Pengaturan dan
Implementasi HAM di Indonesia
|
Paper 2015
|
Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.H.
|
11 Juni
2015
|
Pelatihan
HAM Bagi Guru, Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
|
PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI
HAM DI INDONESIA
Oleh.
Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,
M.H.
A.
Pengantar
Pada
era awal reformasi (1998), rakyat Indonesia menjadi sangat berani bicara
mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan sekaligus menuntut agar adanya
perlindungan HAM, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai fora atau bahkan dengan berdemonstrasi. Ketika
berlangsung rezim pemerintahan otoritarian hal ini tidak mungkin dapat
diwujudkan karena semua hak-hak
kebebasan dasar yang seharusnya dilindungi, tetapi dibatasi atau bahkan
dihilangkan oleh penguasa misalnya hak berekpresi, menyatakan pendapat, berpolitik,
berorganisasi termasuk di dalamnya hak hidup.[1]
Pada prinispnya
kebebasan dasar dan hak-hak dasar melekat pada manusia secara kodrati sebagai
anugerah Tuhan Yang, Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran
terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena
itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk
mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali.
Ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam konstitusi setiap negara modern, HAM
merupakan bagian dari materi pokok yang harus ada dalam konstitusi.[2]
Oleh karena itu HAM harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan dan dipenuhi karena
HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati,
dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau Negara dan
sekaligus merupakan bagian dari nilai dasar demokrasi serta indikator supremasi hukum. Pengertian ini
dengan jelas terdapat dalam Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, bahwa “Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat Hak yang melekat
pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Rendahnya
penghormatan HAM pada masa kekuasaan otoritarian karena konstitusi (UUD 1945)
tidak secara lengkap mengatur HAM.[3]
Hal ini terjadi karena UUD tersebut dimaksudkan oleh pendirinya sebagai
konstitusi sementara sampai seluruh alat perlengkapan negara terbentuk dan
memungkinkan untuk mendesain UUD yang lebih lengkap. Lebih dari itu Para
Pendiri Negara (Founding Fathers)
tidak menginginkan jika UUD untuk negara yang baru merdeka lebih banyak diisi
dengan muatan HAM yang mengarah pada sifat individualistik/liberalistik[4]
seperti yang dikembangkan kaum kolonialis sehingga akan mengganggu upaya bangsa
yang baru mengisi kemerdekaannya. Sangat dikhawatirkan jika pada tahap awal
kemerdekaan, negara tidak dapat mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya
karena rakyat lebih banyak menuntut haknya yang terdapat dalam konstitusi,
sebagaimana hak-hak tersebut tumbuh di negara Eropa. Implementasi dari hak-hak
tersebut berkembang mengarah pada kebebasan.
Gagasan
untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan tidak dapat menghilangkan HAM.
Negara boleh memberikan pembatasan pelaksanaan HAM sesuai dengan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia, tetapi negara tidak dapat
menghilangkan HAM apalagi jika hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non
derogible rights). Adanya ketidakhormatan negara terhadap HAM, merupakan
bentuk pelanggaran kemanusiaan, negara tidak boleh berlindung dengan alasan
konstitusi tidak mengatur atau tidak ada
lembaga yang dapat menguji perbuatan negara yang tidak menghormati HAM. Sebelum
perubahan UUD 1945 dilakukan, UUD yang asli sejatinya memberikan ruang
pengaturan mengenai HAM tetapi secara minim, yaitu: (1). Pasal 27 Ayat (1) yang
berbunyi, ’Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya’; (2). Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’; (3). Pasal
28 yang berbunyi, ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’; (4).
Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu’; (5). Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi,
‘Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan
negara’; (6). Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran’; dan (7). Pasal 34
yang berbunyi, ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh
negara’.
Pengaturan
lebih lanjut ketentuan di atas diserahkan pada UU. Artinya HAM yang seharusnya
menjadi materi muatan pokok konstitusi didegradasi menjadi muatan residu.
Apakah UU atau peraturan perundang-undangan di bawahnya mengatur HAM sesuai
dengan hakikat HAM?. Hal ini termasuk bagian penting dalam konstruksi negara
modern, yang seharusnya memiliki kelembagaan yang berwenang menguji
produk-produk hukum agar sejalan dengan konstitusi atau menghormati HAM sebagai
hak konstitusional (constitutional rights).
Sejalan dengan sifat otoritarian negara kala itu, negara tidak memiliki lembaga
dengan kewenangan itu, Mahkamah Agung (MA) pun tidak diberi kewenangan untuk
menilai suatu produk UU apakah sudah sejalan dengan kehendak konstitusi.
Mahkamah
Konstitusi baru dibentuk sebagai buah dari tuntutan reformasi yang menghendaki
adanya lembaga yang diberi kewenangan menguji peraturan perundang-undangan yang
tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Untuk kepentingan ini, maka materi
muatan konstitusinya pun harus disusun dengan sebaik-baiknya yang di dalamnya
memuat materi-materi pokok yang harus ada agar menjadi konstitusi untuk
membangun negara yang demokratis. Bagaimanapun juga antara demokrasi dan HAM
tidak dapat saling dipisahkan. Selain perubahan pada tataran kelembagaan,
sebagai buah dari reformasi berbagai
instrumen hukum terkait HAM di Indonesia di bentuk.
B.
Pengaturan HAM dalam Era Reformasi di Indonesia
Jauh sebelum reformasi, pernah ada gagasan untuk
menambah materi muatan HAM dalam Ketetapan MPR sebagai dokumen komplemen. Pada Sidang
Umum MPRS tahun 1966 telah ditetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Sementara Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad
Hoc untuk menyiapkan Dokumen Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan
Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara. Berdasarkan Keputusan
Pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967, hasil kerja Panitia Ad Hoc
diterima untuk dibahas pada persidangan berikutnya. Namun pada Sidang
Umum MPRS tahun 1968 Rancangan Piagam tersebut tidak dibahas karena Sidang
lebih mengutamakan membahas masalah mendesak yang berkaitan dengan rehabilitasi
dan konsolidasi nasional setelah terjadi tragedi nasional berupa pemberontakan
G-30-S/PKI pada tahun 1965, dan menata kembali kehidupan nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Tap MPR yang pernah digagas tersebut pada akhirnya
baru ada pada awal reformasi dengan keluarnya TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998
tentang HAM. Ada kesadaran bersama pada waktu
menyusun Tap ini bahwa “bangsa
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia
yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan
Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi
manusia”.[5]Hal-hal penting sebagai
tindak lanut pengaturan dalam Tap ini adalah: (1). Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan
pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat (Pasal 1); (2).
Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2); (3). Penghormatan, penegakan,
dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui
gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga
negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 3)
Cakupan muatan HAM dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998
sangat komprehensif meliputi:
Kategori Hak
|
Materi HAM
|
Hak Untuk Hidup
|
Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya
|
Hak Berkeluarga Dan
Melanjutkan Keturunan
|
Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah
|
Hak Mengembangkan Diri
|
Setiap
orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang
secara layak.
|
Setiap
orang berhak atas perlindungan dan kasih sayang untuk pengembangan
pribadinya, memperoleh, dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan
kualitas hidupnya.
|
|
Setiap
orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni, dan budaya, demi kesejahteraan umat manusia.
|
|
Setiap
orang berhak untuk memajukan dirinya dengan memperjuangkan hak-haknya secara
kolektif serta membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
|
|
Hak Keadilan
|
Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum
yang adil.
|
Setiap
orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum
|
|
Setiap
orang dalam hubungan kerja berhak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak.
|
|
Setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan.
|
|
Setiap
orang berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja.
|
|
Setiap
orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
|
|
Hak Kemerdekaan
|
Setiap
orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu
|
Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan
pikiran dan sikap sesuai hati nurani.
|
|
Setiap
orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran
|
|
Setiap orang bebas memilih pekerjaan.
|
|
Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan.
|
|
Setiap orang bebas untuk bertempat tinggal di
wilayah negara, meninggalkannya, dan berhak untuk kembali.
|
|
Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
|
|
Hak Atas Kebebasan
Informasi
|
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya.
|
Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang tersedia.
|
|
Hak Keamanan
|
Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
|
Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
|
|
Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh
perlindungan politik dari negara lain.
|
|
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
|
|
Setiap orang berhak ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
|
|
Hak Kesejahteraan
|
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin.
|
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat.
|
|
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak.
|
|
Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus di masa kanak-kanak, di hari tua, dan apabila menyandang
cacat.
|
|
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
|
|
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
|
|
Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
|
|
Kewajiban HAM
|
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Setiap orang
wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara
|
Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh
Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis.
|
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM
yang telah dirumuskan di atas terutama
menjadi tanggung jawab Pemerintah. Komitmen pemerintah untuk pelindungan dan pemajuan HAM dikuatkan dengan
adanya rumusan Pasal 37 bahwa: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non – derogable). Untuk
mewujudkan hal ini, maka seluruh instrumen hukum perundang-undangan yang tidak
sesuai harus disesuaikan dan membentuk aturan baru jika belum ada.
Untuk melaksanakan amanat TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia tersebut, selanjutnya dibentuk UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan UU tersebut merupakan perwujudan
tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen lainnya mengenai hak asasi
manusia yang disahkan oleh negara Republik Indonesia. UU No. 39 Tahun 1999 ini
pun harus dibentuk karena saat itu UUD 1945 belum diubah, sehingga untuk lebih
mengoperasionalisasikan muatan HAM dalam Tap MPR perlu ada UU. Pengaturan mengenai HAM dalam TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 dan UU No. 39 Tahun 1999 yang antara lain mengatur tentang hak,
kewajiban dasar, tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan HAM,
pembentukan Kornisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan partisipasi
masyarakat. merupakan cerminan adanya peningkatan pelaksanaan penghormatan,
perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia, yang selama ini masih jauh dari
memuaskan.
Dalam rangka melaksanakan dengan penuh rasa tangggung
jawab Tap MPR dan UU tersebut,
diterbitkan sementara waktu Perpu No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini merupakan peraturan
perundang-undang yang bersifat regulatif dan represif, sehingga di satu sisi
dapat melindungi HAM baik perorangan maupun masyarakat dan di sisi lain dapat
memberikan penegakan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman baik perorangan
maupun masyarakat terhadap tindakan pelanggaran atas HAM. Tidak lama kemudian
Perpu No. 1 Tahun 1999 ditetapkan sebagai UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
UU No. 26 Tahun 2000 juga menyebutkan
perlunya kelembagaan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR). Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan undang-undang dimaksudkan sebagai
lembaga ekstra-yudicial yang ditetapkan dengan undang-undang yang bertugas
untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan
pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum
dan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaan rekonsiliasi dalam
perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
UU KKR sempat terbentuk (UU No. 27
Tahun 2004) dengan maksud agar berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 harus
ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan
membentuk budaya menghargai hak asasi manusia, sehingga dapat diwujudkan
rekonsiliasi dan persatuan nasional. Selain bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi ini juga melaksanakan rekonsiliasi dalam
perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang ditempuh
adalah pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian,
penegakkan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat
untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa
keadilan dalam masyarakat.[6] Kondisi UU ini sudah layu
sebelum berkembang karena belum sempat KKR terbentuk, UU sudah dinyatakan tidak
berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan MK Nomor
020/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa UU KKR bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Di samping itu, UU KKR dipandang tidak menyelesaikan masalah,
bahkan menimbulkan luka baru karena pengaturan yang terdapat di dalamnya justru
berorientasi pada “audit dendam”.
Padahal yang dibutuhkan adalah perdamaian total tanpa syarat.
C. Pengaturan dalam Konstitusi Setelah Amandemen
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45
berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin
meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. UUD
1945 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara
tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena
dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD
1945 memasukkan HAM didalamnya yang merupakan tuntutan reformasi yang tidak
bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen
negara Indonesia menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan
menjadi bagian integral UUD 45, HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara
konstitusional (constitutiona right). Pemikiran ini kemudian
direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui perubahan II UUD
1945. Perubahan ini termasuk total karena ketentuan pasal asli hampir tidak ada
lagi.
Sesuai dengan pembidangan HAM yang mencakup hak-hak
sipil dan hak-hak politik (generasi I), hak-hak bidang ekonomi, sosial dan
budaya (generasi II) serta hak-hak atas pembangunan (generasi III). Hasil
perubahan UUD 1945 juga merujuk pada adanya pembidangan tersebut. Sejatinya hal
ini bukan yang baru karena sebelumnya dalam UU No. 39 Tahun 1999 telah
dirumuskan demikian. Pengaturan mengenai HAM dalam perubahan UUD 1945 juga
memperhatikan berbagai instrumen HAM Internasional, misalnya Deklarasi Hak
Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.
Tabel di bawah ini menunjukkan hasil perubahan
pengaturan HAM dalam UUD 1945 dengan muatan yang sesuai dengan kategori
pembidangan HAM serta perkembangannya. Termasuk di dalamnya pengaturan terkait
dengan tanggung jawab dan kewajiban asasi manusia:
Hak Sipil
|
Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
|
Hak-hak Khusus dan hak atas pembangunan
|
1.
Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahan-kan hidup dan kehidupannya;
2.
Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3.
Setiap
orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4.
Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5.
Setiap
orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6.
Setiap
orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7.
Setiap
orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
8.
Setiap
orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
9.
Setiap
orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah;
10.
Setiap
orang berhak atas status kewarganegaraan;
11.
Setiap
orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan
kembali ke negaranya;
12.
Setiap
orang berhak memperoleh suaka politik;
13.
Setiap
orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
tersebut.
|
1.
Setiap
warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya
secara damai dengan lisan dan tulisan;
2.
Setiap
warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan
rakyat;
3.
Setiap
warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4.
Setiap
orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi
kemanusiaan;
5.
Setiap
orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang
layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6.
Setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7.
Setiap
warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8.
Setiap
orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9.
Setiap
orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
10.
Setiap
orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat
manusia;
11.
Negara
menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
12.
Negara
mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13.
Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing,
dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
|
1. Setiap warga negara yang menyandang masalah
sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di
lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan yang sama;
2. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk
mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan
uang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4. Setiap anak berhak atas kasih sayang,
perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi
pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5. Setiap warga negara berhak untuk
berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh
dari pengelolaan kekayaan alam;
6. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat;
7. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus
yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok
tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok
lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam
pengertian diskriminasi.
|
Hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights:
|
||
1)
Hak
untuk hidup;
2)
Hak
untuk tidak disiksa;
3)
Hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4)
Hak
beragama;
5)
Hak
untuk tidak diperbudak;
6)
Hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut.
|
||
Tanggung
jawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
|
||
1.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.(Pasal
28J ayat 1)
2.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
suatu masyarakat demokratis. (Pasal 28J ayat 2)
3.
Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban. (Pasal 28I ayat 3).
4.
Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (Pasal 28I
ayat 4).
|
Dengan selesainya perubahan UUD 1945 dalam empat tahap
(1999-2002), Tap MPR No. XVII/MPR/1998 dinyatakan tidak berlaku kembali karena
materinya sudah terakomodasi dalam UUD. Materi HAM dalam perubahan UUD 1945
tergolong sangat luas cakupannya, dan ketentuan di dalamnya menjadi batu
penguji bagi peraturan perundang-undangan (mulai dari UU ke bawah) yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan hak konstitusional yang sudah dijamin oleh UUD.
Berkenaan dengan hal inilah dibentuk lembaga peradilan
baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan fungsi sebagai berikut Pasal 24C
ayat (1 UUD 1945): “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. MK ditempatkan sebagai
penjaga gawang konstitusi (the guardian of the constitution), sehingga
setiap pelanggaran terhadap hak konstitusional akan berujung pada pembatalan
peraturan tersebut (UU). Keberadaan MK sangat penting bagi penguatan negara yang
demokratis. Dengan adanya MK pembentuk UU tidak dapat hanya menjadikan
UUD/konstitusi sebagai asesori negara hukum, tetapi harus mengejawantahkannya
dalam kehidupan bernegara/berpemerintahan. Ketidaktaatan pembentuk UU pada
muatan UUD menyebabkan berbagai UU dimohonkan pengujiannya ke MK, sebagai
contoh:
(a). UU No. 9 tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dalam Putusan MK No.11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)[7]
dan Pasal 31 UUD 1945,[8]
bahkan bertentangan pula dengan Pembukaan UUD 1945; (b). UU
No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diajukan ke MK dengan alasan
bertentangan dengan hak kosntitusionalitas UUD, tetapi oleh MK dalam Putusannya No. 25/PUU-IV/2006ditolak
karena menurut MK keseluruhan norma dalam
undang-undang tersebut didasarkan pada tujuan untuk mengangkat martabat guru
dan dosen, meningkatkan penghasilannya tetapi dengan tuntutan untuk
meningkatkan profesionalismenya, yang merupakan prasyarat bagi upaya
mencerdaskan bangsa. Keseluruhan permasalahan yang diajukan para Pemohon dalam
bentuk pengujian undang-undang a quo terhadap UUD 1945, lebih merupakan
masalah implementasi, yang menjadi wewenang forum lain. Dengan kata lain,
Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan karena
materi undang-undang yang dimohonkan pengujian tidak ternyata bertentangan
dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon harus ditolak untuk
seluruhnya. Melihat kenyataan
ini, pembentuk UU harus lebih hati-hati dalam merumuskan suatu ketentuan hukum
agar tidak bertentangan dengan konstitusi khususnya hak-hak konstitusional yang
sudah dijamin.
D. Implementasi HAM dalam
Berbagai Peraturan Perundang-undangan
Selain
HAM menjadi bagian materi muatan pokok UUD 1945 (perubahan), sejalan dengan era
reformasi diterbitkan pula berbagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan
dari UUD yang mengikuti perkembangan instrumen hukum Internasional, serta
meratifikasi berbagai instrumen Hukum Internasional yang dipandang akan semakin
menguatkan kemajuan HAM di Indonesia. Instrumen penting yang diratifikasi pada
era reformasi adalah[9]International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/EKOSOB) dan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik/SIPOL).
Kovenan
Hak Ekosob diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005. Hak-hak yang diatur di
dalamnya meliputi: (1). hak atas pekerjaan (Pasal 6); (2). hak untuk menikmati kondisi
kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7); (3). hak untuk membentuk dan ikut
serikat buruh (Pasal 8); (4). hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial
(Pasal 9); (5). hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi
keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10); (6). hak atas standar kehidupan
yang memadai (Pasal 11); (7). hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan
mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12); hak atas pendidikan (Pasal
13 dan 14) dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).
Kovenan
Hak Sipol diratifikasi dengan UU No. 12
Tahun 2005. Hak-hak yang diatur di dalamnya meliputi: (1). Hak untuk menentukan
nasibnya sendiri; (2). Kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati hak-hak
yang diakui dalam Kovenan ini; (3). Persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan; (4). hak hidup (tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang); (5). tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; (6). tidak
seorang pun boleh diperbudak (kerja paksa atau kerja wajib); (7). tidak seorang
pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang; (8). tidak seorang pun
boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban
kontraktualnya; (9). kebebasan setiap orang yang berada secara sah di wilayah
suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah
itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak
seorang pun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki
negaranya sendiri yang secara sah tinggal di negara pihak; (10). persamaan
semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan; (11). hak atas pemeriksaan
yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak
berpihak; (12). Hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh
melakukan tindak pidana; (13). hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas
peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih
tinggi; (14). pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan
perundang-undangan pidana; (15). hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi
di depan hukum; (16). tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau
secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang; (17).
hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan'beragama serta
perlindungan atas hak-hak tersebut; (18). hak orang untuk mempunyai pendapat
tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan
pendapat; (19). pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang
menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan
hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan; (20).
pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai; (21). hak setiap orang atas
kebebasan berserikat; (22). pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia
kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa
perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari
para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan; (23). hak anak atas
perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur,
keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan
mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan; (24). hak setiap warga
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan
dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada
jabatan publik di negaranya; (25). persamaan kedudukan semua orang di depan
hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi,
dan (26). perlindungan golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang
mungkin ada di negara pihak
Hak-hak yang tercakup baik
dalam kategori Hak Ekosob maupun Hak Sipol dapat dibedakan tetapi pada
prinsipnya tidak dapat dipisahkan (prinsip indivisible)
karena saling tergantung. Hak-hak tersebut
pada prinsipnya juga sudah terakomodasi juga di dalam hasil perubahan
UUD 1945. Artinya dari sisi pengaturan konstitusi sudah sangat terjamin
keberadaan hak-hak tersebut. Terlebih lagi untuk mengimplementasikan
masing-masing hak tersebut telah diterbitkan berbagai UU antara lain:
Lingkup Hak EKOSOB
|
Lingkup Hak SIPOL
|
UU Kesehatan
|
UU Pers
|
UU Sisdiknas
|
UU Pemilu
|
UU Guru dan Dosen
|
UU Partai Politik
|
UU Pendidikan Tinggi
|
UU Ormas
|
UU Perumahan
|
UU Kewarganegaraan
|
UU Perlindungan UMKM
|
UU Kebebasan Informasi
Publik
|
UU Fakir Miskin
|
Dari berbagai UU tersebut, UU Guru dan Dosen termasuk produk hukum yang
dilahirkan untuk memperkuat pelaksanaan hak atas pendidikan agar mencapai
sasaran sesuai dengan tujuan negara, karena guru dan dosen mempunyai fungsi,
peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional di bidang
pendidikan. Tidak akan ada artinya rumusan HAM dalam berbagai instrumen hukum
jika pada akhirnya perilaku warga bangsa tidak mencerminkan sebagai bangsa yang
beradab dan bermartabat. Untuk mencapai bangsa seperti itulah diperlukan adanya
pendidikan yang berkualitas dengan dukungan guru dan dosen yang berkualitas
yang terjamin hak-haknya dalam pelaksanaan fungsi serta kedudukannya. Guru
mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional yang dibuktikan dengan
sertifikasi pendidik setelah memenuhi persyaratan. Hal ini sejalan dengan hak
yang dijamin oleh UU atas pelaksanaan tugas keprofesionalan guru. Hal ini
sejalan dengan prinsip dalam HAM, bahwa antara hak dan kewajiban saling
melengkapi. Seseorang guru tidak dapat hanya menuntut hak tanpa melaksanakan
kewajiban. Hak di atas diperoleh karena pelaksanaan kewajiban sebagai Guru yang
profesional. Hak dan kewajiban dimaksud adalah:
Hak Guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan
|
Kewajiban Guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan
|
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial meliputi gaji pokok, tunjangan
yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi,
tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait
dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas
dasar prestasi;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai
dengan tugas dan prestasi kerja;
c.
memperoleh
perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d.
memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan
prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f.
memiliki
kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah
pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g.
memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam
melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi;
i.
memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan
kebijakan pendidikan;
j.
memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan
kompetensi; dan/atau
k.
memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya.
|
a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil
pembelajaran;
b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.
bertindak
objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin,
agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga,
dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; dan
e. memelihara dan memupuk persatuan dan
kesatuan bangsa.
|
Sejalan dengan prinsip dalam
HAM, bahwa antara hak dan kewajiban saling melengkapi. Seseorang tidak dapat
hanya menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban. Oleh karena itu, hak di atas
diperoleh karena pelaksanaan kewajiban sebagai Guru yang profesional.
E. Penutup
Pengaturan kebijakan HAM dalam hukum nasional
Indonesia sudah lebih dari cukup. Dengan demikian, persoalan HAM di Indonesia
bukan lagi berkaitan dengan pengaturan dan perlindungan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah dalam
tataran pelaksanaan/praktik. Oleh karena itu, semua komponen masyarakat,
terutama aparat penegak dan pelaksana hukum, harus memahami dan melaksanakan
HAM dengan baik. Pelaksanaan HAM bukan hanya dalam konteks penegakan hukum,
tetapi juga dalam bidang yang lebih luas lagi seperti perbaikanpelayanan
atas hak dasar manusia di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan dan lain
sebagainya.
[1] Lihat kasus
–kasus penghilangan orang (aktivis) secara paksa tahun 1997-1998. Dalam tahun
2000, terhitung sejak Januari hingga Maret, kasus penghilangan orang secara
paska kembali terjadi di tanah Aceh. Ada sekitar 74 kasus orang hilang yang
dilaporkan kepada LSM Aceh atau perwakilan Komnas HAM Aceh dan sekitar 28 orang
di antaranya belum ditemukan hingga saat ini, selebihnya kembali atau ditemukan
dalam keadaan tewas. Siaran Pers No : 09/SP/KONTRAS/IV/2000 tentang Penghilangan 12 Orang
Secara Paksa dan Upaya Penyelesaian Kekerasan Di Aceh.
[2]Keterkaitanantarakonstitusidenganhakasasimanusiajugadapatdilihatdariperkembangansejarah.Perjuanganperlindunganhakasasimanusiaselaluterkaitdenganperkembanganupayapembatasandanpengaturankekuasaan
yang merupakanajarankonstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of
Rights (1628) adalah momentum
perlindunganhakasasimanusiasekaliguspembatasankekuasaan raja
olehkekuasaanparlemen(house of commons).
LihatJimlyAsshiddiqie,
KonstitusidanHakAsasiManusia, disampaikanpadaLecturePeringatan 10 TahunKontraS. Jakarta, 26 Maret 2008
[3] Sebelum
aamandemen UUD 1945 pengaturan HAM sangat terbatas karena menganut prinsip HAM
sebagai muatan Residu yang diatur tidak dalam UUD tapi dalam peraturan
perundang-undangan lainnya. HAM dalam UUD hanya mencakup: Hak atas kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat, Hak atas kedudukan yang sama di dalam Hukum,
Hak atas kebebasan berkumpul, Hak atas kebebasan beragama, Hak atas penghidupan
yang layak, Hak atas kebebasan berserikat, Hak atas pengajaran
[4] Lihat Muhammad Yamin, Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, Djilid I, Djakarta: Prapantja, 1959, hlm. 296-297.
Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Kecil sama sekali
tidak dimuat ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan
pertanyaan dari para anggota. Untuk menjawab hal itu, anggota Soekarno antara
lain berkata:
"Saja minta
dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham
individualisme itu janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang
dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai yang dianjurkan oleh Republik
Perancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet
menuliskan bahwa, manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan
hak memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jika misalnya tidak ada
‘sociale rechtvaardigheid’ jang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet,
apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati
kelaparan. ‘Grondwet’ yang berisi ‘droit de l'homme et du citoyen’ itu, tidak
bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan.
Maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita
kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan
keadilan sosial enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme
dan liberalisme dari padanya."
[5]LihatKonsideranMenimbanghuruf c. Tap MPR No. XVII/MPR/1998
tidakberlakulagisetelahditerbitkan Tap MPR No. 1/MPR/2003 karenamuatan Tap
inidianggapsudahterakomodasidalamperubahan UUD 1945.
[6]LihatPenjelasanUmum UU
No. 27 Tahun 2004.
[7]Pasal 28D ayat (1) UUD
1945: Setiap orang berhakataspengakuan,jaminan, perlindungan, dankepastianhukum
yang adilsertaperlakuan yang sama di hadapanhukum.
[8]Pasal 31 UUD 1945:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)
Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
[9]International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan International
Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik) merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh
MU PBB pada tahun 1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua
hak asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi dan saling
tergantung (interdependent). Pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan kedua
kelompok hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan,
pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial, dan pudaya tidak
mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak sipil dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar