MUTIARA ILMU

Senin, 17 Maret 2025

FIQIH TRAVELLING: MEMBERI JAMUAN MAKAN





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Selama ini sebagian orang beryakinan bahwa selamatan atau makan makan itu hanya dilakukan oleh orang yang akan melakukan safar ketanah suci saja dengan berbagai menu makanan bahkan sampai menyembelih hewan ternak sapi dan kambing. 

Padahal, yang dianjurkan membuat acara makan makan itu bukan hanya sadar ketanah suci saja melainkan safar ketempat lain misalnya saya kemarin melakukan safari dakwah di pulau Kalimantan selama satu bulan.

Well, pulangnya saat ditunggu keluarga diterminal Situbondo saya mengajak mereka melakukan acara makan makan  sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT karena sudah diselamatkan dari marabahaya perjalanan darat, udara dan laut di rumah makan Qadir spesial menjual sate kambing, gule dan menu makanan khas timur tengahan 

Salah satu tugas umat Islam adalah mengikuti sunah Rasulullah dalam segala lini kehidupan. Salah satu sunah Rasul yang sangat dianjurkan ketika menyambut kedatangan orang yang bepergian jauh adalah naqiah.

Naqiah adalah hidangan atau jamuan yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangan orang yang bepergian jauh. Bepergian jauh ini bisa untuk apa saja asalkan tidak untuk hal yang maksiat. Hal ini seperti yang diutarakan Imam Nawawi dalam kitabnya, Syarhu Muhazab

يستحب النقيعة، وهي طعام يُعمل لقدوم المسافر ، ويطلق على ما يَعمله المسافر القادم ، وعلى ما يعمله غيرُه له

Artinya: “Disunahkan untuk mengadakan naqi’ah, yaitu hidangan makanan yang digelar sepulang safar. Baik yang menyediakan makanan itu orang yang baru pulang safar atau disediakan orang lain.”

Bepergian jauh disini bisa untuk pulang haji, pulang merantau karena bekerja atau belajar.

Jika diamati naqiah ini sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Indonesia, tentu hal ini harus dipertahankan karena merupakan hal yang baik dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Nabi Muhammad sendiri dalam hadisnya pernah menyembelih unta karena kepulangan dari safar

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما قدم المدينة من سفره نحر جزوراً أو بقرةً ” رواه البخار

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw ketika tiba dari Madinah sepulang safar, beliau menyembelih onta atau sapi.” (HR Bukhari).

Dalam sebuah hadis lain juga dikatakan hal yang demikian

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ

Artinya: “Jika Nabi saw pulang dari safar, kami menyambutnya. Beliau menghampiriku, Hasan, dan Husain, lalu beliau menggendong salah satu di antara kami di depan, dan yang lain mengikuti di belakang beliau, hingga kami masuk kota Madinah.” (HR Muslim).

Walhasil, mari kita lestarikan sunah Nabi, Naqiah ini ketika menyambut kedatangan orang yang bepergian jauh. Wallahu A’lam Bishowab

Salam akal sehat, Situbondo 18 Maret 2025

TRAVELLER MENDAPAT DISPENSASI HUKU SHALAT JUM'AT





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Setiap kami melakukan Travelling di luar kota misalnya, di kota Lumajang, kota Surabaya, kota Yogyakarta, dan luar kota lainnya, isteri selalu menyuruh shalat Jumat dimasjid terdekat. Kadang saya mengikuti permintaanya untuk menyenangkan hatinya tapi kadang saya mengatakan pada dirinya:

"Saat ini, saya tidak akan sholat jum'at disamping kelelahan menjadi draiver mobil yang berjarak ratusan kilo meter, juga saya ingin menikmati suguhan dispensasi hukum musafir oleh Tuhan." Kata saya padanya.

"Maksudnya dispensasi hukum?" Tanyanya penasaran.

"Posisi saya saat ini adalah musafir atau TRAVELLER yang dapat dispensasi atau potongan hukum boleh tidak melaksanakan shalat Jumat." Ungkap saya diplomatis.

Namun demikian, berbeda saat saya melakukan safari dakwah di kota Ketapang Kalimantan Barat, saya selalu melakukan shalat Jumat bahkan tidak hanya sekedar sholat Jum'at saja melainkan diminta menjadi Khotib dan Imam shalat Jumat diberbagai instansi dan institusi pendidikan alias pondok pesantren. Mengapa demikian? Nah ini alasannya. 

Pada dasarnya shalat Jumat hukumnya adalah wajib bagi setiap Muslim laki-laki. Hal ini berdasar pada firman Allah swt dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Demikianlah shalat Jumat menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas tertentu. Diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kualitas ketakwaan dan keimanan umat muslim. Karena itulah shalat Jumat didahului dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis shalat Jumat hendaknya menjadi satu media syiar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuat persatuan umat.

Adapun syarat-syarat shalat Jumat seperti yang tertulis dalam kitab Matnul Ghayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’
 
وشرائط وجوب الجمعة سبعة أشياء : الاسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة والاستيطان
 
Syarat wajib Jumat ada tujuh hal yaitu; Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, sehat dan mustauthin (tidak sedang bepergian) 

Dari ketujuh syarat tersebut, tiga syarat pertama Islam, baligh dan berakal dapat dianggap mafhum. Karena jelas tidak wajib shalat Jumat orang yang tidak beragama Islam, yang belum baligh, apalagi orang gila. Sedangkan mengenai empat syarat yang lain Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan lainnya dari Jabir ra, Nabi saw bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فعليه الجمعة إلا امراة ومسافرا وعبدا ومريضا

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat Jumat kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya dan orang yang sedang sakit.

Pada praktiknya, shalat Jumat sama seperti shalat-shalat fardhu lainnya. Hanya ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu pertama  hendaklah diadakan di negeri, kota atau desa. kedua jumlah orang tidak kurang dari 40, dan ketiga masih adanya waktu untuk shalat Jumat, jika waktu telah habis atau syarat yang lain tidak terpenuhi maka dilaksanakanlah shalat Dhuhur.

Dengan demikian shalat Jumat selalu dilakukan di masjid. Dan tidak boleh dilakukan sendirian di rumah seperti shalat fardhu yang lain. Hal ini tentunya menyulitkan mereka yang terbiasa bepergian jauh. Entah karena tugas negara atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena itulah maka shalat Jumat tidak diwajibkan bagi mereka yang sedang sakit atau berada dalam perjalanan (musafir).
 
Khusus untuk musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk maksiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.

Bolehnya meninggalkan shalat Jumat oleh musafir ini dalam wacana fiqih disebut dengan rukhshah (dispensasi). Yaitu perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Bepergian menjadi udzur seseorang untuk menjalankan shalat Jumat karena dalam perjalanan seseorang biasa mengalami kepayahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat tiba.

Akan tetapi keringanan –rukhshah- ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berubah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan jika saya dari Bondowoso pergi safari dakwah  ke Ketapang Kalimantan Barat lalu niat menginap di pesantren sahabat saya Dr. KH. Surya Abdullah, M. Pd. I selama satu bulan lamanya maka tidak berlaku lagi bagi saya  keringanan bepergian –rukhsah al-safar-. 

Maka saya  tidak diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat, jamak atau qashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. Contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jumat bila tiba waktunya.   

Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang, tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari.

Oleh karena itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk maksiat. Ketiga, mengetahui jumlah hari selama bepergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab Al-Madzahibul Arba’ah, Al-Hawasyiy Al-Madaniyah dan Al-Fiqhul Islami).


Salam akal sehat, Kalimantan Barat, 18 Maret 2025