MUTIARA ILMU: ASAS, PRINSIP HAM

Sabtu, 29 Oktober 2016

ASAS, PRINSIP HAM


Asas, Prinsip, Elemen Hukum dan Kelembagaan HAM
Paper 2015

H. Jaka Triyana, SH, LLM, MA
10 Juni 2015


Pelatihan HAM Bagi Guru, Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan  LPMP Provinsi DIY




ASAS, PRINSIP DAN KELEMBAGAAN HAM NASIONAL,
 REGIONAL DAN INTERNASIONAL

Oleh. H. Jaka Triyana, SH, LLM, MA

A.  Pengantar
Dalam pengertian yang sederhana (secara harafiah), hak asasi manusia (HAM) merupakan hak yang secara alamiah melekat pada orang semata-mata karena ia merupakan manusia (human being). HAM meliputi nilai-nilai ideal yang mendasar, yang tanpa nilai-nilai dasar itu orang tidak dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Penghormatan terhadap nilai-nilai dasar itu memungkinkan individu dan masyarakat bisa berkembang secara penuh dan utuh. HAM tidak diberikan oleh negara atau tidak pula lahir karena hukum. HAM berbeda dengan hak biasa yang lahir karena hukum atau karena perjanjian.

Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, yang sebagian didasarkan pada kondisi empirik (realitas) berlakunya HAM. Louis Henkin, misalnya, mengartikan HAM sebagai: kebebasan-kebebasan (liberties), kekebalan-kekebalan (immunities) dan kepentingan-kepentingan atau keuntungan-keuntungan (benefits), yang berdasarkan norma-norma hukum yang ada seyogyanya dapat diklaim  (should be able to claim)sebagai hak oleh individu atau kelompok kepada masyarakat dimana dia tinggal. Frasa “seyogyanya dapat diklaim” sengaja digarisbawahi untuk menekankan bahwa kendati seseorang atau individu atau kelompok patut menikmati haknya, namun hal itu tidak terlepas dari kondisi riil masyarakat atau negara.

Pengertian lain yang dikemukakan oleh Osita Eze mirip dengan yang dikemukakan oleh Henkin, yakni bahwa: HAM adalah tuntutan atau klaim yang dilakukan oleh individu atau kelompok kepada masyarakat atau negara, yang sebagiannya telah dilindungi dan dijamin oleh hukum, dan sebagiannya lagi masih menjadi aspirasi atau harapan di masa depan. Dengan demikian, HAM sebagai nilai yang ideal seyogyanya tidak boleh dilepaskan atau dipandang terlepas dari kondisi/lingkungan riil dimana manusia hidup.

B.  Kategori-Kategori HAM

Dalam tataran global, HAM dibagi atas tiga kategori: (1) HAM yang masuk dalam kategori hak-hak sipil dan politik; (2) hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; serta (3) hak-hak solidaritas (solidarity rights). Hak-hak sipil dan politik sering pula disebut sebagai “first generation of rights”; hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai “second generation of rights, sedangkan hak-hak solidaritas merupakan “the third generation of  rights”. Hak-hak sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR (Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, disingkat DUHAM) dan dalam ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights, atau Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik). Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam beberapa pasal DUHAM, dan diatur secara khusus dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sedangkan hak-hak solidaritas, utamanya hak atas pembangunan, tercantum dalam Resolusi Majelis Umum PBB, tahun 1986, dan kemudian dalam Deklarasi HAM Dunia di Wina, tahun 1993.

Penggolongan atau kategorisasi seperti di atas tidaklah bermaksud untuk mengkotak-kotak HAM, apalagi mengkotak-kotak sesuai dengan urutan prioritas. Kategori-kategori di atas, khususnya antara hak-hak sipil di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di lain pihak sebenarnya merupakan akibat dari polarisasi politik dunia ketika dua instrumen HAM (ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh PBB. Kalau kategori-kategori itu masih dugunakan, tidak lain hanyalah untuk keperluan praktis demi lebih mudah mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi yang melekat pada manusia itu, bukan untuk memisah-misahkan satu dengan yang lainnya, karena semua HAM itu tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung.

Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum yang bersifat global yang mengatur dan menjamin penghormatan dan penegakan HAM sebenarnya terutama lahir dari dari kesadaran historis akibat Perang Dunia II. Tragedi kemanusiaan, terutama pengabaian terhadap nilai-nilai HAM yang paling mendasar yang terjadi selama Perang Dunia II, menghentakkan kesedaran bangsa-bangsa di dunia, bahwa persoalan HAM tidak bisa diserahkan atau dianggap sebagai masalah internal suatu negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat manusia dan langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu “diangkat” menjadi masalah yang harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa, baik dalam hal penghormatan dan pemenuhannya maupun dalam hal penegakannya. Hal ini terrefleksi dalam beberapa Pasal Piagam PBB, yaitu dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 55 dan Pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini sekaligus memberikan mandat kepada PBB untuk membuat instrumen-instrumen hukum HAM, mulai dari DUHAM, lalu disusul ICCPR dan ICESCR, dan kemudian—hingga sekarang—banyak lagi instrumen hukum lain di bidang HAM.

Hak-hak sipil terkait dengan “hak atas integritas/harkat fisik” ("physical integrity rights"), seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan dan hak atas “prosedur hukum yang adil” seperti hak atas peradilan yang jujur dan fair, praduga tidak bersalah, dan hak untuk diwakili secara hukum. Hak-hak ini diatur dalam Pasal 1 sampai Pasal 18 DUHAM, dan diatur lebih lanjut dalam ICCPR. Hak-hak politik termasuk kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, dan hak untuk memberikan suara dalam pemilu yang bebas dan rahasia. Hak-hak ini diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal 21 DUHAM dan Pasal 18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR.

Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur dan dijamin di dalamnya sering juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya bahwa untuk menjamin terlaksana dan dipenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diatur di dalamnya, maka negara dituntut untuk tidak melakukan intervensi apa pun, atau peran negara harus dibatasi sampai ke tingkat minimal. Intervensi atau pembatasan oleh negara terhadap hak-hak yang diatur dalam ICCPR ini hanya dimungkinkan untuk beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat.

Berkaitan dengan hal di atas maka dikenal pula pembedaan antara non-derogable rights (hak-hak yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan derogable rights (hak-hak  yang bisa dikurangi pemenuhannya). Non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dibaikan, dilanggar atau dikurangi pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat sekali pun. Termasuk dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup (rights to life); hak bebas dari penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free from torture and inhuman treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi; hak untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa (rights to be free from slavery); hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum; hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama; hak untuk bebas dari pemidanaan yang berlaku surut. Bila negara melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang termasuk dalam kategori non-derogable ini, negara itu bisa dituduh atau dikecam telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human rights).

Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Namun pembatasan atau pengurangan tersebut hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman atau situasi darurat yang dihadapi dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Alasan-alasan untuk pengurangan atau pembatasan tersebut, meliputi: (1) menjaga kemananan atau ketertiban umum;  (2) menjaga kesehatan atau moralitas umum;

dan (3) menjaga hak dan kebebasan orang lain. Hak-hak yang termasuk dalam kategori initerdiri atas: (1) hak atas kebebasan berkumpul; (2) hak untuk berserikat; (3) kekebasan untuk berpendapat dan berekspresi; (4) kebebasan berpindah dan memilih domisili; (5) kebebasan bagi warga negara asing.

Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan material, sosial dan budaya, dan mula-mula diatur dalam Pasal 16, 22 sampai Pasal 29 DUHAM, dan lebih lanjut diatur dalam ICESCR. Hak-hak yang termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial dan budaya ini, meliputi: hak untuk bekerja termasuk hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat, upah yang adil, bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak atas pemilikan, hak untuk mendirikan dan bergabung dengan serikat pekerja, termasuk hak untuk melakukan pemogokan, hak atas jaminan sosial, hak atas standar hidup yang layak, hak atas pendidikan, pendidikan dasar wajib dan bebas bagi semua, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya dan penikmatan keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan. Hak-hak ini sering disebut sebagai “hak-hak positif”, karena tidak seperti dalam hak-hak sipil dan politik, dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini, negara harus berperan atau mengambil langkah-langkah  positif untuk menjamin terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya perumahan, sandang, pangan, lapangan kerja, pendidikan, dan sebagainya. Negara justru akan dianggap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran minus.

Dalam beberapa tahun terkahir, “solidarity rights” diakui keberadaannya, meliputi hak atas perdamaian, hak atas lingkungan, dan hak atas pembangunan. Hak atas pembangunan, khususnya, telah dicantumkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB tahun 1986. Hak atas pembangunan bisa didefinisikan sebagai “hak setiap orang dan setiap bangsa untuk berpartisipasi, memberikan kontribusi dan memperoleh manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Jadi, subjek hak ini adalah individu dan bangsa. 

C.  Prinsip-Prinsip Pokok HAM

Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan, pemenuhan, pemajuan dan perlindungan HAM. Prinsip-prinsip yang berlaku universal ini meliputi: (1). Prinsip universal: bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang, apa pun jenis kelaminnya, statusnya, agamanya, suku bangsa atau kebangsaannya; (2). Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable): siapa pun, dengan alas apa pun, tidak dapat dan tidak boleh mencerabut atau mengambil HAM seseorang. Seseorang tetap mempunyai HAM-nya kendati hukum di negaranya tidak mengakui dan menghormati HAM orang itu, atau bahkan melanggar HAM tersebut. Contohnya, ketika di suatu negara dipraktekkan perbudakan, budak-budak tetap mempunyai HAM, kendati hak-hak-nya itu dilanggar; (3). Prinsip tidak dapat dipisahkan (indivisible): bahwa hak-hak sipil dan politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak pembangunan, tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan, pemenuhan, pemantauan maupun penegakannya; (4). Prinsip saling tergantung (inter-dependent): bahwa di samping tidak dapat dipisahkan, HAM itu saling tergantung satu sama lainnya, sehingga pemenuhan HAM yang satu akan mempengaruhi pemenuhan HAM lainnya. Contohnya, kurang berjalannya hak-hak sipil dan politik, bisa menjuruskan suatu negara ke pemerintahan yang otoriter dan korup; pada gilirannya, pemerintahan yang otoriter dan korup bisa menjerumuskan negara pada ketertinggalan di bidang ekonomi, yang akhirnya bisa bermuara pada kemiskinan (tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi). Oleh karena itu, prinsip ini sekaligus mengakhiri perdebatan mengenai prioritas pemenuhan dan pemajuan HAM, di mana beberapa negara semula berpandangan bahwa suatu kategori HAM tertentu harus mendapatkan prioritas terlebih dahulu dibandingkan dengan kategori HAM lainnya; (5). Prinsip keseimbangan: bahwa (perlu) ada keseimbangan dan keselarasan di antara HAM perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung jawab perorangan terhadap individu yang lain, masyarakat dan bangsa di pihak lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM; dan (6). Prinsip partikularisme: bahwa kekhususan nasional dan regional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang penting dan harus terus menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta merta menjadi alasan untuk tidak memajukan dan melindungi HAM, karena “adalah tugas semua negara, apa pun sistem politik, ekonomi dan budayanya, untuk memajukan dan melindungi semua HAM.

Negara dan masing-masing individu mempunyai perannya sendiri dalam implementasi HAM. Peranan individu terkait dengan prinsip keseimbangan di atas, yakni bahwa HAM tidak hanya berisi kewenangan atau kebebasan tetapi juga tanggung jawab atau kewajiban individu, dan setiap individu sebagai subjek HAM mempunyai kewajiban atau tanggung jawab untuk menghormati HAM orang lain, seperti juga orang lain dituntut untuk menghormati HAM-nya. Pelanggaran HAM seseorang oleh individu yang lain merupakan suatu tindakan yang dapat dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum.

Namun demikian, peranan negara sangatlah sentral dan penting dalam implementasi HAM. Merujuk pada berbagai instrumen HAM, adalah negara yang mengemban kewajiban untuk menjamin dipenuhinya HAM. Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin bahwa HAM itu dihormati, dilindungi, dimajukan dan dipenuhi. Menghormati (to respect), melindungi (to protect), memajukan (to promote) dan memenuhi (to fullfill) menunjukkan tingkatan aksi atau tindakan yang harus diambil oleh negara dalam kaitannya dengan implementasi HAM. Menghormati merupakan tindakan pemerintah yang paling “minim” (berupa tindakan negatif, dalam arti tidak melakukan pelanggaran), dan memenuhimerupakan kewajiban negara untuk mengambil upaya yang paling “penuh” demi terwujudnya HAM.

Sifat kewajiban negara yang diamanatkan dalam instrumen HAM internasional berkenaan dengan implementasi HAM berbeda antara hak sipil dan politik, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Untuk hak-hak sipil dan politik, ICCPR mewajibkan negara untuk “segera” mengambil langkah-langkah yang perlu di bidang perundang-undangan atau langkah lainnya dalam rangka menghormati dan menjamin terlaksananya hak-hak sipil dan politik ini. Sedangkan untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, ICESCR mewajibkan negara untuk mengambil langkah-langkah, dengan mengingat sumber daya maksimum yang dimilikinya, dalam rangka terrealisasinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini secara progresif. Hal ini bisa dimaklumi karena untuk merealisasikan hak-hak sipil dan politik tidak diperlukan sumber daya ekonomi yang besar sebagaimana dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Namun ini tidak lalu berarti bahwa negara baru mulai wajib mengambil upaya dalam rangka merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini ketika negara sudah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Seberapa pun kemampuan sumber daya ekonomi atau sumber daya lainnya, suatu negara tetap sesegera mungkin bergerak ke arah terwujudnya hak-hak ini. Lagi pula ada beberapa hak yang dijamin dalam ICESCR yang relatif tidak memerlukan sumber daya ekonomi yang besar. Negara, misalnya bisa segera melakukan pembenahan peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif, atau yang menyebabkan orang terhalang untuk menikmati haknya, atau peraturan perundang-undangan yang “memfasilitasi” pelanggaran hak oleh negara. Langkah-langkah seperti ini tidak harus menunggu sampai negara benar-benar makmur.

Ketika suatu negara meratifikasi suatu intrumen HAM internasional, ia bisa langsung memasukkan ketentuan-ketentuan instrumen tersebut ke dalam perundang-undangan domestiknya dan atau melalui langkah-langkah lain. Implementasi HAM bisa dilakukan sebaik-baiknya bila tersedia perundang-undangan yang baik, peradilan yang independen, dan lembaga-lembaga demokrasi yang mapan. Di samping itu, pendidikan dan diseminasi nilai-nilai HAM juga merupakah upaya yang sangat penting dalam rangka implementasi HAM.

D.Instrumen Hukum HAM

Instrumen  hukum HAM adalah semua ketentuan peraturan hukum positif, baik hukum materiil maupun formil yang bisa digunakan untuk upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Instrumen hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu instrumen hukum khusus dan instrumen hukum umum. Instrumen hukum khusus adalah semua ketentuan hukum yang mengatur HAM serta upaya pemajuan dan perlindungan HAM, sedangkan instrumen hukum umum adalah semua ketentuan hukum yang menunjang pelaksanaan hukum HAM.

Sumber hukum HAM adalah dari hukum nasional suatu negara, ketentuan regional dari suatu kawasan dan ketentuan hukum internasional tentang HAM. Instrumen hukum bagi upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia bersumber pada ketentuan hukum nasional dan ketentuan hukum internasional yang telah diterima oleh Indonesia. Upaya pemajuan dan perlindungan HAM (penegakan hukum) tidak bisa dilepaskan dari perangkat hukum normatif baik materiil maupun formil yang ada di Indonesia. Hukum materiil HAM menunjukkan kemajuan pengaturan yang diklaim sebagai era baru dalam penegakan HAM. Ketentuan-ketentuan pokok tentang HAM di Indonesia adalah misalnya: Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen); TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia[1]; Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia[2]. Ketentuan formal yang dipakai adalah misalnya: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)[3]; Kitab Undang-Undang tentang Peradilan Militer (KUHPM)[4]; Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat[5]; dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat[6].
Instrumen hukum internasional adalah semua ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang HAM yang telah diterima Indonesia dan ketentuan-ketentuan umum tentang pemajuan dan perlindungan HAM dalam mekanisme PBB. Indonesia adalah negara anggota dari beberapa instrumen pokok HAM, yaitu CERD 1965, CEDAW 1979, CAT 1984 dan CRC 1989. Dengan demikian, mekanisme penanganan pelanggaran HAM yang ditentukan dalam Konvensi-konvensi tersebut juga dapat diterapkan di Indonesia sepanjang Indonesia tidak menentukan lain. Mekanisme hukum yang tersedia adalah melalui penyampaian laporan (reports), pengaduan individu (individual complaints), pengaduan antar negara (interstate complaint) dan mekanisme lainnya.

Dalam konteks PBB, Indonesia terikat dengan instrumen hukum yang berlaku dalam sistem PBB. Instrumen-instrumen tersebut adalah misalnya prosedur 1503 tentang quiet diplomacy atau pengunaan mekanisme 1503 atau the1503 confidential communication procedure, dan mekanisme pemantauan terbuka berdasarkan prosedur 1253 atau  the 1235 procedure.  Instrumen hukum HAM suatu negara biasanya ditegaskan dalam konstitusi. Dalam konteks Indonesia, pembentukan instrumen hukum HAM dalam UUD 1945 memiliki sejarah tersendiri. Di kalangan the founding fathers perihal hak-hak dasar di dalam negara demokratis setidaknya terwakili oleh dua kutub pemikiran yakni para pendukung negara Interglaristik seperti Soekarno dan Soepomo berhadapan dengan Hatta. Perbincangan pada waktu itu banyak dipengaruhi oleh pernyataan hak-hak manusia dan warganegara, suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, yang dianggap sebagai sumber individualisme dan liberalisme. Oleh karenanya, hak asasi dianggap oleh kalangan penganut negara intergralistik bertentangan dengan asas kekeluargaan dan gotong royong.Ada tiga pandangan tentang HAM dalam perspektif model negara intergralisik. Pertama, konsep HAM dianggap berlebihan. Kedua, HAM dibayangkan berdampak negatif. Dan yang terakhir, sebagai hak-hak perorangan, HAM selalu berada di bawah kepentingan bersama.

Mengenai hal yang terakhir, Soekarno pada waktu itu menyatakan bahwa filsafat individualistis melahirkan persaingan bebas yang pada gilirannya melahirkan kapitalisme. Unggulnya kepentingan kolektif di atas hak-hak perorangan juga ditekankan oleh Soekarno ketika ia menyatakan bahwa yang menjadi aspirasi bangsa Indonesia ialah keadilan sosial. Lebih jauh ia menyatakan : „....  jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran,tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.....“

Sebaliknya Hatta mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapakan beberapa hak warga negara, jangan sampai timbul negara kekuasaan. Dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa sejumlah besar Konstitusi baik kuno maupun yang modern, sudah memuat hak-hak asasi, Hatta menegaskan bahwa hak asasi tidak ada sangkut pautnya dengan liberalisme. Hak-hak dasar ini mutlak untuk melindungi kebebasan.

Perbedaan pendapat tentang hak asasi dan hak warga negara juga terjadi dalam sidang-sidang Konstituante. Sejak awal, Panitia Persiapan Konstitusi melaporkan adanya perdebatan mengenai perlu tidaknya dibedakan antara warga negara dan orang asing. Sebagai contoh dari dari pandangan yang bebeda itu, Adnan Buyung  Nasution mengutip dua definisi mengenai HAM dalam sidang Konstituante. Pertama, melihat hak asasi atau hak-hak dasar atau HAM sebagai hak dari warga negara dan orang asing yang tertulis dalam konstitusi dan memberikan kemerdekaan-kemerdekaan. Oleh karena itu semua alat-alat kekuasaan Negara dari yang rendah sampai yang tertinggi berkewajiban untuk tidak mengganggu hak-hak tersebut. Sedangkan pandangan kedua mengusulkan pelaksanaan HAM disesuaikan dengan kepentingan nasional. Mereka lebih menyukai memilih judul hak-hak asasi warga negara.

Seperti yang dicatat Adnan Buyung Nasution (1995) Konstituante telah berhasil menyepakati 88 rumusan yang terdiri dari 24 hak asasi, 18 hak warganegara dan 13 hak tambahan yang belum diputuskan apakah dimasukkan sebagai HAM atau hak warganegara. Adapun 18 hak asasi warga negara yang disebut dalam laporan panitia perumus Konstituante adalah sebagai berikut, yaitu: Hak kebebasan bergerak dan berdiam dalam wilayah negara; Hak meninggalkan negeri dan kembali ke negeri;Hak kebebasan berkumpul dan berserikat;Hak atas Jaminan Sosial dan melakukan hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan;Hak atas pekerjaan dan memilih pekerjaan;Hak mendapatkan imbalan yang adil dan baikserta jaminan bagi para pengangguran;Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama tanpa diskriminasi apapun;Hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat perdagaan untuk melindungi kepentingan sendiri;Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang berguna; Hak perlindungan kepentingan moral dan material yang didapatdari suatui produksi ilmu pengetahuan, kesusastraan atau kesenian yang diciptakan sendiri;Hak kebebasan untuk melakukan pekerjaan sosial dan amal, mendirikan organisasi untuk itu;Hak setiap warganegara wanita mempunyai hak yang sama seperti warganegara laki-laki dalamlapangan penghidupan politik, ekonomi, kebudayaan dan kekeluargaan;Hak untuk ikut serta dalam pemerintahan;Hak diangkat dalamtiap
jabatan pemerintahan;Larangan terhadap penguasa untuk mengikat suatu keuntungan atau kerugian kepada kedudukan segolongan warga negara;Membela tanah air adalah tugas yang suci bagi setiap warga negara;Tiap warga negara berhak mempunyai perumahan yang layak sebagai menusia; Hak setiap warga negara wanita atas perhatian sepenuhnya dari penguasa atas jaminan sosial dalam pekerjaan yang layak baginya;Setiap warga negara yang melakukan pekerjaan, berhak untuk mendapatkan jaminan kebutuhan hidup di hari tua dan bila menjadi invalid karena kecelakaan pada waktu menunaikan tugas;

Perbedaan pandangan antara Soekarno, Soepomo dan Hatta, dan perdebatan di dalam Konstituante menceminkan empat perspektif yang berbeda dalam melihat HAM yakni antara universalisme  dengan partikularisme di satu pihak dan individualisme dengan koletivisme di pihak lain.Perkembangan negara selanjutnya, dengan tidak dicantumkannya HAM dalam UUD 1945 memberikan dampak tersendiri bagi keberlangsungan rezim otoriter selama 32 tahun. Al-hasil, banyak terjadi pelanggaran berat HAM di Indonesia, terutama di daerah-daerah operasi militer seperti Aceh, Papua dan Tim-Tim. Puncak pelanggaran HAM itu terjadi di Tim-Tim pada tanggal 12 November 1991 yang mana terjadi kontak senjata dengan para penziarah di Makam Santa Cruz, Dili. Peristiwa tersebut dikenal dengan Insiden Dili yang mengakibatkan tekanan dan hujatan dari seluruh penjuru dunia kepada Indonesia.

Pasca peristiwa tersebut untuk memberikan image kepada dunia internasional tentang keseriusan Indonesia dalam penegakan HAM, maka dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993. Kiprah dan kinerja komisi tersebut turut mempengaruhi penegakan HAM di Indonesia. Namun sayangnya, setiap rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM terhadap penyelesaian suatu kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM (extra ordinary crime) acap kali diabaikan oleh pranata dalam sistem peradilan pidana yang seyogyanya sebagai lembaga penegakan HAM. Dikatakan demikian karena pada hakekatnya setiap kejahatan yang dilakukan adalah suatu bentuk pelanggaran HAM.       Pasca Orde Baru, untuk mewujudkan tuntutan reformasi maka dilakukan amandemen UUD 1945. Dalam amandemen tersebut dimasukkan beberapa pasal mengenai HAM. Kemudian sebagai implementasinya, negara membentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu untuk menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran berat HAM di masa yang lampau, negara membentuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.


E.  Instrumen Kelembagaan HAM

Instrumen kelembagaan  HAM adalah setiap sarana atau institusi yang bisa digunakan dan memiliki kewenangan hukum atau yurisdiksi untuk melaksanakan upaya pemajuan dan perlindungan HAM. Instrumen kelembagaan HAM dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kelembagaan yang tersedia di suatu negara, kelembagaan yang tersedia di tingkat regional dan kelembagaan yang bisa digunakan di tingkat internasional.

Di Indonesia, upaya pemajuan dan perlindungan HAM melalui kelembagaan nasional bisa melalui lembaga peradilan dan diluar lembaga peradilan. Mekanisme peradilan adalah tunduk pada yurisdiksi peradilan umum untuk jenis pelanggaran HAM yang masuk kategori tindak pidana dan pengadilan HAM untuk perkara pelanggaran HAM yang berat. Mekanisme pengadilan HAM bisa mengunakan dua cara yaitu pengadilan HAM ad hoc dan pengadilan HAM permanen menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan yang memiliki kewenangan mengadili pelanggaran HAM yang berat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Contoh pengadilan tersebut adalah Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur. Pengadilan HAM permanen merupakan pengadilan yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelanggaran HAM yang  berat yang terjadi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 yang telah dibentuk di Makasar, Surabaya, Jakarta dan Medan.

Lembaga diluar peradilan yang bisa digunakan dan memiliki yurisdiksi untuk upaya pemajuan dan perlindungan HAM adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)[7], Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan[8],  Komisi Perlindungan Anak Indonesia[9], dan  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi[10]. Instrumen kelembagaan kedua adalah elemen kelembagaan regional. Instrumen kelembagaan regional merupakan institusi yang dibentuk oleh negara-negara di suatu kawasan tertentu yang memiliki kewenangan untuk melakukan penanganan pelanggaran HAM. Contoh lembaga regional tersebut adalah lembaga peradilan dan komisi HAM yang ada dikawasan tertentu seperti di Eropa, Amerika dan Afrika.

Pada tingkat internasional, instrumen kelembagaan yang bisa digunakan untuk penanganan pelanggaran HAM mengacu pada sistem PBB, yaitu pada institusi yang memiliki mandat untuk mengurusi masalah HAM. Pada dasarnya, lembaga-lembaga PBB tersebut dibedakan menjadi dua yaitu lembaga berdasarkan charter-based organs dan treaty-based organs. Charter-based organs atau badan-badan HAM yang dibentuk berdasarkan Piagam PBB adalah lembaga-lembaga yang memiliki mandat untuk mengurusi masalah-masalah HAM baik secara langsung ataupun tidak. Lembaga-lembaga tersebut adalah Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Status Wanita dan Sub Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia.

Diantara lembaga-lembaga PBB tersebut di atas, Komisi Hak Asasi Manusia (High Commissioner for Human Rights) dan Sub Komisi yang ada memiliki wewenang penuh dalam menangani masalah-masalah HAM secara luas dan terperinci. Melalui Lembaga-lembaga ini, individu, kelompok individu atau lembaga swadaya masyarkat dapat mengajukan aduan kepada PBB melalui Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB mengenai pelanggaran HAM yang mereka alami di negaranya atau di negara-negara tertentu. Selain itu, Lembaga-lembaga tersebut bisa membentuk suatu komisi khsusus mengenai suatu masalah khusus (working group), seperti Working Group on Dissapearences pada tahun 1970 di Argentina.  Pengaduan individu melalui lembaga di atas ditujukan kepada suatu negara tertentu atas terjadinya suatu pertistiwa atau situasi tertentu yang merupakan bentuk pelanggaran HAM yang telah terjadi secara sistematis. Akibat dari pengaduan tersebut, suatu negara wajib memberikan keterangan atau klarifikasi terhadap peristiwa pelanggaran HAM kepada lembaga-lembaga tersebut.




[1] Berlaku mulai tanggal 23 September 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 165 tahun 1999.
[2] Berlaku mulai tanggal 23 November 2000, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 208 tahun 2000.
[3] Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.
[4] Undang-Undang Nomor  31 Tahun 1997.
[5] Berlaku mulai tanggal 13 Maret 2002.
[6] Berlaku mulai tanggal 13 Maert 2002.
[7] Dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1993, pada tanggal 7 Juni 1993 dan kemudian dikukuhkan melalui Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
[8] Dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.
[9] Dibentuk berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[10] Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004, tetapi dalam perkembangannya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar