MUTIARA ILMU

Minggu, 17 Agustus 2025

✸ *JIWA MERDEKA: EPOS HEROIK PERJUANGAN BANGSA INDONESIA* ✸


Sejarah bangsa Indonesia adalah kisah agung tentang keberanian, kegigihan, dan kesetiaan pada tanah air. Dari ujung Aceh hingga kepulauan Maluku, dari tanah Jawa hingga pelosok Kalimantan, detak nadi rakyat Nusantara berdegup dalam satu irama: Merdeka atau mati!

*Ratusan tahun lamanya bumi pertiwi ini diinjak-injak oleh kekuasaan penjajah Belanda*. Tetapi penjajah tak pernah mampu merampas harga diri anak bangsa. Pangeran Diponegoro bangkit mengobarkan Perang Jawa, Imam Bonjol bangkit menentang penindasan dalam Perang Padri, Cut Nyak Dien bersama rakyat Aceh mempertaruhkan nyawa demi kemuliaan bangsa. Semua bergerak—petani, santri, ulama, prajurit, pemuda, dan kaum ibu—bersatu mempertahankan kehormatan bangsa.

*Tahun 1942*, datang gelombang baru penjajahan bernama Jepang. Kekejamannya meneteskan darah dan air mata. Rakyat dipaksa kerja paksa, lumbung padi dirampas, dan desa-desa dijadikan kamp militer. Namun justru dalam penderitaan itulah api nasionalisme semakin menyala. Dan ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom Amerika Serikat, bangsa Indonesia membaca pertanda dari langit: inilah saatnya memproklamasikan kemerdekaan.

*Maka pada pagi suci 17 Agustus 1945*, di sebatang rumah sederhana di Pegangsaan Timur, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat menangis haru, para pemuda menengadahkan tangan ke langit seraya bersumpah: Kami siap mempertahankan kemerdekaan ini hingga titik darah penghabisan!

Dan benar, tak lama kemudian Belanda bersama sekutu datang kembali membawa meriam dan senapan, hendak menenggelamkan Indonesia ke dalam penjajahan kedua. Tetapi rakyat telah bersatu padu. Agresi Militer Belanda I (1947) kita hadapi dengan semangat gerilya yang membara. Agresi Militer II (1948) disambut dengan perlawanan total di seluruh penjuru negeri.

*Hari paling bersejarah itu pun tiba: 10 November 1945* di Surabaya! Teriakan Bung Tomo mengguncangkan langit, menyalakan semangat wira bangsa:

*“Selama banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah yang dapat membasahi sehelai kain putih, selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada siapapun juga!”*

Arek-arek Surabaya tidak gentar. Rumah-rumah dijadikan benteng, bambu runcing diangkat tinggi-tinggi. Tua-muda, santri-rakyat, jatuh satu bangkit seribu. Sejak hari itu, darah para syuhada kemerdekaan mengaliri setiap jengkal tanah sebagai saksi perjuangan.

Belum reda pertempuran di Surabaya, sejarah kembali mencatat keberanian bangsa ini melalui Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Dalam enam jam, TNI merebut kota dari cengkeraman Belanda, menggugah dunia bahwa Republik Indonesia belum mati!

Dan akhirnya, atas pengorbanan darah dan nyawa putra-panji bangsa, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

⚠️ *Perlu ditegaskan dengan jelas dan jujur dalam lembar sejarah ini: Bahwa seluruh rangkaian perjuangan suci tersebut tidak pernah melibatkan peran kaum habib klan Ba’alwiy*. Justru sebaliknya, ketika rakyat Indonesia bangkit melawan penjajahan, sebagian tokoh klan tersebut berdiri di sisi penjajah. Mereka didatangkan oleh Belanda dan diberikan kedudukan sebagai Kapitan Arab untuk mengamankan kepentingan kolonial. Bahkan tercatat jelas dalam arsip sejarah bahwa Habib Utsman bin Yahya diangkat oleh pemerintah Belanda sebagai Mufti Kesultanan Belanda, dan karenanya berdiri di pinggir medan sejarah sebagai bagian dari sistem kolonial, bukan pada barisan pejuang bangsa.

Bangsa ini tidak pernah dibebaskan oleh gelar, keturunan, atau privilese apapun. *Bangsa ini meraih kemerdekaannya dengan cucuran darah petani, dengan air mata santri, dengan nyawa para pemuda yang tak punya apa-apa selain cinta kepada tanah air.*

💥 *Inilah Indonesia!*
Bangsa pejuang yang lahir dari keberanian, tumbuh dalam kesengsaraan, dan menang karena semangat persatuan.

🛑 *Bantahan Fakta Ngawur Terkait Sejarah Masuknya Islam dan Klan Ba’alwi di Nusantara*

Banyak orang sekarang menyebarkan informasi keliru seolah-olah “Islam baru muncul di Jawa abad ke-18” dan “habib sudah masuk sejak abad 16–17 lalu ikut menyebarkan Islam.” Fakta sejarah justru membantah semuanya.
📌 Fakta Sejarah yang Benar:
✅ Islam sudah hadir di Jawa sejak abad ke-13–14, dibuktikan dengan batu nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) di Gresik.
✅ Kesultanan Demak berdiri tahun 1478 (akhir abad ke-15) — berarti Jawa sudah menjadi kerajaan Islam jauh sebelum Belanda datang.
✅ Belanda (VOC) masuk ke Jawa tahun 1602, pada masa Kesultanan Mataram Islam, bukan pada masa Hindu. Bahkan Sultan Agung sudah menyerang Batavia pada 1628–1629.
✅ Kesultanan Islam di Sumatra bahkan lebih tua:
• Samudera Pasai berdiri abad ke-13,
• Aceh Darussalam bangkit akhir abad-15.
✅ Kesultanan Banjar di Kalimantan berdiri tahun 1526 (abad ke-16).
✅ VOC sudah membuka kantor dagang di Aceh tahun 1607 dan masuk Banjarmasin tahun 1635. Artinya Belanda sudah masuk Sumatra & Kalimantan jauh sebelum abad ke-19.
❌ Jadi sangat jelas keliru apabila ada yang mengatakan:
• “Belanda menjajah Jawa saat Jawa masih Hindu.” → SALAH
• “Islam baru masuk ke Jawa abad ke-18.” → SALAH
• “Habib datang ke Nusantara abad 16 sebagai penyebar Islam.” → SALAH BESAR
📌 Justru faktanya:
➡️ Kedatangan klan Ba’alwi secara masif baru terjadi setelah VOC berkuasa dan mereka diberi kedudukan sebagai Kapitan Arab serta Mufti Belanda (contoh: Habib Utsman bin Yahya).
➡️ Tidak satu pun tokoh Ba’alwi yang tercatat ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, KH Hasyim Asy’ari, atau laskar rakyat pribumi.
➡️ Sebaliknya, sebagian tokoh marga tersebut mendukung kolonial dan bahkan memalsukan nasab sejumlah pahlawan dan ulama pribumi setelah Indonesia merdeka.
🧠 Maka, mari jujur dalam membaca sejarah:
Bangsa ini diperjuangkan oleh darah, air mata, dan nyawa pribumi — bukan oleh gelar dan privilese keturunan.
🇮🇩 Fakta tetaplah fakta. Seberapapun sering kebohongan diulang, ia tidak akan mengubah sejarah.

Kamis, 14 Agustus 2025

𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐇𝐢𝐥𝐚𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚 𝐈𝐬𝐭𝐢𝐠𝐡𝐨𝐭𝐬𝐚𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢𝐬𝐮𝐬𝐮𝐧 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐇𝐚𝐝𝐥𝐫𝐚𝐭𝐮𝐬𝐲 𝐒𝐲𝐚𝐢𝐤𝐡 𝐊𝐇 𝐌𝐮𝐡𝐚𝐦𝐦𝐚𝐝 𝐇𝐚𝐬𝐲𝐢𝐦 𝐀𝐬𝐲’𝐚𝐫𝐢



Bagi warga Nahdliyyin, istighotsah adalah amalan yang sudah membudaya. Kadang dibaca tiap selapan sekali (35 hari), seminggu sekali, bahkan ada yang mengamalkan sehari sekali. Tergantung seberapa berat masalah hidup yang dihadapi.

Bacaan dan bilangan istighotashpun berbeda-beda. Wirid istighotsah seperti halnya ukuran obat. Beda dokter, tentu beda pula ukuran dosis yang diberikan.

Dari sekian banyak amalan istighotsah yang sudah diamalkan. Ada satu wirid istighotsah istimewa. Wirid istighotsah ini disusun oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Salah satu kiyai yang mendapat ijazah istighotsah dari KH M Hasyim Asy’ari adalah Kiai Luqman, asal Tremas.

Pada Selasa, 23 Syawal 1435 Hijriyah, saya diminta menemani Kiai Luqman pergi ke luar kota. Hari itu beliau memiliki tiga agenda berbeda. Pagi ke Ponorogo, sowan salah seorang kiai sepuh, kemudian siangnya ke Magetan ta'ziyah wafatnya Pengasuh Pesantren Temboro KH Uzairon dan malam harinya mengisi pengajian peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) RI di sebuah desa di Wonogiri.

Kami pergi ditemani oleh isteri Kiai Luqman. Kiai Luqman yang menyetir sendiri mobilnya. Beliau memang kerap membawa sendiri mobilnya tanpa menggunakan sopir pribadi. Dan seperti biasa saya yang disopiri.

Sampai di Ponorogo kami mampir dulu di rumah Gus Munir, salah satu keluarga Pondok Jenes. Kemudian bersama-sama sowan kepada Kiai Fahruddin, Pengasuh Pesantren Thoriqul Huda, Cekok, Kecamatan Babadan, Ponorogo.

Sowan Kiai Luqman ini tentunya dalam rangka “ngalap barokah”, meminta doa-pangestu agar senantiasa istiqamah membimbing santri di Pondok Tremas. Kiai Luqman memang gemar sekali bersilaturahmi, utamanya kepada kiai sepuh. Apalagi saat itu masih dalam suasana hari raya Idul Fitri.

Pada malam hari sebelum sowan, Kiai Luqman sempat berkomunikasi intens dengan salah satu cucu Hadratussyaikh, Gus Zaki Hadziq (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Masyhuriyah). Keduanya, saling berbagi kabar penting tentang sebuah wirid istighotsah langka yang pernah disusun oleh Hadratusy Syaikh KH M Hasyim Asy’ari, dan pernah diijazahkan kepada salah seorang putranya.

Entah karena suatu hal. Di Tebuireng sendiri, ternyata teks istighotsah itu sudah “tidak ada” lagi yang menyimpanya. Maka dicarilah informasi, siapakah gerangan santri Tebuireng yang masih menyimpan dan mengamalkanya.

Singkat cerita, didapati kabar ada seorang kiai sepuh di Ponorogo yang masih mengamalkannya. Santri Tebuireng itu adalah Kiai Fahruddin Dasuki. Maka Kiai Luqman segera sowan ke sana.

Di Ndalemnya yang sejuk itu, Kiai Luqman berbincang cukup lama dengan Kiai Fahruddin yang saat itu ditemani beberapa putranya. Perbincangan berlangsung cukup hangat. Hampir dua jam.

Saya yang duduk agak jauh dari Kiai Luqman diberi tugas mendokumentasikan pertemuan antara dua kiai beda generasi itu. Waktu itu saya membawa semacam kamera Flip, kamera kecil khusus untuk merekam video.

Mula-mula Kiai Fahruddin bercerita tentang masa-masa nyantri di Tebuireng, ngaji kepada Kiai Kholiq Hasyim. Kemudian topik beralih seputar pesantren, NU dan Bangsa. Kiai sepuh ini memang dikenal getol menjaga nilai kebangsaan dan kenegaraan.

Yang dapat saya ingat, Kiai Fahruddin juga sempat bercerita tentang peristiwa pernikahan KH Harits Dimyathi, ayah Kiai Luqman, dengan salah satu putri Hadratusyaikh yang bernama Nyai Fathimah. Saat itu Kiai Fahruddin yang masih menjadi santri anyaran turut menyaksikan prosesi ijab qobul antara putra KH Dimyati Tremas itu dengan salah satu putri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Walaupun pada akhirnya ikatan pernikahan itu tidak berlangsung lama.

Di tengah perbincangan, dengan rasa hormatnya Kiai Luqman lalu memberanikan diri “matur”, menanyakan tentang sebuah wirid istighosah yang pernah disusun oleh Hadratussyaikh KH. M Hasyim Asy’ari. Seperti diketahui, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selain dikenal sebagai kiai yang mampu menulis berpuluh-puluh kitab, beliau juga menyusun wirid-wirid tertentu untuk diamalkan para santrinya saat itu.

Dengan tutur kata lembut dan penuh kerendahan hati, Kiai Fahruddin menjawab pernah mendapat ijazah wirid istighosah langka itu dari gurunya, KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq merupakan tokoh Tebuireng generasi ke-5 yang cukup disegani oleh masyarakat, karena memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi.

Istighotsah itu, kata Kiai Fahruddin masih diamalkannya.  Mendengar jawaban itu, wajah Kiai Luqman tampak bahagia. Sebab salah satu wirid istighosah, saya menyebutnya seperti “Harta Karun” langka telah berhasil ditemukan.

Kiai Fahruddin kemudian mengambil secarik kertas, yang didalamnya berisi wirid istighosah. Menurut Kiai Fahruddin, ijazah istighosah ini diperolehnya langsung dari KH Kholiq Hasyim. Kiai Kholiq mendapat ijazah langsung dari Ayahnya, Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari.

Saya menyaksikan proses pemberian ijazah istighotsah langka itu kepada Kiai Luqman. Sebelumnya, Kiai Fahruddin tampak “berkata dengan lirih (pelan)”, dengan suara yang hanya mampu didengar Kiai Luqman. Sepertinya beliau menyampaikan suatu pesan yang amat penting.

Setelah itu mulailah proses ijab-qobul itu. Kiai Fahruddin mengawali “ijazahan” dengan bacaan basmallah dan shalawat. Lalu beliau juga memberikan tela'ah dan tashih (pembenaran) pada tiap bacaan istighatsah itu. Satu persatu bacaan istighatsah yang diawali dengan Asmaul Husna, istighfar, semua itu beliau bacakan sesuai dengan urutan dan jumlah bacaannya.

Kiai Luqman lalu mantap menjawab “Qobiltu” sebagai akad telah menerima wirid itu. Jadilah transmisi sanad wirid dari Tebuireng ini nyambung ke Tremas. Kiai Fahruddin mengakhiri ijazahan dengan membaca doa dan kamipun ikut mengamininya. Teks istighotsah kemudian disimpan dan dibawa pulang ke Tremas.

Selang beberapa bulan setelah memberikan ijazah ini, Kiai Fahruddin wafat. Namun wirid istighotsah itu sempat diijazahkan pula kepada salah satu dzurriyah Tebuireng, Gus Zaki Hadziq.

Jadi sebelum wafat, Kiai Fahruddin telah “mengembalikan” wirid istighotsah itu ke tempat asal pertama kali wirid itu disusun, yaitu dari Pondok Pesantren Tebuireng.

Kiai Luqman merupakan sosok kiai yang gemar berbagi. Utamanya dalam hal keilmuan. Beliau sangat dermawan, senang berbagi kepada siapa saja dan dimana saja. Lebih-lebih wirid istighotsah yang telah diperolehnya. Seperti pesan dari Kiai Fahruddin, istighotsah itu agar diamalkan oleh para santri dan umumnya warga nahdliyin.

Untuk wirid istighotsah Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari ini, sekarang sudah mulai diamalkan bersama-sama oleh santri Tremas dan dibaca setiap malam Selasa Kliwon. Kiai Luqman sendiri yang memimpin langsung amalan istighotsah ini. 

Adapun teks istighosah milik (yang disusun oleh) Hadlratusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asyrai adalah sebagai berikut:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

١ – أَسْمَاءُ الْحُسْنَى ١

٢ – أَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ ٣

٣- لَاإِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ ١١

٤- يَا اللهُ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ١١

٥- بِسْمِ اللهِ بِعَوْنِ اللهِ، اللهُ يَا حَفِيْظُ ١١

٦- إِلَهَنَا يَا سَيِّدَنَا أَنْتَ مَوْلَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ/ الظَّالِمِيْنَ/ الْمُنَافِقِيْنَ ١١

٧- يَا حَنَّانُ، يَا مَنَّانُ، يَا دَيَّانُ ٩

٨– السَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا رِجَالَ الْغَيْبِ، يَا أَيُّهَا الْأَرْوَاحُ الْمُقَدَّسَةُ، أَغِيْثُوْنِيْ بِالْغَوْثَةِ، وَانْظُرْنِيْ بِالنَّظَرَةِ، يَا رُقَبَاءُ، يَا  نُقَبَاءُ، يَا نُجَبَاءُ، يَا أَبْدَلُ 

 يَا أَوْتَادُ، يَا غَوْثُ، يَا قُطُبُ، أَغِيْثُوْنِيْ باِلْغَوْثَةِ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ٣ 

 ٩- يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، يَا أَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ، بَلِّغْ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ ٣

(Zaenal Faizin)

*********
Dikutip dengan sedikit perubahan judul dan kata oleh NuBorneo dari laman: https://www.tebuireng.co/kisah-ijazah-istighotsah-kh-hasyim-asyari-yang-sempat-hilang/

Ditulis pada 2021-06-20 oleh: Abdurrahman Santri #Pondok_Pesantren_Tebuireng dan aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri.