Pada 1817, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan sekolah dasar pertama di Batavia, yang dikhususkan bagi kalangan "pribumi" priyayi seperti bupati dan wedana. Beberapa sekolah yang pertama kali didirikan di antaranya adalah Weltevreden dan Molenvliet.
Kemudian pada 1901, melalui pidato Ratu Wilhelmina, Pemerintah Kolonial Belanda secara resmi menerapkan politik etis atau politik balas budi di Hindia Belanda, sebutan wilayah Indonesia masa dulu. Akibatnya, sekolah yang sebelumnya hanya dibuka untuk golongan priyayi atau ningrat, dapat dirasakan juga oleh masyarakat golongan "pribumi" secara menyeluruh.
Kemunculan sekolah-sekolah ini melahirkan golongan terpelajar di Hindia Belanda. Golongan terpelajar ini yang kemudian menginisiasi adanya "pergerakan nasional".
Pada 1905, kemenangan Jepang atas Rusia memicu lahirnya pergerakan nasional yang menciptakan semangat nasionalisme di beberapa wilayah Asia, termasuk Hindia Belanda.
Dengan adanya kesadaran untuk bersatu dan berjuang bersama melawan penjajah, masyarakat Indonesia saat itu mulai mendirikan organisasi kepemudaan, seperti Budi Utomo (1908), Jong Java (1915), hingga Persatuan Pelajar Indonesia (1926).
Kemunculan berbagai organisasi kepemudaan di tengah hadirnya ide akan kesadaran nasional telah mendorong para pemuda untuk bergabung. Pada akhirnya, organisasi kepemudaan diintegrasikan menjadi satu gerakan nasional melalui pertemuan yang disebut dengan Kongres Pemuda, sebagaimana dikutip dari buku berjudul "Sumpah Pemuda" yang ditulis oleh Momon Abdul Rahman, dan kawan-kawan, dan diterbitkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2008.
Kongres Pemuda Pertama
Pada 15 November 1925, seorang wartawan dari Koran Hindia Baroe, Mohammad Tabrani mengadakan pertemuan di Gedung Lux Orientis, Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh berbagai organisasi kepemudaan, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Minahassische Studierenden, Sekar Roekoen, dan peminat perorangan.
Pertemuan ini menghasilkan keputusan berupa akan diadakannya "Kongres Pemuda Indonesia Pertama" atau "Eerste Indonesisch Jeugd Congres" pada 30 April hingga 2 Mei di Gedung Vrijmetselaarsloge atau gedung Bappenas, Jakarta. Dengan tujuan untuk menyamakan persepsi antar berbagai organisasi kepemudaan di Indonesia.
Kongres pemuda pertama diselenggarakan selama tiga hari dalam beberapa pidato, sebagai berikut:
1. Hari pertama: pidato tentang gagasan persatuan Indonesia yang disampaikan oleh Soemarto (Jong Java).
2. Hari kedua: pidato tentang persamaan hak antara wanita dengan pria yang disampaikan oleh Bahder Djohan (Jong Sumatranen Bond) dan Stientje Adams (Minahassische Studeerenden).
3. Hari Ketiga: pidato tentang kemungkinan masa depan bahasa-bahasa Indonesia dan kesusastraan yang disampaikan oleh Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond).
Kongres Pemuda Kedua
Dua tahun kemudian, Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI) menginisiasi untuk diadakannya kongres pemuda kedua. Mereka merasa kongres pertama tidak terlalu membawa hasil yang nampak dan memuaskan.
Dalam pertemuan yang dilaksanakan di gedung Indonesische Clubgebouw, Jakarta, PPPI bersama dengan organisasi kepemudaan lainnya sepakat untuk mengadakan kongres pemuda kedua. Kongres ini diselenggarakan pada 27 dan 28 Oktober 1928 di tiga tempat berbeda, yakni gedung Katholieke Jongenlingen Bond, Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw (Rumah Indekos, Kramat No. 106).
Kongres pemuda tersebut diselenggarakan selama tiga kali rapat yang diisi oleh pidato, sebagai berikut:
1. Rapat pertama, 27 Oktober 1928, pukul 07.30: pidato tentang persatuan dan kebangsaan Indonesia yang disampaikan oleh Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond).
2. Rapat kedua, 28 Oktober 1928, pukul 08.00: pidato tentang pendidikan yang disampaikan oleh Poernomowoelan, Sarmidi Mangoensarkoro, Djoko Sarwono, dan Ki Hadjar Dewantara.
3. Rapat ketiga, 28 Oktober 1928, pukul 20.00: pidato tentang pergerakan pemuda Indonesia terhadap pemuda internasional yang disampaikan oleh Mr. Soenario.
Putusan Kongres Pemuda
Melalui pidato dan diskusi yang disampaikan oleh berbagai tokoh, maka kongres pemuda kedua akhirnya menghasilkan putusan yang selanjutnya dikenal sebagai "Sumpah Pemuda", dengan isi sebagai berikut:
Pertama
Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah yang Satu, Tanah Indonesia
Kedua
Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa yang Satu, Bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Setelah putusan ini, panitia rapat menyatakan bahwa azas ini wajib dipakai oleh tiap perkumpulan kebangsaan Indonesia dengan dasar kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kepanduan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar