akan hidup tanpa syariat, dan syariat tidak akan tegak tanpa tauhid.”
• “Sufi sejati tidak tenggelam dalam ekstase, tapi terjaga dalam kehendak Ilahi.”
• “Aku melihat dalam waktu, bahwa setiap abad memiliki pelurus. Dan yang meluruskan bukan yang mencari tahta, tapi yang menundukkan dirinya pada Sang Raja segala raja.”
Ia juga menjelaskan bahwa kekuatan tarekat bukan dalam kekuatan massa, tetapi kekuatan batin: “Kemenangan bukan dari jumlah, tetapi dari cahaya hati. Jika satu sufi menyalakan tauhid di dalam istana, maka seluruh kerajaan akan ikut terang.”
Bagi para pemimpin, Imam Rabbani memberikan cermin bahwa kekuasaan tidak bisa dijalankan tanpa batasan spiritual dan moral. Dan bagi para aktivis atau ulama, ia memberi pelajaran bahwa perlawanan terhadap penyimpangan tidak harus dengan teriak di jalan, tetapi bisa dengan surat, doa, dan keberanian untuk tetap berdiri di tengah tekanan.
Dalam dunia yang semakin menyamarkan nilai-nilai, keberanian Imam Rabbani menjadi inspirasi: bahwa kesunyian bisa mengalahkan gegap-gempita, dan penjara bisa menjadi taman zikir.
Dari penjara Gwalior hingga istana Mughal, Imam Rabbani meninggalkan jejak bahwa seorang sufi bukan pelarian dari dunia, tapi penjaga dunia. Ia tidak menaklukkan dengan pedang, tapi dengan pena. Ia tidak meminta pengaruh, tapi menjadi pengaruh itu sendiri diam-diam, tetapi mengguncang zaman.
Berikut ini adalah beberapa kutipan langsung dari Maktūbāt Imam Rabbānī (Ahmad al-Fārūqī as-Sirhindī), yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan dan menambah kekuatan spiritual. Kutipan-kutipan ini diambil dari surat-surat beliau yang dikenal luas dalam tradisi Naqsyabandiyah-Mujaddidiyah, dan banyak di antara mereka menjadi fondasi pemikiran keislaman yang reformis dan religius sekaligus.
Berturut-turut dari bahasa Arab, India dan Indonesia.
1. Tentang Pentingnya Syariat:
إذا لم تُبنَ الطَّريقة والحقيقة على أساس الشريعة، فكلُّ ذلك فاسد
"Shari‘at ke binaa par agar ṭarīqat aur ḥaqīqat taāmīr na ho, to woh sab faasīd hai."
"Jika jalan ruhani (ṭarīqat) dan hakikat tidak dibangun di atas syariat, maka semuanya rusak." (Maktubat, Jilid 1, Surat 260)
2. Tentang Tarekat yang Sejati:
حفظ الصورة الظاهرة للأعمال وتصديقها واجب على الصوفي
"Āmāl ke bāhirī ṣūrat ki ḥifāzat aur is kā taṣdīq karnā ṣūfī ke lie lāzim hai."
"Menjaga bentuk lahiriah amal dan mengakui kebenarannya adalah kewajiban bagi para sufi." (Maktubat, Jilid 1, Surat 22)
3. Tentang Reformasi Spiritual:
أعظمُ جهادٍ في هذا الزمان هو أن يُوَجَّهَ الناسُ إلى السُّنَّة
"Is zamānē meṅ sab sē baṛā jihād yē hai kih logōṅ kā rukh sunnat kī taraf pher diyā jāy."
"Pada zaman ini, jihad terbesar adalah mengarahkan manusia kembali kepada sunnah." (Maktubat, Jilid 1, Surat 193)
4. Tentang Zikir dan Kehadiran Ilahi:
حقيقة الذِّكر الأصلية هي أن يكون العبدُ في حضرة الحق
"Zikr kī asl ḥaqīqat yē hai kih banda ḥaḍrat-i-Ḥaqq kī ḥuzūrī meṅ rāhe."
"Hakikat zikir adalah hadirnya hamba di hadirat Tuhan Yang Maha Hakiki." (Maktubat, Jilid 2, Surat 36)
5. Tentang Tarekat dan Politik:
ما لم يكن قلبُ السلطانِ مُطيعًا للحق، فإنَّ حكمَه يُصبِحُ بلاءً على المسلمين
"Jab tak sulṭān kā qalb ḥaqq kā mutī‘ na ho, us kā ḥukm musalmānōn par afat ban jāta hai."
"Jika hati seorang sultan tidak tunduk kepada kebenaran, maka perintahnya menjadi bencana bagi kaum Muslimin." (Maktubat, Jilid 3, Surat 9)
6. Tentang Wali dan Perubahan Zaman:
جَدِّدُ اللهُ تعالى الدينَ في كلِّ زمانٍ بواسطةِ أوليائِه
"Allāh Ta‘ālā har zamānē mein apnē awliyā ke zaryē din kī tajdīd kartā hai."
"Allah Ta‘ālā membarui agama-Nya di setiap zaman melalui para wali-Nya." (Maktubat, Jilid 1, Surat 251)
7. Tentang Tawadhu dan Kehadiran Batin:
ألا يفتخرَ المرءُ بعلوِّ مرتبته، ولا يعترفَ بحالة قربه، فذلك هو الإخلاص الحقيقي
"Manṣab kī bulandī ka mān na honā aur qurb kī ḥālat kā itirāf na karnā, yē hi asl khulūṣ hai."
"Tidak merasa bangga dengan ketinggian maqam, dan tidak mengakui kedekatan spiritual, itulah ketulusan sejati." (Maktubat, Jilid 2, Surat 57)
8. Tentang Keikhlasan:
أصلُ قَبولِ الأعمالِ هو الإخلاص. فلو كان العملُ في ظاهره بالغَ الكمال، لكنه خالٍ من الإخلاص، فلن يكون مقبولًا عند الله تعالى.
“Amal ke qābul ḥonē kī asliyat ikhlāṣ hai. Jo amal ẓāhirī rūp sē nihāyat ālā ho, lekin us mēn ikhlāṣ na ho, woh Allāh Ta‘ālā ke nazdīk māqbul nahīn hotā.”
“Yang membuat amal diterima adalah keikhlasan. Suatu amal bisa tampak sangat sempurna dari luar, tetapi jika tidak disertai ikhlas, ia tidak akan diterima di sisi Allah Ta‘ālā.” (Maktūbāt, Jilid 1, Surat 16)
9. Kepemimpinan & Tanggung Jawab Penguasa.
إذا كان السلطانُ مُطيعًا لله تعالى، فإنّ حُكمَه يصبحُ رمزًا للعدل والإنصاف. وإذا اتّبع هواه، فإنّ ظلمَه يُصيبُ الجميع
“Sulṭān agar Allāh Ta‘ālā kā mutī‘ ho, to us kī hukūmat ʿadl-o-insāf kī nishānī ban jātī hai. Agar woh apnē hawā ke pīchē chaltā hai, to un kā zulm sab par musallat ho jātā hai.”
“Jika seorang sultan tunduk pada perintah Allah, maka pemerintahannya akan menjadi lambang keadilan. Tapi jika ia mengikuti hawa nafsunya, maka kezaliman akan menimpa semua orang.” (Maktūbāt, Jilid 3, Surat 9)
[Bersambung ke Bab 4 (Lanjutan)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar