*
https://www.walisongobangkit.com/mengungkap-kesesatan-ajaran-dalam-kitabnya-klan-baalwi-berjudul-manhajus-sawi-habib-bodoh-lebih-mulia-dari-70-ulama-atau-kiai-yang-saleh-dan-berilmu/
________________________________________
Kitab Manhajus Sawi karya Habib Zein bin Smith telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Muslim Sunni Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Salah satu klaim yang sangat mengundang polemik adalah pernyataan yang menempatkan seorang “habib jahil” lebih mulia dari 70 ulama atau kiai yang saleh dan berilmu. Klaim semacam ini, yang mengutamakan nasab di atas ilmu dan ketaqwaan, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
*Mengapa Klaim Ini Menyesatkan?*
1. *Islam Mengutamakan Ketaqwaan, Bukan Keturunan* Dalam Al-Qur'an, Allah SWT dengan jelas menyatakan bahwa keutamaan seseorang di sisi-Nya diukur berdasarkan ketaqwaan, bukan nasab. Firman Allah dalam Surat Al-Hujurat (49:13):
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.”
Ayat ini mengajarkan bahwa keturunan atau garis nasab tidak memberikan keistimewaan apapun jika seseorang tidak memiliki ketaqwaan. Oleh karena itu, pandangan yang mengutamakan seseorang hanya karena status nasabnya, bahkan jika dia tidak memiliki ilmu atau ketaqwaan, dibandingkan dengan ajaran Al-Qur'an.
2. *Pernyataan Nabi SAW Tentang Nasab dan Amal* Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Barang siapa yang amalnya memperlambatnya (untuk masuk surga), nasabnya tidak akan mempercepatnya.”
Hadits ini menegaskan bahwa amal dan ketaqwaan adalah penentu utama kekayaan seseorang, bukan keturunan. Rasulullah SAW, meskipun memiliki keturunan mulia, tidak pernah mengajarkan bahwa nasab itu dapat menutupi kekurangan amal atau menjadikan seseorang lebih mulia tanpa usaha dan ketaqwaan.
3. *Pandangan Ulama Sunni Tentang Keutamaan* Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya ilmu dan amal sebagai penentu kedudukan seseorang. Beliau berkata:
"Ilmu adalah pemimpin, dan amal adalah pengikutnya. Tidak ada keutamaan bagi orang yang tidak berilmu dan tidak bertakwa, meskipun ia memiliki nasab yang mulia."
Imam Syafi'i juga mengingatkan umat untuk tidak terpedaya oleh keturunan tanpa amal saleh. Beliau berkata:
“Kemuliaan seseorang itu tergantung pada agamanya, kesempurnaan akalnya, dan keindahan akhlaknya, bukan pada nasabnya.”
*Kritik Terhadap Doktrin dalam Manhajus Sawi*
Klaim dalam Manhajus Sawi yang mengutamakan keturunan dari segi keutamaan adalah bentuk penyimpangan yang bisa melanda umat Islam. Pandangan ini bisa memicu fanatisme nasab dan mengabaikan ajaran Islam yang menekankan keadilan, kesetaraan, dan pentingnya amal saleh.
Bahkan, klaim ini dapat merusak persatuan umat Islam dengan menimbulkan kesan bahwa keturunan Nabi memiliki status yang lebih tinggi terlepas dari keimanan dan amal perbuatan mereka. Ini berbahaya dan dapat memecah belah umat.
*Menjaga Kemurnian Ajaran Islam*
1. *Peran Ulama dalam Meluruskan Pemahaman* Ulama memiliki tanggung jawab besar untuk memahami pemahaman ini. Menurut Imam An-Nawawi, ulama harus tegas dalam menegakkan kebenaran dan menyanggah ajaran yang dapat merusak keimanan umat. An-Nawawi menulis dalam Syarah Shahih Muslim bahwa:
“Setiap Muslim mempunyai tanggung jawab untuk menyeru kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran, terutama jika menyangkut akidah dan prinsip dasar Islam.”
2. *Pentingnya Berpegang pada Dalil yang Shahih* Mengutamakan pandangan yang berlandaskan dalil shahih dari Al-Qur'an dan Hadits adalah suatu keharusan. Ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik bin Anas selalu berpegang teguh pada prinsip ini. Mengabaikan ajaran ini dan hanya berpegang pada nasab adalah tindakan yang menyimpang dari ajaran Islam.
*Kesimpulan*
Kitab Manhajus Sawi perlu dikritisi dan dipahami dengan hati-hati, terutama jika mengandung ajaran yang mengutamakan nasab di atas amal dan ketaqwaan. Umat Islam harus selalu berpegang pada prinsip bahwa keutamaan seseorang terletak pada ketaqwaan dan amal saleh, bukan pada keturunan atau garis nasab semata.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu menilai seseorang berdasarkan ketaqwaan dan amalnya, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian, kita dapat menjaga kemurnian ajaran Islam dan mempererat persatuan umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar