MUTIARA ILMU: EMPAT NALAR KE-NU-AN TERKAIT NASAB

Senin, 01 Desember 2025

EMPAT NALAR KE-NU-AN TERKAIT NASAB

** Dari Duriyah PCNU KAB. Pekalongan

*(Sebuah Kritik ke-NU-an Terhadap Struktural NU & Kyai Muhibbin)*

*NALAR 1: HUBUNGAN KEORGANISASIAN NU-RA*
Banyak warga NU yang kurang memahami sejarah berdirinya NU dan peristiwa-peritiwa yang menyertai dan melatarbelakanginya, termasuk struktural NU. Beberapa fakta yang menunjukkan ulama NU dan habaib merupakan dua (2) entitas yang berbeda.
1. NU berdiri tahun *1926* dan Robithoh Alawiyah (RA) berdiri tahun *1928* (memilih bergabung dengan NU).
2. NU didirikan untuk memberikan wadah organisasi kaum tradisionalis yang tidak sejalan dengan organisasi lainnya. (Muhammadiyah, Serikat Islam).
3. RA didirikan *karena ekseklusifme habaib*. Dibuktikan habaib juga tidak dapat hidup bersama dengan sesama imigran Yaman yang tergabung dalam Al-Irsyad juga tidak bersedia bergabung dengan NU.
4. NU *mengakomodir Thoriqoh* yang merupakan salah satu maskot kaum tradisionalis. Thoriqoh menjadi simpul tradisi dan filosofi NU. Namun tradisi ini oleh Habib Usman *difatwakan sebagai ajaran sesat*. Ini tertulis dalam buku Manhaj al-Istiqomah karya Habib Usman bin Yahya. Bahkan  Habib Usman bin Yahya mengusulkan kepada Belanda melalui Snouck Hourgonje agar fatwa tersebut diterapkan di negara jajahan Belanda lainnya. Mengingat jamaah thoriqoh dan pesantren sering menjadi simpul perjuangan.

*NALAR 2 : PEMBATALAN NASAB HABAIB OLEH KH HASYIM ASY’ARI DAN 24 ULAMA*
Nasab habaib pernah dibatalkan oleh KH Hasyim Asy’ari sebagaimana terekam pada majalah at-Tobib, edisi ke 15 bulan September 1932. Pembatalan ini, bukanlah lahir dari kehampaan, apalagi kesia-siaan. Namun sebaliknya, *merupakan salah satu perjuangan KH Hasyim Asy’ari*. Tampaknya akibat terdesak oleh waktu sehingga beliau hanya mampu melibatkan  24 ulama saja. 
Dengan adanya fatwa awal ini, bagi struktural NU maupun Kyai NU apabila benar-benar mengikuti Kyai Hasyim Asy’ari, *jika hendak berbeda atau menyelisihi fatwa KH Hasyim Asy’ari*, haruslah diawali dengan bahtsul masail apabila *kehendak lembaga*, atau secara personal memberikan istidlal dan hujjah sebagai antitesis untuk *menggugurkan atau disandingkan dengan fatwa KH Hasyim Asy’ari.*
Mari kita lihat fakta dan kronologi yang melatar belakangi munculnya fatwa tersebut :

1. Habaib mengajukan pada Belanda melalui RA pada tahun 1929 agar gelar sayyid di khususkan kepada Ba’alwi
2. Tahun 1932, Habaib *mendesak Belanda* kesekian kalinya, agar Belanda segera mengeluarkan aturan tersebut. Ini merupakan permohonan ke tiga. Demi mendorong permintaan itu, Habib Usman Bin Yahya juga melayangkan surat kepada Snouck Hourgonje. (permohonan ke 4)
3. *September Tahun 1932* KH. Hasyim Asy’ari bersama 24 ulama mengeluarkan fatwa *”Penggunaan gelar Sayyid, Syarif dan Syarifah hanya diperuntukkan bagi dzuriyah Nabi*" sebagai bentuk penolakan pengajuan Ba’alwi. Maka  Belanda pada *Pebruari 1933* mengambil sikap atas desakan Habaib tersebut dengan menolak permintaan Habaib dengan alasan urusan agama bukan domain Belanda. Tampaknya Belanda sangat memperhatikan fatwa KH. Hasyim Asy’ari tersebut. Dan akibat penolakan tersebut, Ba’alwi pun akhirnya tetap menggunakan gelar habib hingga sekarang.
4. Kyai Hasyim Asy'ari tentunya mengetahui banyak ulama di Indonesia yang merupakan Sayyid-Syarif. Sebaliknya, konon banyak Dzuriyah Walisongo (baca; dzuriyah nabi) malah menyembunyikan identitas dan nasabnya.

*NALAR 3 : KEMBALILAH KE KHITTOH NU*
NU harus berani kembali kepada fitrah ke-Ulama-annya. Yaitu menjadi wadah ahli-ilmu yang mengakomodir dan membentengi ilmu, keyakinan dan amalan warga NU. Menjadi penerang warga NU. Jikapun menerangi warga non NU, itu adalah sebuah implikasi dan bonus. Melek terhadap kebutuhan warga NU dan menjauhkannya dari segala bentuk pembodohan atas nama agama dan atas nama NU. 
1. Berani mengkaji nasab atas dasar keharusan ilmu dan kebenaran.
2. Berani mengkaji khurofat klan Habaib Ba'alwi, mengkaji dengan serius ajaran-ajaran khurofat yang di ajarkan klan Habaib Ba'alwi kepada warga NU demi melindungi warga NU dari ketersesatan ajaran dan aqidah Islam yang diamanatkan oleh K.H. Hasyim Asyari kepada NU. 
3. Bahwa pada dasarnya NU adalah sebuah paguyuban, dan struktural itu bukan otoritas dan penafsir tunggal. Maka NU harus berani menghormati kajian yang telah banyak dilakukan ilmuwan NU (jika NU kesulitan mengakui keulamaan generasi muda seperti kealiman Kiai Imad, Kiai Nur Ihya’, KH. Gholob, Gus Azis Jazuli, Gus Hasan dll) yang nyata-nyata ke-NU-annya tidak perlu dipertanyakan daripada habaib yang nyata-nyata memiliki ormas tersendiri dan terus menggerogoti NU.
4. NU harus menerima kenyataan dan memiliki marwah terhadap ke-NU-an, bahwa penggiringan visi kiblat dari kebijakan lokal (Syaikh Abdul Qodir, Walisongo-Ulama) ke Tarim (Faqih Muqoddam, umroh, karomah-karomah khurofat palsu) itu ada pendeskreditan kepada ulama oleh habaib itu nyata. Penyelewengan itu nyata dan itu harus disikapi. Penggerusan ajaran NU (ulama-ilmu-tasawuf) kepada ajaran fanatisme itu sedang terjadi, dst... dst...
5. Siap melakukan otokritik baik pada Lembaga NU, Generasi NU maupun Peradaban NU.

*NALAR 4: BAPAK IDEOLOGI NU ADALAH WALISONGO BUKAN HABIB BA'ALWI*
NU harus tegak lurus dan total Bapak Ideologinya, yaitu Walisongo. Artinya bahwa *NU memang didirikan untuk meneruskan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dibawa oleh Walisongo.*

Logo bintang sembilan yang ada dalam logo NU adalah menyimbolkan tentang jumlah Walisongo yang diikuti, diperjuangkan dan diteruskan ajarannya oleh NU, bukan menyimbolkan jumlah Habaib Ba'alwi. Karena itulah, siapapun yang mengaku NU SEJATI dan KEMBALI KE KHITTOH NU harus berani:
1. *Menempatkan Walisongo benar-benar sebagai BAPAK IDELOGI-nya tanpa tawar sama sekali.* Bahwa ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang diusung NU adalah melanjutkan dan meneruskan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dibawa Walisongo.
2. Membela marwah Walisongo dan dzurriyyahnya dari segala bentuk hal yang mendeskreditkan, mengucilkan dan menghilangkan peran Walisongo dalam panggung sejarah Islam Nusantara, terutama oleh kaum Habaib Ba'alwi Imigran Yaman, yang kedatangannya di Nusantara telah terbukti dibawa oleh Penjajah Belanda.
3. Terus mendekat ke Dzurriyyah Walisongo untuk menjemput berkah dan keridhoan dari Walisongo, dan semakin menjauh dari klan Habaib Ba'alwi yang terbukti semakin merongrong NU dari dalam.
4. Tegas dan terang-terangan, menyatakan bahwa *Walisongo adalah Gurunya NU bukan Habaib Ba'alwi Gurunya NU.*
5. *Kembali ke Khittoh NU berarti kembali ke ajaran Walisongo.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar