MUTIARA ILMU

Senin, 02 September 2024

*DEVISI KAJIAN SEJARAH AKAN MENGABARKAN SEKILAS TENTANG MASALAH NASAB DAN SEJARAH KLAN BA'4LWI, MONGGO DI BACA SAMPAI TUNTAS*


 BAHTSUL MASAIL TENTANG NASAB HABIB BA’ALWI (draf)__Tempat (planing) : Gedung PBNU Pusat

DESKRIPSI MASALAH

Hampir dua tahun ini, media sosial diramaikan oleh diskursus tentang nasab para habib di Indonesia yang berasal dari Klan Ba’alwi. Diskursus itu dipicu oleh sebuah “tesis” seorang ulama asal Banten yang bernama K.H. Imaduddin Utsman al Bantani yang menyatakan bahwa nasab mereka kepada Nabi Muhammad SAW terbukti sebagai nasab yang “batilun”, “maudu’un” munqati’un” (batal, palsu dan terputus).  

Majalah berita mingguan TEMPO, dalam  edisi liputan khusus ‘;Idul Fitri 1445 H, mengangkat isu ini dalam salah satu judul bagian kontroversi “Penelitian Imaduddin Utsman mengungkap dugaan terputusnya nasab habib di Indonesia”.

Klan Ba’alwi sendiri berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman. Sebagian dari mereka bermigrasi secara masiv  ke Indonesia pada sekitar tahun 1880 sampai tahun 1943 M (Jajat Burhanuddin, 2022).  

Dalam hubungan sosial kemasyarakatan dan keagamaan,  mereka mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW  dengan sebutan “habib”. 

Dalam literature kitab-kitab karya ulama mereka, hubungan kekerabatan nasab mereka dengan Nabi Muhammad SAW itu diperoleh melalui jalur Ahmad bin ‘Isa (w. 345 H. ?) bin Muhammad al-Naqib bin ‘Ali al-‘Uraidi bin Ja’far al-Sadiq bin Muhmmad al-Baqir bin ‘Ali Zainal ‘Abidin bin Husain bin Fatimah binti Nabi Muhammad SAW.  Ahmad bin Isa sendiri telah terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab mu’tabar sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.

Untuk klaimnya tersebut,  setelah 550 tahun wafatnya Ahmad bin Isa, mereka menulis banyak kitab-kitab mulai dari abad sembilan sampai abad kelimabelas Hijriah tentang historiografi sejarah ketokohan dan nasab leluhur mereka.  

Ulama klan Ba’alwi yang pertama menulis historiografi tersebut adalah Ali bin Abubakar al Sakran (w.895 H.) dalam kitabnya yang berjudul “Al Burqat al Musyiqat”, dilanjutkan oleh Abubakar bin Abdullah al Idrus (w.914 H.) dalam kitabnya “Al Juz’ al Latif”  dan Muhammad Ali Khirid Ba’alwi (w.960 H.) dalam kitabnya “Al Gurar”. 

Dalam kitab-kitab (sumber internal) tersebut mereka menyatakan bahwa Ahmad bin Isa “hijrah” (pindah) dari Bashrah ke Hadramaut tahun 317 H, sehingga ia dikenal dengan gelar “al-muhajir” (orang yang berpindah).  Ahmad bin Isa, menurut mereka, adalah seorang “imam” yang wafat dan dimakamkan di Hadramaut. 

Mereka juga menyatakan bahwa leluhur mereka yang bernama ‘Ubaidillah (w. 383 H.) adalah seorang “imam” dan ulama yang merupakan salah satu dari anak Ahmad bin Isa. 

Adapun silsilah lengkap nasab Ali bin Abubakar al Sakran sampai Ahmad bin Isa, sebagaimana yang ditulis oleh yang bersangkutan dalam “Al Burqat” adalah: Ali (w. 895 H.) bin Abubakar al Sakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi Al Gayyur bin Muhammad (Faqih Muqoddam) bin Ali bin Muhammad (Sahib Mirbat) bin Ali Khaliqosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah (w. 383 H.)  “bin” Ahmad bin Isa (w. 345 H.) (Al Burqat h. 148-149).

Menurut Kiai Imad, klaim-klaim yang dinyatakan ulama ulama Ba'alwi itu tidak berdasar referensi apapun. Ahmad bin Isa tidak terkonfirmasi dalam kitab- kitab abad empat sampai kedelapan  Hijriah berhijrah ke Hadramaut; begitupula ia tidak terkonfirmasi dalam kitab-kitab abad keempat sampai delapan Hijriah bergelar "al Muhajir" dan wafat serta  dimakamkan di Hadramaut; seperti juga ia tidak terkonfirmasi kitab abad keempat sampai delapan  Hijriah ia mempunyai anak bernama Ubaidillah.

Menurut Kiai Imad, pengakuan itu baru muncul pada abad kesembilan Hijriah diplopori oleh Ali bin Abubakar al Sakran yang wafat tahun 895 H. Menurut Kiai Imad, pengakuan keluarga Ba'alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW itu tertolak karena pengakuan itu tidak terkonfirmasi sumber-sumber sejarah sebelumnya.

Diskursus itu semakin meluas ketika seorang ahli biologi yang bekerja di Badan Riset dan Inovasi Nasional yang bernama DR. Sugeng Pondang Sugiharto menyatakan bahwa dari 180 orang klan Ba’alwi yang telah melakukan uji tes DNA, hasil mereka menunjukan bahwa mereka tidak terkonfirmasi secara genetic sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Menurut DR Sugeng, jangankan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW, klan Ba’alwi ini tidak terkonfirmasi sebagai keturunan Arab garis Nabi Ibrahim AS.

PERTANYAAN:

1. Adakah kitab abad keempat sampai delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Hadramaut?
2. Adakah kitab abad keempat sampai abad ke delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al Muhajir?
3. Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa wafat dan dimakamkan di Hadramaut?
4. Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan  Hijriah yang menyatakan bahwa Ubaidillah adalah salah satu anak dari Ahmad bin Isa?
5. Benarkah hasil tes DNA Klan Ba’alwi (habib) terbukti bukan keturunan Nabi Muhammad SAW?
6. Apa hukum penggunaan tes DNA dalam memvalidasi nasab menurut hukum Islam?

DRAFT JAWABAN BAHTSUL MASA’IL TENTANG NASAB BA’ALWI

1. Adakah kitab abad keempat sampai delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Hadramaut?

Tidak ada kitab-kitab nasab dan sejarah yang sezaman atau yang paling dekat masanya dengan Ahmad bin ‘Isa sampai abad ke delapan Hijriah yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin ‘Isa pernah ke Hadramaut,  apalagi hijrah untuk menetap di sana. ‘Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w.895 H.), adalah ulama dari klan Ba’alwi yang pertama secara formal menulis bahwa Ahmad bin ‘Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut (Al Burqat h. 131) tanpa referensi. 

Ahmad bin Isa tereportase berada di Madinah tahun 234 H di sebuah kampung bernama “Surya” oleh seorang ulama bernama Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 460 H.) dalam kitabnya “Al-Gaybah”. 

165عنه عن احمد بن عيسى العلوي من ولد علي بن جعفر قال: دخلت على ابي الحسن عليه السلام بصريا فسلمنا عليه فإذا نحن بأبي جعفر وابي محمد قد دخلا فقمنا الى ابي جعفر لنسلم عليه فقال ابو الحسن عليه السلام ليس هذا صاحبكم عليكم بصاحبكم واشار الى ابي محمد عليه السلام 

Terjemah:
“165-Diriwayatkan darinya (Sa’ad bin Abdullah), dari Ahmad bin ‘Isa al-Alwi, dari keturunan ‘Ali bin Ja’far, ia berkata: ‘Aku menemui ‘Ali Abul Hasan, alaihissalam, di Surya, maka kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian kami bertemu Abi Ja’far dan Abi Muhammad, keduanya telah masuk, maka kami berdiri untuk Abi Ja’far untuk mengucapkan salam kepadanya, kemudian Abul Hasan, alalihislam, berkata: ‘Bukan dia sohibmu (pemimpinmu), perhatikanlah pemimpinmu, dan ia mengisaratkan kepada Abi Muhammad, alaihissalam”.

Dari riwayat di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal: pertama bahwa Ahmad bin ‘Isa adalah seorang “syi’iy imamiy” (orang Syi’ah Imamiyah). Sulit sekali untuk dimengerti dan diterima logika, seorang Syi’ah Imamiyah seperti Ahmad bin ‘Isa, kemudian ia hijrah ke Hadramaut yang ketika itu dikuasai oleh kaum Ibadiyah  yang anti terhadap Syi’ah.  ; kedua, Ahmad bin ‘Isa berada di Kota Madinah pada tahun 234 H sekitar umur 20 tahun. Dari situ, historiografi ulama Ba’alwi menghadapi kontradiksi dilihat dari urutan tahun yang mereka ciptakan. Misalnya, Ba’alwi  mencatat,  bahwa tahun hijrah Ahmad bin ‘Isa ke Hadramaut adalah tahun 317 Hijriah (Al Gurar h. 96), dan tahun wafatnya adalah tahun 345 Hijriah (Al Masyra’ al Rawi Juz 1 h. 249). Jika Ahmad bin ‘Isa, pada tahun 234 H. berumur 20 tahun, maka berarti ketika hijrah itu ia telah berumur  103 tahun, dan ketika wafat ia telah berumur 131 tahun. Sangat janggal, ada seseorang yang sudah tua renta yang berumur 103 tahun berpindah dari Basrah ke Hadramaut dengan jarak lebih dari 2000 km. seperti juga sangat kecil kemungkinan ada orang yang bisa mencapai usia 131 tahun. 

KESIMPULAN:  
TIDAK ADA KITAB-KITAB ABAD KEEMPAT SAMPAI KEDELAPAN YANG MENYATAKAN AHMAD BIN ISA PINDAH KE HADRAMAUT.

KRONOLOGI NARASI BA’ALWI BAHWA AHMAD BIN ISA HIJRAH DARI BASRAH KE YAMAN:

1) Mengira bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad al Naqib ada di Basrah. Padahal yang di Basrah itu adalah Ahmad bin Isa bin Zaid bukan Ahmad bin Isa bin Muhammad al Naqib.
2) Mendompleng sejarah Bani Ahdal yang disebut Al Janadi (w. 732 H.) dalam kitab Al Suluk bahwa leluhurnya yang bernama Muhammad bin Sulaiman berhijrah dari Irak ke Yaman  (Al Suluk juz 2 h. 360). lalu Ba’alwi menyatakan bahwa leluhur mereka Ahmad bin Isa ikut berhijrah ke Yaman bersama Muhammad bin Sulaiman itu.  
3) Dalam kitab  keluarga Ba’alwi Al Gurar (h. 98) karya Muhammad Ali Khirid (w. 960 H.)  dan kitab keluarga Al Ahdal yaitu Tuhfat al Zaman (juz 2 h. 238)  karya Husain Al Ahdal (w.855 H.) disebut antara Muhammad bin Sulaiman dan Ahmad bin Isa adalah saudara kandung atau saudara sepupu. Berarti ayah atau kakeknya harusnya sama. Tetapi hari ini silsilah Ba’alwi dan Al Ahdal berbeda beda. Ba’alwi menulis Alwi bin Ubed bin Ahmad bin Isa terus sampai ke Ali Al Uraidi; sedangkan Al Ahdal menulis silsilahnya Muhammad bin Sulaiman bin Ubed bin Isa bin  Alwi terus sampai ke Musa al Kadzim. Tidak ketemu satu kakek.bagaimana dua orang bersaudara garis laki tapi kakeknya tidak sama?

2. Adakah kitab abad keempat sampai abad ke delapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa bergelar Al Muhajir?

Tidak ada kitab abad ke-empat sampai kedelapan yang menyebut Ahmad bin Isa bergelar “Al Muhajir”. Gelar yang ditulis oleh kitab-kitab nasab untuk Ahmad bin Isa adalah “Al Abah” dan “Al Naffat”. penyebutan pertama dari keluarga Ba’alwi untuk Ahmad bin ‘Isa dengan sebutan “Al-muhajir” dilakukan oleh Ahmad bin Zein al-Habsyi (w.1144 H.) ulama abad ke duabelas Hijriah dalam kitab “Syarh al ‘Ainiyyah” (h.129)..  Jadi, gelar itu disematkan kepadanya setelah 799 tahun, dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin ‘Isa sampai wafatnya Ahmad bin Zein al-Habsy. 

Perhatikan redaksi Al-Ubaidili (w.437 H.) dalam kitab “Tahdzib al Ansab”  di bawah ini:

واحمد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي يلقب النفاط 

Terjemah:
“Dan Ahmad bin ‘Isa al-Naqib bin Muhammad bin ‘Ali al-Uraidi, diberi gelar ‘al-Naffat’” (Tahdzib al Ansab, h.176)

Perhatikan pula redaksi Al Umari (w.490 H.) dalam kitab “Al Majdi” di bawah ini:

وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد من الحسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي .

Terjemah:
“Dan Ahmad Abul Qasim al-Abh yang dikenal dengan “al-naffat” karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari Al-Hasan Abu Muhammad al-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya (Al-Hasan) wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia (Al-Hasan) anak dari Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa bin Muhammad (al-Naqib) bin (‘Ali) al-Uraidi.” (Al Majdi: 337)

3. Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan Hijriah yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa wafat dan dimakamkan di Hadramaut?

Tidak ada kitab sejarah dan kitab nasab yang menyatakan Ahmad bin Isa wafat dan dimakamkan di Hadramaut. Al-Janadi (w.732) dalam kitab Al Suluk tidak merekam adanya makam Ahmad bin ‘Isa, padahal ia sejarawan yang rajin mencatat nama-nama makam yang diziarahi dan dianggap berkah. Artinya pada tahun 732 H. itu, makam Ahmad bin ‘Isa belum dikenal (dibaca ‘tidak ada’) seperti saat ini. 

berita makam Ahmad bin Isa terdapat di Hadramaut itu baru dicatat abad kesepuluh oleh Bamakhramah (w.947 H.) dalam kitabnya “Qiladat al Nahar”. Bamakhramah pula menyebutkan bahwa makam itu diyakini ada di sana karena Abdurrahman Asegaf dulu berziarah di tempat itu berdasar cahaya yang terlihat memancar (Qiladat al Nahr, juz 2 h. 618). Jadi jelas makam yang sekarang dianggap makam Ahmad bin Isa itu adalah makam yang baru dibangun sekitar abad sembilan Hijriah.

وتوفي احمد المذكور بالحسيسة المذكورة وقبره في شعبها قال الخطيب وكان يرى عل الموضع الذي يشار اليه ان قبره الشريف فيه النور العظيم وكان شيخنا العارف بالله  عبد الرحمن بن الشيخ  محمد بن علي علوي يزوره في ذالك المكان 
Terjemah:
“Dan Ahmad tersebut wafat di Husaisah yang telah disebut. Dan makamnya di Syi’b Husaisah. Dilihat cahaya agung dari tempat yang diisyarahkan bahwa tempat itu adalah quburnya (Ahmad bin ‘Isa) yang mulia. Dan guru kami, Al-Arif Billah Abdurrahman bin Syekh  Muhammad bin ‘Ali Alwi,  berziarah ditempat itu.”  (Qiladat al Nahr: juz 2 h. 681)

4. Adakah kitab abad keempat sampai kedelapan  Hijriah yang menyatakan bahwa Ubaidillah adalah salah satu anak dari Ahmad bin Isa?

Ahmad bin ‘Isa (w. 345 H.(?) dalam catatan kitab-kitab nasab yang paling dekat masanya dengannya, tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah.  Adapun kitab-kitab yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin ‘Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah/Abdullah adalah: 

 Pertama, Kitab Tahdib al- Ansab wa Nihayat al-Alqab  yang dikarang Al-Ubaidili (w.437 H.). Ketika ia  menyebut  keturunan ‘Ali al- Uraidi, Al-Ubaidili tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin ‘Isa.  Ia hanya menyebutkan satu anak dari Ahmad bin ‘Isa, yaitu Muhammad. Kutipan dari kitab tersebut seperti berikut ini:

واحمد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي يلقب النفاط من ولده ابو جعفر (الاعمى) محمد بن علي بن محمد بن أحمد ، عمي في آخر عمره وانحدر الى البصرة واقام بها ومات بها وله اولاد وأخوه بالجبل له اولاد. 
Terjemah:
“Dan Ahmad bin ‘Isa al-Naqib bin Muhammad bin ‘Ali al-Uraidi,  diberikan gelar Al-Naffat, sebagian dari keturunannya adalah Abu Ja’far (al-A’ma: yang buta) Muhammad bin ‘Ali bn Muhammad bin Ahmad, ia buta di akhir hayatnya, ia pergi ke Basrah menetap dan wafat di sana. Dan ia mempunyai anak. Saudaranya di Al-Jabal (gunung) juga mempunyai anak.” (Tahdzib al Ansab, h. 176)
 
Kedua, Kitab Al-Majdi fi Ansab al-Talibiyin  karya Sayyid Syarif Najmuddin ‘Ali bin Muhammad al-Umari al-Nassabah ) (w.490 H.). dalam kitab itu ia menyebutkan,  bahwa di antara keturunan  Ahmad bin ‘Isa ada di Bagdad,  yaitu dari Al-Hasan Abu Muhammad al-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa. Sama seperti Al-Ubaidili, Al-Umari hanya menyebutkan satu anak saja dari Ahmad bin ‘Isa. Kutipan lengkapnya seperti di bawah ini:

وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد من الحسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي. 
Terjemah:
“Dan Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan “al-Naffat” karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia anak dari Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa bin Muhammad (an-Naqib) bin (‘Ali) al-Uraidi.” (Al Majdi, h. 377)

Ketiga, Kitab  Muntaqilat al- Talibiyah  karya Abu Ismail Ibrahim  bin Nasir ibnu Tobatoba (w.400 an H.), yaitu sebuah kitab yang menerangkan tentang daerah-daerah lokasi perpindahan para keturunan Abi Talib. Dalam kitab itu disebutkan,  bahwa keturunan Abi Talib yang ada di Roy adalah Muhammad bin Ahmad al-Naffat. 

(بالري) محمد بن احمد النفاط ابن عيسى بن محمد الاكبر ابن علي العريضي عقبه محمد وعلي والحسين.
Terjemah:
“Di Kota Roy, (ada keturunan Abu Talib bernama) Muhammad bin Ahmad an-Naffat bin ‘Isa bin Muhammad al-Akbar bin ‘Ali al-Uraidi. Keturunannya (Muhammad bin Ahmad) ada tiga: Muhammad, ‘Ali dan Husain.” (Muntaqilat al Talibiyah, h.160)
  
Kitab Al-Syajarah al-Mubarakah  karya Imam Al-Fakhrurazi (w.606 H.), kitab itu selesai ditulis pada tahun 597 Hijriah, dalam kitab itu Imam Al-Fakhrurazi  menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin ‘Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:

أما أحمد الابح فعقبه من ثلاثة بنين: محمد ابو جعفر بالري، وعلي بالرملة، وحسين عقبه بنيسابور.

Terjemah:
“Adapun Ahmad al-Abh,  maka anaknya yang berketurunan ada tiga: Muhammad Abu ja’far yang berada di kota Roy, ‘Ali yang berada di Ramallah, dan Husain yang keturunanya ada di Na’Isaburi.” (Al Syajarah al Mubarakah, h. 111)

Dari kutipan di atas,  Imam Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin ‘Isa  keturunannya hanya dari   tiga anak,  yaitu:  Muhammad, ‘Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Ubaidilah atau Abdullah, baik yang berketurunan, maupun tidak.. Ia menyebutkan jumlah anak Ahmad bin ‘Isa dengan menggunakan  “jumlah ismiyah” (proposisi dalam Bahasa Arab yang disusun menggunakan kalimat isim  atau kata benda) yang menunjukan “hasr” (terbatas hanya pada yang disebutkan). Para ahli nasab mempunyai kaidah-kaidah khusus dalam ilmu nasab, diantaranya, jika menulis dengan “jumlah fi’liyah”  (proposisi Bahasa Arab yang disusun dengan menggunakan kalimat fi’il atau kata kerja) misalnya dengan lafadz    أَعْقَبَ من ثلاثة (ia berketurunan  dari tiga anak), maka maksudnya jumlah anak yang dipunyai tidak terbatas kepada  bilangan yag disebutkan, masih ada anak yang tidak disebutkan karena suatu hal. Tetapi jika menggunakan “jumlah ismiyah” seperti kalimat kitab Al-Syajarah al-Mubarakah itu, maka maksudnya adalah jumlah anak yang berketurunan hanya terbatas kepada bilangan yang disebutkan. Syekh Mahdi al-Raja’iy dalam kitabnya Al-Mu’qibun mengatakan:

ومن ذالك اذا قالوا غقبه من فلان او العقب من فلان فانه يدل على ان عقبه منحصر فيه وقولهم أعقب من فلان فان يدل على ان عقبه ليس بمنحصر فيه
Terjemah:
“Dan sebagian dari istilah para ahli nasab adalah apabila mereka berkata ‘’aqibuhu min fulan’ (keturunannya dari si fulan) atau ‘al-‘al-aqbu min fulan’ (keturunan(nya) dari si fulan) maka itu menunjukan bahwa bahwa anaknya yang berketurunan terbatas kepada anak  itu; dan ucapan ahli nasab ‘a’qoba min fulan’ maka itu menunjukan bahwa sesungguhnya anaknya yang berketurunan tidak terbatas pada anak (yang disebutkan) itu.” (Al Mu’qibun, h. 14)

Imam al-Fakhrurazi, penulis kitab Al-Syajarah al-Mubarokah  tinggal di Kota Roy, Iran, di mana di sana banyak keturunan Ahmad bin ‘Isa dari jalur Muhammad Abu Ja’far, tentunya informasi tentang berapa anak yang dimiliki oleh Ahmad bin ‘Isa,  ia dapatkan secara valid dari keturunan Ahmad yang tinggal di Kota Roy. Sampai pengarang kitab ini wafat tahun 606 Hijriah, sudah 261 tahun dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin ‘Isa, tidak ada riwayat, tidak ada kisah, tidak ada kabar bahwa Ahmad bin ‘Isa pernah punya anak yang bernama Ubaidillah dan cucu yang bernama Alwi. 

Kitab Al-Fakhri  fi Ansabitalibin  karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (w.614 H.) menyebutkan yang sama seperti kitab-kitab abad kelima, yaitu hanya menyebutkan satu jalur keturunan Ahmad bin ‘Isa yaitu dari jalur Muhammad bin Ahmad bin ‘Isa. Adapun kutipan lengkapnya adalah:

منهم أبو جعفر الاعمى محمد بن علي بن محمد بن احمد الابح له اولاد بالبصرة واخوه في الجبل بقم له اولاد
Terjemah:
“Sebagian dari mereka (keturunan ‘Isa al-Naqib) adalah Abu Ja’far al-a’ma (yang buta) Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Abh, ia punya anak di Basrah, dan saudaranya di ‘Al Jabal” di Kota Qum, ia punya anak.” (Al Fakhri, h. 30)

Kitab Al-Asili fi Ansabittholibiyin  karya Shofiyuddin Muhammad ibnu al-Toqtoqi al-Hasani (w.709 H.) menyebutkan satu sampel jalur keturunan Ahmad bin ‘Isa yaitu melalui anaknya yang bernama Muhammad bin Ahmad  bin ‘Isa. Kutipan lengkapnya seperti berikut ini: 

ومن عقب أحمد بن عيسى النقيب الحسن بن ابي سهل أحمد بن علي بن ابي جعفر محمد بن أحمد 
Terjemah:
“Dan dari keturunan Ahmad bin ‘Isa an-Naqib adalah al-Hasan bin Abi Sahal Ahmad bin ‘Ali bin Abi Ja’far Muhammad bin Ahmad.” (Al Ashili, 212)

Kitab Al-Sabat al Musan  karya Ibn al- A’raj al-Husaini (w.787 H.) ia mengatakan bahwa sebagian anak Ahmad bin ‘Isa adalah Muhammad. Ia tidak menyebut ada anak Ahmad bin ‘Isa yang bernama Ubaidillah atau Abdullah. Lihat kutipan di bawah ini:

واما احمد  فأعقب وكان من ولده ابو محمد الحسن الدلال ببغداد رآه شيخنا العمري ببغداد وهو مات بأخره ببغداد وهو بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى الرومي وكان له اولاد منهم ابو القاسم احمد الاشج المعروف بالنفاط...
Terjemah:
“Dan adapun Ahmad, maka ia berketurunan dan dari keturunannya adalah Abu Muhammad al Hasan al-Dallal di Bagdad, guruku al-Umari melihatnya di Bagdad, dan ia meninggal di Bagdad, ia adalah putra Muhammad bin ‘Ali bin

Kamis, 29 Agustus 2024

BUKAN MENANGGAPI TAPI SEKEDAR INFORMASI, KALAU LORA ISMAEL SUDAH KEHABISAN AMUNISI


Oleh : Mohammad Yasin al Branangiy al Liqo'iy

Setelah penulis menjabarkan persoalan yang berkaitan dengan nasab Sidogiri yang di Ba Alwiykan, perlu disampaikan bahwa seperti itulah cara yang dilakukan oleh klan Ba Alwiy dalam merekayasa nasab.

Nasab yang bisa berpotensi menguatkan silsilah nasab ba alwiy, akan digandeng oleh mereka.

Habib Ahmad bin Abdullah, W 1369 H (salah satu pendiri Robithoh Alawiyah) dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka (pejuang kemerdekaan) serta para ulama nusantara yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, 

Saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah (yang direkayasa menjadi Ba Alwiy). Salah satunya adalah Trah Sidogiri dan Sumendi Pasuruan.

Kitab ini sejatinya dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah, namun isinya sarat dengan kebohongan untuk membelokkan 300 jalur nasab para pejuang dan ulama' nusantara, sehingga menjadi keturunan Ubaidillah.

Analisa penulis tentu bukan yang paling benar, namun hal ini pantas untuk ditelusuri lebih dalam dan komprehensif (menyeluruh) agar dapat di jadikan rujukan oleh semua kalangan.

Dalam kesempatan kali ini, Penulis akan sedikit mengomentari tentang postingan terbaru Muhammad Ismael Al Kholilie pada 26 Agustus 2024, dengan judul :

"Masih banyak PR buat Kiai Imad sebelum maju ke diskusi nasab ( jawaban atas tulisan bantahan Kiai Imad )"

Isi postingan tersebut sama sekali tidak menampilkan argumen baru, hanya mengulang saja.

Lora Ismael mengatakan :

"Syuhroh wal istifadhoh” adalah “point” yang sejak dulu berusaha digempur sekuat tenaga oleh Kiai Imad, sangat wajar sekali karena reputasi dan keviralan Ba’aalwi sejak - ratusan tahun yang lalu - telah diakui oleh ulama-ulama sekaliber Syaikh Murtadha Azzabidi, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Sakhawi, bahkan para ulama pakar nasab yang “dulu” menjadi rujukan utama Kiai Imad seperti Sayyid Mahdi Raja’i, Syaikh Khalil Ibrahim dan Syaikh Ibrahim Mansour Al-Hasyimi."

KOMENTAR PENULIS :

Lora Ismael lagi-lagi mengitsbat nasab ba alwiy dengan metode Syuhroh Istifadloh (populer dan Viral).

Itsbat ini tidak SAH/tidak SHOHEH, karena populer dan viral yang dikatakan Lora Ismael itu terjadinya di abad 9, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 saat ini.

Sedangkan Populer dan Viral nasab ba alwiy (nama Ubaidillah) tidak ditemukan di abad 4, 5, 6, 7 dan 8 H. Temuan ini menunjukan bahwa itsbat nasab tidak pernah terwujud, jangankan dengan metode Populer dan Viral, catatan di kitab saja tidak ada.

Menerapkan metode Populer dan Viral (Syuhroh Istifadloh) sangat sulit diterapkan pada sebuah nasab, karena metode ini menggunakan SUBJEK PENDENGARAN (bi as sam'i) terhadap OBJEK YANG SE ZAMAN.

Dua metode itsbat nasab ;
1. populer/viral dan 
2. kitab sezaman/kitab yang mendekatinya
yang digaungkan terjadi di belakang hari (abad 9, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 saat ini), ini metode yang mustahil terjadi dan tidak logis untuk dibenarkan. 

Karena tidak mungkin bagi siapapun mampu mengetahui informasi tentang orang yang hidup 550 tahun lalu, apalagi lebih lama, tanpa bantuan adanya dokumen/catatan.

Dan inilah fakta yang terjadi pada nasab Ubaidillah Ba Alwiy. Kosong riwayat selama 550 tahun.

Berulang kali penulis ungkapkan, bisa saja metode populer dan viral diakui, namun populer dan viral yang terjadi di masa lalu (abad 4 s/d 8) dan itupun (populer dan viral) dapat kita ketahui dengan adanya catatan/kitab sezaman, itu artinya metode itsbatnya bukan lagi populer dan viral, tapi metode kitab se zaman.

Penulis sampaikan, bahwa nasab ba alwiy ini tidak perlu dibatalkan, apalagi dengan sebuah kitab seperti asy Syajaroh al Mubarokah karya Fakhrur Rozi abad 6. (namun batal dengan sendirinya, karena memang tidak pernah ada itsbat yang sah/shoheh).

KH. Imaduddin memang membatalkan nasab ba alwiy, dengan ;
1. kitab asy Syajaroh al Mubarokah, karena nama Ubaidillah tidak disebut dalam hasr keturunan Ahmad bin Isa, yang hanya menyebut 3 anak (Muhammad, Ali dan Husain)
2. temuan 550 tahun nama ubaidillah tidak tercatat

Penulis sendiri tidak membatalkan, tapi lebih menekankan pada TIDAK SAHNYA ITSBAT NASAB BA ALWIY, karena tidak ditemukannya populer viral ataupun kitab sezaman di masa hidup Ubaidilah sampai 550 tahun. (barulah dikarang/direkayasa oleh ali asy syakron abad 9).

Dalam kitab Al Bahrul Muhith  j.6/32, disebutkan ;
النافي هل يلزمه الدليل؟
المثبت للحكم يحتاج للدليل بلا خلاف
Artinya : "dalam hal menafikan, apakah diharuskan ada dalil? 
dalam hal menetapkan hukum diharuskan memiliki dalil, tanpa adanya perbedaan pendapat (di antara para ulama)".
ولا يجوز نفي الحكم الا بالدليل كما لا يجوز اثباته
Artinya : "Tidak boleh menafikan hukum kecuali menggunakan dalil, sebagaimana tidak boleh menetapkannya (menetapkan hukum tanpa dalil)".

Kalau tidak pernah disahkan, lalu buat apa dibatalkan.
Sebagaimana sholat orang yang tidak wudlu, Sholatnya sudah tidak sah tanpa perlu datang sesuatu yang membatalkan sholat.

Yang menarik di sini adalah Lora Ismael merasa punya angin segar, berupa kesempatan mematahkan argumen pembatalan yang dilakukan oleh KH. Imaduddin dengan menggunakan kitab asy Syajaroh al Mubarokah. Sekalipun Lora berhasil,  namun Lora melupakan EXISTENSI dari nama Ubaidillah yang kosong riwayat selama 550 tahun. padahal ini lah substansi persoalannya.

Lora Ismael hanya memiliki satu peluang, yaitu mengitsbat nasab ba alwiy dengan metode kitab sezaman atau yang mendekatinya. bukan metode populer viral ataupun 5 metode yang lain. JUST ONE...

Lora Ismael mengutip kalimat Syekh Kholil Ibrohim :
الاصول هي ما تم الاتفاق عليه وتسالم عليه اهل النسب مثلا انتساب ابي بكر الصديق لبني تيم بن مرة اخو كعب بن مرة جد رسول الله صلى الله عليه وسلم  هذا مسلم به ..فاذا وجدنا كتابا في زمان لاحق ينسب ابي بكر لبني تميم لا ناخذ به
“ Ushul adalah sebuah informasi yang telah disepakati oleh para ulama nasab, misal bernasabnya Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq kepada Bani Taim Bin Murroh, maka andaikan ada kitab yang menyatakan bahwa beliau bernasab kepada Bani Tamim kita tidak bisa membenarkannya “ 

KOMENTAR PENULIS :

Informasi mana yang katanya disepakati oleh ulama' nasab tentang nama Ubaidillah???

Sudah penulis jabarkan di atas, jangankan kesepakatan, satu catatanpun tidak ditemukan atas nama Ubaidillah. Dan itu berlangsung selama 550 tahun.

Yang lebih mengherankan lagi, dari sisi mana Syekh Kholil Ibrohim menyamakan nasab ABU BAKAR ASH SHIDDIQ bani Tamim (yang telah nyata populer dan viral pada masanya) dengan UBAIDILLAH anak AHMAD bin ISA???

Ubaidillah ini manusia apa? jangankan wujud dan kiprahnya ditengah masyarakat, nama saja tidak ada yang menyebutkan.

Lora Ismael dan Syekh Kholil Ibrohim membohongi ummat dengan menyamakan nama fiktif Ubaidillah dengan tokoh besar yang populer dan viral sebagai bani tamim dan shohabat Rosululloh SAW.

Lora Ismael mengatakan : 

"Teori dasar ilmu nasab yang selama ini ditabrak oleh Kiai Imad adalah : tidak disebutnya suatu nama dalam sebuah kitab tertentu bukan berarti menafikan, kaidah ini disebutkan dalam kitab Muqaddimat Ilmil Ansab yang sering dijadikan hujjah oleh Kiai Imad selama ini :
ان ما اثبته كتاب الانساب القدامى فهو حجة يمكن العمل به ومالم يثبتوه يعمل فيه بالقرائن ولا موجب للالتزام بنفيهم بعد العلم بمصادر تدوينهم لان عدم الوجدان  لايعني العدم
“ apa yang ditetapkan oleh kitab-kitab nasab kuno adalah hujjah yang bisa kita amalkan, sedangkan yang belum ditetapkan/disebutkan maka kita melihat “Qarain” ( data-data yang lain ) dan tidak adanya penyebutan bukan berarti menafikan, karena tidak ditemukan bukan berarti tidak ada “ 

KOMENTAR PENULIS : 

Penulis terjemah ulang, supaya penulis mudah menjabatkannya :

"apa yang ditetapkan (dicatat) oleh sebuah kitab nasab kuno adalah hujjah (dalil) yang bisa diberlakukan. Sedangkan yang belum ditetapkan (dicatat),  maka diberlakukan berdasarkan Qarain (manuskrip, catatan keluarga atau petunjuk lain). dan tidak harus berkomitmen pada apa yang mereka (ulama' nasab) nafikan setelah mengetahui sumber data mereka. Karena tidak ditemukan bukan berarti tidak ada “

Dalam kutipan tadi, Lora Ismael sama sekali tidak menjelaskan QORO'IN (manuskrip, catatan keluarga atau petunjuk lain) yang bisa membuktikan bahwa Ali asy Syakron dalam kitab al Burqoh al Musyiqoh (895 H) tidak sekedar MEMBUAL ketika menyebut nama Ubaidillah. 
Sederhananya ; Qoro'in atau dalil apa yg dimiliki asy Syakron kok berani menetapkan Ubaidillah anak dari Ahmad bin Isa???

Sementara tidak ditemukan buku nasab abad 4 s/d 8 yang menyebut nasab itu (Ubaidillah anak dari Ahmad bin Isa). Dan tidak ada buku sejarah mu'tabar yang meriwayatkan tentang perpindahan Ahmad ke Yaman.

Lalu ketika kita menghubungkan kondisi Ubaidillah yang tidak disebut oleh kitab kuno, maka Syekh Kholil memberi peluang dengan mengatakan : 
ومالم يثبتوه يعمل فيه بالقرائن
"Sesuatu yang belum ditetapkan maka diberlakukan berdasarkan QORO'IN"

Qoro'in seperti apa yang mampu Lora Ismael sajikan dari abad 4 s/d 8?

Kalau boleh penulis jawab, beliau tidak akan mampu menghadirkan Qoro'in nasab Ubaidillah ba alwiy

Lora Ismael mengatakan : 

".... bukan syarat sumber sezaman yang tak pernah disyaratkan oleh para ulama nasab manapun itu, salah seorang Kiai pakar nasab dari kalangan kami Dzurriah Walisongo bahkan mengatakan itu adalah “syarat konyol”, sebagian Kiai - juga dari Dzurriah Walisongo yang saya tanya berkomentar :

“ syarat Kiai Imad ini andai diterapkan untuk mengitsbat nasab, bukan cuma Ba’alawi yang kena, kita semua juga akan kena “ 

KOMENTAR PENULIS : 

Lora Ismael sepaham dengan salah satu pakar nasab dari dzurriyah wali songo dalam beranggapan "Syarat Kitab Sezaman adalah SYARAT KONYOL"

Kalau bukan kitab Sezaman (kitab, manuskrip dan catatan keluarga) atau yang mendekatinya, lalu dengan apa mahu mengitsbat nasab Ubaidillah???

Mahu mengitsbat dengan Populer Viral lagi, apa anda bisa mendengar kepopuleran orang yang hidup 1100 tahun lalu???!!! Jangan berhayal atau mencoba untuk bermimpi.

Satu-satunya yang bisa di terapkan pada nasab ba alwiy hanya metode kitab sezaman/mendekati.

Lora Ismael mengatakan : 
Padahal orang yang dia salahkan lebih luas ilmu nahwunya dan sudah hafal Alfiah diluar kepala. Kalian tau ? dalam ilmu nasab Kiai Imad sama persis seperti “anak Jurumiah” itu, baru hafal beberapa Kaidah ilmu nasab aja tapi udah “petentang-petenteng” kesana-kemari bahkan menyalahkan dan nantangin semua ulama pakar nasab dunia yang tidak sependapat dengannya.

KOMENTAR PENULIS :

Siapapun orangnya seluas apapun pengetahuannya, tapi dia mengitsbat nasab ba alwiy dengan kitab abad 9 s/d 15, maka tetap saja itsbatnya SALAH, 

Dan ternyata Kiai Imaduddin telah salah menilai Lora Ismael, sang Lora belum faham cara mengitsbat suatu nasab.

Kiai Imaduddin jauh lebih baik dari anda, beliau mampu mengurai nasab kusut ba alwiy, sehingga saat ini telah terang benderang sebagai basab palsu. Sedangkan anda apa? anda tidak bisa mematahkan narasi keterputusan nasab ba alwiy.

Kalau gengsi menyebut karya Ilmiyah Kiai Imaduddin sebagai tesis, sehingga menurut anda tidak perlu dibuatkan antitesisnya, maka penulis sarankan, silahkan anda membuat TESIS ITSBAT NASAB BA ALWIY, kalau memang anda merasa mampu?!

Jangankan membuat tesis, metode Istbat nasab saja anda belum mengerti. Penulis jadi tidak optimis menunggu tesis anda.

Kiai Imaduddin tidak seperti yang Lora katakan. Yang "petentang-petenteng" itu kebanyakan mereka para ba alwiy, mereka sombong dengan nasab. Seperti Lora tidak tahu saja!

Lora Ismael mengatakan : 
Padahal orang yang dia salahkan lebih luas ilmu nahwunya dan sudah hafal Alfiah diluar kepala. Kalian tau ? dalam ilmu nasab Kiai Imad sama persis seperti “anak Jurumiah” itu, baru hafal beberapa Kaidah ilmu nasab aja tapi udah “petentang-petenteng” kesana-kemari bahkan menyalahkan dan nantangin semua ulama pakar nasab dunia yang tidak sependapat dengannya.

KOMENTAR PENULIS :

Siapapun orangnya seluas apapun pengetahuannya, tapi dia mengitsbat nasab ba alwiy dengan kitab abad 9 s/d 15, maka tetap saja itsbatnya SALAH, 

Dan ternyata Kiai Imaduddin telah salah menilai Lora Ismael, sang Lora belum faham cara mengitsbat suatu nasab.

Kiai Imaduddin jauh lebih baik dari anda, beliau mampu mengurai nasab kusut ba alwiy, sehingga saat ini telah terang benderang sebagai basab palsu. Sedangkan anda apa? anda tidak bisa mematahkan narasi keterputusan nasab ba alwiy.

Kalau gengsi menyebut karya Ilmiyah Kiai Imaduddin sebagai tesis, sehingga menurut anda tidak perlu dibuatkan antitesisnya, maka penulis sarankan, silahkan anda membuat TESIS ITSBAT NASAB BA ALWIY, kalau memang anda merasa mampu?!

Jangankan membuat tesis, metode Istbat nasab saja anda belum mengerti. Penulis jadi tidak optimis menunggu tesis anda.

Kiai Imaduddin tidak seperti yang Lora katakan. Yang "petentang-petenteng" itu kebanyakan mereka para ba alwiy, mereka sombong dengan nasab. Seperti Lora tidak tahu saja!

Kiai Imaduddin hanya ngin menjelaskan bahwa nasab ba alwiy MUSTAHIL diitsbat sebagai dzurriyah oleh pakar nasab manapun dengan metode yang benar.

Pada 2 paragraf terakhir, Lora memberi masukan tentang bagaimana seharusnya diskusi nasab dilakukan.

KOMENTAR PENULIS :

itu baru seperti bijak, gitu dong. Jangan seperti postingan yang lalu. Anda mengatakan Kiai Imaduddin tidak pantas berdebat dengan ulama' dunia, takut mempermalukan ulama' indonesia.

Statmen macam apa ini?!

Semoga pada tanggal 10 September Ribithoh bersedia hadir, walau hanya wakil di UIN Wali Songo Semarang.

Kalau tidak, maka Robithoh sudah absen sebanyak 6 kali dalam tantangan debat, dan pantas mendapatkan gelar : "AL KABURIYAH AL NGENYONGIYAH"