MUTIARA ILMU: APA ITU HAM?

Sabtu, 29 Oktober 2016

APA ITU HAM?


Pengaturan dan Implementasi HAM di Indonesia
Paper 2015

Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.H.
11 Juni 2015


Pelatihan HAM Bagi Guru, Biro Hukum dan Organisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan




PENGATURAN DAN IMPLEMENTASI HAM DI INDONESIA
Oleh.
Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.H.

A.     Pengantar

Pada era awal reformasi (1998), rakyat Indonesia menjadi sangat berani bicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dan sekaligus menuntut agar adanya perlindungan HAM, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai fora  atau bahkan dengan berdemonstrasi. Ketika berlangsung rezim pemerintahan otoritarian hal ini tidak mungkin dapat diwujudkan karena semua hak-hak  kebebasan dasar yang seharusnya dilindungi, tetapi dibatasi atau bahkan dihilangkan oleh penguasa misalnya hak berekpresi,  menyatakan pendapat, berpolitik, berorganisasi termasuk di dalamnya hak hidup.[1]

Pada prinispnya kebebasan dasar dan hak-hak dasar melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang, Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara, pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa HAM harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.  Dalam konstitusi setiap negara modern, HAM merupakan bagian dari materi pokok yang harus ada dalam konstitusi.[2] Oleh karena itu HAM harus dilindungi, dimajukan, ditegakkan dan dipenuhi karena HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau Negara dan sekaligus merupakan bagian dari nilai dasar demokrasi serta  indikator supremasi hukum. Pengertian ini dengan jelas terdapat dalam Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa “Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat Hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Rendahnya penghormatan HAM pada masa kekuasaan otoritarian karena konstitusi (UUD 1945) tidak secara lengkap mengatur HAM.[3] Hal ini terjadi karena UUD tersebut dimaksudkan oleh pendirinya sebagai konstitusi sementara sampai seluruh alat perlengkapan negara terbentuk dan memungkinkan untuk mendesain UUD yang lebih lengkap. Lebih dari itu Para Pendiri Negara (Founding Fathers) tidak menginginkan jika UUD untuk negara yang baru merdeka lebih banyak diisi dengan muatan HAM yang mengarah pada sifat individualistik/liberalistik[4] seperti yang dikembangkan kaum kolonialis sehingga akan mengganggu upaya bangsa yang baru mengisi kemerdekaannya. Sangat dikhawatirkan jika pada tahap awal kemerdekaan, negara tidak dapat mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya karena rakyat lebih banyak menuntut haknya yang terdapat dalam konstitusi, sebagaimana hak-hak tersebut tumbuh di negara Eropa. Implementasi dari hak-hak tersebut berkembang mengarah pada kebebasan.

Gagasan untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan tidak dapat menghilangkan HAM. Negara boleh memberikan pembatasan pelaksanaan HAM sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia, tetapi negara tidak dapat menghilangkan HAM apalagi jika hak tersebut merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogible rights). Adanya ketidakhormatan negara terhadap HAM, merupakan bentuk pelanggaran kemanusiaan, negara tidak boleh berlindung dengan alasan konstitusi tidak mengatur  atau tidak ada lembaga yang dapat menguji perbuatan negara yang tidak menghormati HAM. Sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan, UUD yang asli sejatinya memberikan ruang pengaturan mengenai HAM tetapi secara minim, yaitu: (1). Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ’Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’; (2). Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan’; (3). Pasal 28 yang berbunyi, ‘Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang’; (4). Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’; (5). Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara’; (6). Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, ‘Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran’;  dan (7). Pasal 34 yang berbunyi, ‘Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar diperlihara oleh negara’.

Pengaturan lebih lanjut ketentuan di atas diserahkan pada UU. Artinya HAM yang seharusnya menjadi materi muatan pokok konstitusi didegradasi menjadi muatan residu. Apakah UU atau peraturan perundang-undangan di bawahnya mengatur HAM sesuai dengan hakikat HAM?. Hal ini termasuk bagian penting dalam konstruksi negara modern, yang seharusnya memiliki kelembagaan yang berwenang menguji produk-produk hukum agar sejalan dengan konstitusi atau menghormati HAM sebagai hak konstitusional (constitutional rights). Sejalan dengan sifat otoritarian negara kala itu, negara tidak memiliki lembaga dengan kewenangan itu, Mahkamah Agung (MA) pun tidak diberi kewenangan untuk menilai suatu produk UU apakah sudah sejalan dengan kehendak konstitusi.

Mahkamah Konstitusi baru dibentuk sebagai buah dari tuntutan reformasi yang menghendaki adanya lembaga yang diberi kewenangan menguji peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Untuk kepentingan ini, maka materi muatan konstitusinya pun harus disusun dengan sebaik-baiknya yang di dalamnya memuat materi-materi pokok yang harus ada agar menjadi konstitusi untuk membangun negara yang demokratis. Bagaimanapun juga antara demokrasi dan HAM tidak dapat saling dipisahkan. Selain perubahan pada tataran kelembagaan, sebagai buah dari reformasi  berbagai instrumen hukum terkait HAM di Indonesia di bentuk.

B.     Pengaturan HAM dalam Era Reformasi di Indonesia 

Jauh sebelum reformasi, pernah ada gagasan untuk menambah materi muatan HAM dalam Ketetapan MPR sebagai dokumen komplemen. Pada Sidang Umum MPRS tahun 1966 telah ditetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Sementara Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk menyiapkan Dokumen Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan  Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara.   Berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS tanggal 6 Maret 1967 Nomor 24/B/1967, hasil kerja Panitia Ad Hoc diterima untuk dibahas pada persidangan berikutnya.  Namun pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 Rancangan Piagam tersebut tidak dibahas karena Sidang lebih mengutamakan membahas masalah mendesak yang berkaitan dengan rehabilitasi dan konsolidasi nasional setelah terjadi tragedi nasional berupa pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965, dan menata kembali kehidupan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Tap MPR yang pernah digagas tersebut pada akhirnya baru ada pada awal reformasi dengan keluarnya TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM. Ada kesadaran bersama pada waktu  menyusun Tap ini bahwa “bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia”.[5]Hal-hal penting sebagai tindak lanut pengaturan dalam Tap ini adalah: (1). Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat (Pasal 1); (2). Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak asasi Manusia, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2); (3). Penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 3) 

Cakupan muatan HAM dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 sangat komprehensif   meliputi:

Kategori Hak
Materi HAM
Hak Untuk Hidup

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya
Hak Berkeluarga Dan Melanjutkan Keturunan

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
Hak Mengembangkan Diri

Setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak. 

Setiap orang berhak atas perlindungan dan kasih sayang untuk pengembangan pribadinya, memperoleh, dan mengembangkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 

Setiap orang berhak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi kesejahteraan umat manusia. 

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dengan memperjuangkan hak-haknya secara kolektif serta membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. 
Hak Keadilan

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan  perlakuan hukum yang adil. 

Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum

Setiap orang dalam hubungan kerja berhak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak. 

Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. 

Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja. 

Setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. 
Hak Kemerdekaan

Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu

Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani. 

Setiap orang bebas memilih pendidikan dan pengajaran

Setiap orang bebas memilih pekerjaan. 

Setiap orang bebas memilih kewarganegaraan. 

Setiap orang bebas untuk bertempat tinggal di wilayah negara, meninggalkannya, dan berhak untuk kembali. 

Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. 
Hak Atas Kebebasan Informasi

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. 

 Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. 
Hak Keamanan

Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. 

Setiap orang berhak atas perlindungan diri  pribadi, keluarga, kehormatan,  martabat, dan hak miliknya. 

Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain. 

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. 

Setiap orang berhak ikut serta dalam upaya pembelaan negara. 
Hak Kesejahteraan

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin.

Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. 

Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak. 

Setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus di masa kanak-kanak, di hari tua, dan apabila menyandang cacat. 

Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 

Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. 

Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 
Kewajiban HAM

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
 Setiap orang wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara

Di dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 


Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM yang telah dirumuskan di atas  terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Komitmen pemerintah untuk  pelindungan dan pemajuan HAM dikuatkan dengan adanya rumusan Pasal 37 bahwa: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan  pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non – derogable). Untuk mewujudkan hal ini, maka seluruh instrumen hukum perundang-undangan yang tidak sesuai harus disesuaikan dan membentuk aturan baru jika belum ada.

Untuk melaksanakan amanat TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, selanjutnya dibentuk UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembentukan UU tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa serta berbagai instrumen lainnya mengenai hak asasi manusia yang disahkan oleh negara Republik Indonesia. UU No. 39 Tahun 1999 ini pun harus dibentuk karena saat itu UUD 1945 belum diubah, sehingga untuk lebih mengoperasionalisasikan muatan HAM dalam Tap MPR perlu ada UU.  Pengaturan mengenai HAM dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU No. 39 Tahun 1999 yang antara lain mengatur tentang hak, kewajiban dasar, tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam penegakan HAM, pembentukan Kornisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan partisipasi masyarakat. merupakan cerminan adanya peningkatan pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia, yang selama ini masih jauh dari memuaskan.

Dalam rangka melaksanakan dengan penuh rasa tangggung jawab  Tap MPR dan UU tersebut, diterbitkan  sementara waktu Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Perpu ini merupakan peraturan perundang-undang yang bersifat regulatif dan represif, sehingga di satu sisi dapat melindungi HAM baik perorangan maupun masyarakat dan di sisi lain dapat memberikan penegakan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman baik perorangan maupun masyarakat terhadap tindakan pelanggaran atas HAM. Tidak lama kemudian Perpu No. 1 Tahun 1999 ditetapkan sebagai UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

UU No. 26 Tahun 2000 juga menyebutkan perlunya kelembagaan  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).  Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan undang-undang dimaksudkan sebagai lembaga ekstra-yudicial yang ditetapkan dengan undang-undang yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.

UU KKR sempat terbentuk (UU No. 27 Tahun 2004) dengan maksud agar berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 harus ditelusuri kembali untuk mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai hak asasi manusia, sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Selain bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi ini juga melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah yang ditempuh adalah pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakkan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[6] Kondisi UU ini sudah layu sebelum berkembang karena belum sempat KKR terbentuk, UU sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan MK   Nomor 020/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa UU KKR bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu, UU KKR dipandang tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan luka baru karena pengaturan yang terdapat di dalamnya justru berorientasi pada “audit dendam”. Padahal yang dibutuhkan adalah perdamaian total tanpa syarat.

C. Pengaturan dalam Konstitusi Setelah Amandemen

Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru yang represif dan otoriter. UUD 1945 tidak secara eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu amandemen UUD 1945 memasukkan HAM didalamnya yang merupakan tuntutan reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan semakin memperkuat komitmen negara Indonesia menegakkan dan melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD 45, HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutiona right). Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui perubahan II UUD 1945. Perubahan ini termasuk total karena ketentuan pasal asli hampir tidak ada lagi.

Sesuai dengan pembidangan HAM yang mencakup hak-hak sipil dan hak-hak politik (generasi I), hak-hak bidang ekonomi, sosial dan budaya (generasi II) serta hak-hak atas pembangunan (generasi III). Hasil perubahan UUD 1945 juga merujuk pada adanya pembidangan tersebut. Sejatinya hal ini bukan yang baru karena sebelumnya dalam UU No. 39 Tahun 1999 telah dirumuskan demikian. Pengaturan mengenai HAM dalam perubahan UUD 1945 juga memperhatikan berbagai instrumen HAM Internasional, misalnya Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia.

Tabel di bawah ini menunjukkan hasil perubahan pengaturan HAM dalam UUD 1945 dengan muatan yang sesuai dengan kategori pembidangan HAM serta perkembangannya. Termasuk di dalamnya pengaturan terkait dengan tanggung jawab dan kewajiban asasi manusia:

Hak Sipil
Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
Hak-hak Khusus dan hak atas pembangunan
1.   Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahan-kan hidup dan kehidupannya;
2.   Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3.   Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4.   Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5.   Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6.   Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7.   Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
8.   Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
9.   Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
10.         Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11.         Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12.         Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13.         Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

1.   Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;
2.   Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3.   Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4.   Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5.   Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6.   Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7.   Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8.   Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9.   Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
10.         Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11.         Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
12.         Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13.         Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

1.  Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
2.  Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3.  Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4.  Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5.  Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6.  Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7.  Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.

Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights:
1)     Hak untuk hidup;
2)     Hak untuk tidak disiksa;
3)     Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4)      Hak beragama;
5)      Hak untuk tidak diperbudak;
6)      Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7)      Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Tanggung jawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
1.  Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.(Pasal 28J ayat 1)
2.  Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. (Pasal 28J ayat 2)
3.  Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. (Pasal 28I ayat 3).
4.  Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (Pasal 28I ayat 4).


Dengan selesainya perubahan UUD 1945 dalam empat tahap (1999-2002), Tap MPR No. XVII/MPR/1998 dinyatakan tidak berlaku kembali karena materinya sudah terakomodasi dalam UUD. Materi HAM dalam perubahan UUD 1945 tergolong sangat luas cakupannya, dan ketentuan di dalamnya menjadi batu penguji bagi peraturan perundang-undangan (mulai dari UU ke bawah) yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hak konstitusional yang sudah dijamin oleh UUD.

Berkenaan dengan hal inilah dibentuk lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) dengan fungsi sebagai berikut Pasal 24C ayat (1 UUD 1945):  “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final  untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. MK ditempatkan sebagai penjaga gawang konstitusi (the guardian of the constitution), sehingga setiap pelanggaran terhadap hak konstitusional akan berujung pada pembatalan peraturan tersebut (UU). Keberadaan MK sangat penting bagi penguatan negara yang demokratis. Dengan adanya MK pembentuk UU tidak dapat hanya menjadikan UUD/konstitusi sebagai asesori negara hukum, tetapi harus mengejawantahkannya dalam kehidupan bernegara/berpemerintahan. Ketidaktaatan pembentuk UU pada muatan UUD menyebabkan berbagai UU dimohonkan pengujiannya ke MK, sebagai contoh: (a). UU No. 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang dalam Putusan MK No.11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1)[7] dan Pasal 31 UUD 1945,[8] bahkan bertentangan pula dengan Pembukaan UUD 1945; (b). UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, diajukan ke MK dengan alasan bertentangan dengan hak kosntitusionalitas UUD, tetapi oleh MK  dalam Putusannya No. 25/PUU-IV/2006ditolak karena menurut MK keseluruhan norma dalam undang-undang tersebut didasarkan pada tujuan untuk mengangkat martabat guru dan dosen, meningkatkan penghasilannya tetapi dengan tuntutan untuk meningkatkan profesionalismenya, yang merupakan prasyarat bagi upaya mencerdaskan bangsa. Keseluruhan permasalahan yang diajukan para Pemohon dalam bentuk pengujian undang-undang a quo terhadap UUD 1945, lebih merupakan masalah implementasi, yang menjadi wewenang forum lain. Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan karena materi undang-undang yang dimohonkan pengujian tidak ternyata bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya. Melihat kenyataan ini, pembentuk UU harus lebih hati-hati dalam merumuskan suatu ketentuan hukum agar tidak bertentangan dengan konstitusi khususnya hak-hak konstitusional yang sudah dijamin. 

D. Implementasi HAM dalam Berbagai Peraturan Perundang-undangan

Selain HAM menjadi bagian materi muatan pokok UUD 1945 (perubahan), sejalan dengan era reformasi diterbitkan pula berbagai peraturan perundang-undangan pelaksanaan dari UUD yang mengikuti perkembangan instrumen hukum Internasional, serta meratifikasi berbagai instrumen Hukum Internasional yang dipandang akan semakin menguatkan kemajuan HAM di Indonesia. Instrumen penting yang diratifikasi pada era reformasi adalah[9]International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya/EKOSOB) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik/SIPOL).

Kovenan Hak Ekosob diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005. Hak-hak yang diatur di dalamnya meliputi: (1). hak atas pekerjaan (Pasal 6); (2). hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7); (3). hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8); (4). hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9); (5). hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10); (6). hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11); (7). hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12); hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14) dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).

Kovenan Hak Sipol  diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005. Hak-hak yang diatur di dalamnya meliputi: (1). Hak untuk menentukan nasibnya sendiri; (2). Kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini; (3). Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan; (4). hak hidup (tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang); (5). tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; (6). tidak seorang pun boleh diperbudak (kerja paksa atau kerja wajib); (7). tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang; (8). tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya; (9). kebebasan setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri yang secara sah tinggal di negara pihak; (10). persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan; (11). hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak; (12). Hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana; (13). hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi; (14). pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana; (15). hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum; (16). tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang; (17). hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan'beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut; (18). hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; (19). pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan; (20). pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai; (21). hak setiap orang atas kebebasan berserikat; (22). pengakuan atas hak laki­-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan; (23). hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan; (24). hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya; (25). persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, dan (26). perlindungan golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak

Hak-hak yang tercakup baik dalam kategori Hak Ekosob maupun Hak Sipol dapat dibedakan tetapi pada prinsipnya tidak dapat dipisahkan (prinsip indivisible) karena saling tergantung. Hak-hak tersebut  pada prinsipnya juga sudah terakomodasi juga di dalam hasil perubahan UUD 1945. Artinya dari sisi pengaturan konstitusi sudah sangat terjamin keberadaan hak-hak tersebut. Terlebih lagi untuk mengimplementasikan masing-masing hak tersebut telah diterbitkan berbagai UU antara lain:

Lingkup Hak EKOSOB
Lingkup Hak SIPOL
UU Kesehatan
UU Pers
UU Sisdiknas
UU Pemilu
UU Guru dan Dosen
UU Partai Politik
UU Pendidikan Tinggi
UU Ormas
UU Perumahan
UU Kewarganegaraan
UU Perlindungan UMKM
UU Kebebasan Informasi Publik
UU Fakir Miskin


Dari berbagai UU tersebut, UU Guru dan Dosen termasuk produk hukum yang dilahirkan untuk memperkuat pelaksanaan hak atas pendidikan agar mencapai sasaran sesuai dengan tujuan negara, karena guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional di bidang pendidikan. Tidak akan ada artinya rumusan HAM dalam berbagai instrumen hukum jika pada akhirnya perilaku warga bangsa tidak mencerminkan sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat. Untuk mencapai bangsa seperti itulah diperlukan adanya pendidikan yang berkualitas dengan dukungan guru dan dosen yang berkualitas yang terjamin hak-haknya dalam pelaksanaan fungsi serta kedudukannya. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional yang dibuktikan dengan sertifikasi pendidik setelah memenuhi persyaratan. Hal ini sejalan dengan hak yang dijamin oleh UU atas pelaksanaan tugas keprofesionalan guru. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam HAM, bahwa antara hak dan kewajiban saling melengkapi. Seseorang guru tidak dapat hanya menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban. Hak di atas diperoleh karena pelaksanaan kewajiban sebagai Guru yang profesional. Hak dan kewajiban dimaksud adalah:

Hak Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
Kewajiban Guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan
a.  memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi;
b.  mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c.   memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;
d.  memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e.  memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f.    memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g.  memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h.  memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i.    memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j.    memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
k.   memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
a.  merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b.  meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.   bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d.  menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e.  memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Sejalan dengan prinsip dalam HAM, bahwa antara hak dan kewajiban saling melengkapi. Seseorang tidak dapat hanya menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban. Oleh karena itu, hak di atas diperoleh karena pelaksanaan kewajiban sebagai Guru yang profesional.

E. Penutup

Pengaturan kebijakan HAM dalam hukum nasional Indonesia sudah lebih dari cukup. Dengan demikian, persoalan HAM di Indonesia bukan lagi berkaitan dengan pengaturan dan perlindungan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah dalam tataran pelaksanaan/praktik. Oleh karena itu, semua komponen masyarakat, terutama aparat penegak dan pelaksana hukum, harus memahami dan melaksanakan HAM dengan baik. Pelaksanaan HAM bukan hanya dalam konteks penegakan hukum, tetapi juga  dalam bidang yang lebih luas lagi seperti perbaikanpelayanan atas hak dasar manusia di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan dan lain sebagainya.





[1] Lihat kasus –kasus penghilangan orang (aktivis) secara paksa tahun 1997-1998. Dalam tahun 2000, terhitung sejak Januari hingga Maret, kasus penghilangan orang secara paska kembali terjadi di tanah Aceh. Ada sekitar 74 kasus orang hilang yang dilaporkan kepada LSM Aceh atau perwakilan Komnas HAM Aceh dan sekitar 28 orang di antaranya belum ditemukan hingga saat ini, selebihnya kembali atau ditemukan dalam keadaan tewas. Siaran Pers No : 09/SP/KONTRAS/IV/2000 tentang Penghilangan 12 Orang Secara Paksa dan Upaya Penyelesaian Kekerasan Di Aceh.
[2]Keterkaitanantarakonstitusidenganhakasasimanusiajugadapatdilihatdariperkembangansejarah.Perjuanganperlindunganhakasasimanusiaselaluterkaitdenganperkembanganupayapembatasandanpengaturankekuasaan yang merupakanajarankonstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of Rights (1628) adalah momentum perlindunganhakasasimanusiasekaliguspembatasankekuasaan raja olehkekuasaanparlemen(house of commons). LihatJimlyAsshiddiqie, KonstitusidanHakAsasiManusia, disampaikanpadaLecturePeringatan 10 TahunKontraS. Jakarta, 26 Maret 2008
[3] Sebelum aamandemen UUD 1945 pengaturan HAM sangat terbatas karena menganut prinsip HAM sebagai muatan Residu yang diatur tidak dalam UUD tapi dalam peraturan perundang-undangan lainnya. HAM dalam UUD hanya mencakup:  Hak atas kebebasan untuk mengeluarkan  pendapat, Hak atas kedudukan yang sama di dalam Hukum, Hak atas kebebasan berkumpul, Hak atas kebebasan beragama, Hak atas penghidupan yang layak, Hak atas kebebasan berserikat, Hak atas pengajaran
[4] Lihat Muhammad Ya­min, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid I, Djakarta: Prapantja, 1959, hlm. 296-297. Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Kecil sama sekali tidak dimuat ketentuan mengenai hak-­hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari para anggota. Untuk menjawab hal itu, anggota Soekarno antara lain berkata:
"Saja minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya­-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan ‘rights of the citizen’ sebagai yang dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa, manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengada­kan persidangan dan berapat, jika misalnya tidak ada ‘sociale rechtvaardigheid’ jang demikian itu? Buat apa kita membikin grond­wet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. ‘Grondwet’ yang berisi ‘droit de l'hom­me et du citoyen’ itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham go­tong royong dan keadilan sosial enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanya."

[5]LihatKonsideranMenimbanghuruf  c. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tidakberlakulagisetelahditerbitkan Tap MPR No. 1/MPR/2003 karenamuatan Tap inidianggapsudahterakomodasidalamperubahan UUD 1945.
[6]LihatPenjelasanUmum UU No. 27 Tahun 2004.
[7]Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhakataspengakuan,jaminan, perlindungan, dankepastianhukum yang adilsertaperlakuan yang sama di hadapanhukum.
[8]Pasal 31 UUD 1945:
(1)  Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2)  Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3)  Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4)  Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen  dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran  pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5)  Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
[9]International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun 1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi­-bagi dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaaan, pemajuan, dan perlindungan semua hak-hak ekonomi, sosial, dan pudaya tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak sipil dan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar