MUTIARA ILMU

Kamis, 29 Agustus 2024

BUKAN MENANGGAPI TAPI SEKEDAR INFORMASI, KALAU LORA ISMAEL SUDAH KEHABISAN AMUNISI


Oleh : Mohammad Yasin al Branangiy al Liqo'iy

Setelah penulis menjabarkan persoalan yang berkaitan dengan nasab Sidogiri yang di Ba Alwiykan, perlu disampaikan bahwa seperti itulah cara yang dilakukan oleh klan Ba Alwiy dalam merekayasa nasab.

Nasab yang bisa berpotensi menguatkan silsilah nasab ba alwiy, akan digandeng oleh mereka.

Habib Ahmad bin Abdullah, W 1369 H (salah satu pendiri Robithoh Alawiyah) dalam kitab Khidmatul Asyirah menambahkan catatan beberapa orang yang terkemuka (pejuang kemerdekaan) serta para ulama nusantara yang hidup sekitar tahun 1307-1365 H, 

Saat menulis kitab ini sekitar tahun 1363 Habib Ahmad menghitung terdapat lebih dari 300 qabilah (yang direkayasa menjadi Ba Alwiy). Salah satunya adalah Trah Sidogiri dan Sumendi Pasuruan.

Kitab ini sejatinya dibuat sebagai ringkasan dari kitab Syams Azh-Zhahirah, namun isinya sarat dengan kebohongan untuk membelokkan 300 jalur nasab para pejuang dan ulama' nusantara, sehingga menjadi keturunan Ubaidillah.

Analisa penulis tentu bukan yang paling benar, namun hal ini pantas untuk ditelusuri lebih dalam dan komprehensif (menyeluruh) agar dapat di jadikan rujukan oleh semua kalangan.

Dalam kesempatan kali ini, Penulis akan sedikit mengomentari tentang postingan terbaru Muhammad Ismael Al Kholilie pada 26 Agustus 2024, dengan judul :

"Masih banyak PR buat Kiai Imad sebelum maju ke diskusi nasab ( jawaban atas tulisan bantahan Kiai Imad )"

Isi postingan tersebut sama sekali tidak menampilkan argumen baru, hanya mengulang saja.

Lora Ismael mengatakan :

"Syuhroh wal istifadhoh” adalah “point” yang sejak dulu berusaha digempur sekuat tenaga oleh Kiai Imad, sangat wajar sekali karena reputasi dan keviralan Ba’aalwi sejak - ratusan tahun yang lalu - telah diakui oleh ulama-ulama sekaliber Syaikh Murtadha Azzabidi, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Imam Sakhawi, bahkan para ulama pakar nasab yang “dulu” menjadi rujukan utama Kiai Imad seperti Sayyid Mahdi Raja’i, Syaikh Khalil Ibrahim dan Syaikh Ibrahim Mansour Al-Hasyimi."

KOMENTAR PENULIS :

Lora Ismael lagi-lagi mengitsbat nasab ba alwiy dengan metode Syuhroh Istifadloh (populer dan Viral).

Itsbat ini tidak SAH/tidak SHOHEH, karena populer dan viral yang dikatakan Lora Ismael itu terjadinya di abad 9, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 saat ini.

Sedangkan Populer dan Viral nasab ba alwiy (nama Ubaidillah) tidak ditemukan di abad 4, 5, 6, 7 dan 8 H. Temuan ini menunjukan bahwa itsbat nasab tidak pernah terwujud, jangankan dengan metode Populer dan Viral, catatan di kitab saja tidak ada.

Menerapkan metode Populer dan Viral (Syuhroh Istifadloh) sangat sulit diterapkan pada sebuah nasab, karena metode ini menggunakan SUBJEK PENDENGARAN (bi as sam'i) terhadap OBJEK YANG SE ZAMAN.

Dua metode itsbat nasab ;
1. populer/viral dan 
2. kitab sezaman/kitab yang mendekatinya
yang digaungkan terjadi di belakang hari (abad 9, 10, 11, 12, 13, 14 dan 15 saat ini), ini metode yang mustahil terjadi dan tidak logis untuk dibenarkan. 

Karena tidak mungkin bagi siapapun mampu mengetahui informasi tentang orang yang hidup 550 tahun lalu, apalagi lebih lama, tanpa bantuan adanya dokumen/catatan.

Dan inilah fakta yang terjadi pada nasab Ubaidillah Ba Alwiy. Kosong riwayat selama 550 tahun.

Berulang kali penulis ungkapkan, bisa saja metode populer dan viral diakui, namun populer dan viral yang terjadi di masa lalu (abad 4 s/d 8) dan itupun (populer dan viral) dapat kita ketahui dengan adanya catatan/kitab sezaman, itu artinya metode itsbatnya bukan lagi populer dan viral, tapi metode kitab se zaman.

Penulis sampaikan, bahwa nasab ba alwiy ini tidak perlu dibatalkan, apalagi dengan sebuah kitab seperti asy Syajaroh al Mubarokah karya Fakhrur Rozi abad 6. (namun batal dengan sendirinya, karena memang tidak pernah ada itsbat yang sah/shoheh).

KH. Imaduddin memang membatalkan nasab ba alwiy, dengan ;
1. kitab asy Syajaroh al Mubarokah, karena nama Ubaidillah tidak disebut dalam hasr keturunan Ahmad bin Isa, yang hanya menyebut 3 anak (Muhammad, Ali dan Husain)
2. temuan 550 tahun nama ubaidillah tidak tercatat

Penulis sendiri tidak membatalkan, tapi lebih menekankan pada TIDAK SAHNYA ITSBAT NASAB BA ALWIY, karena tidak ditemukannya populer viral ataupun kitab sezaman di masa hidup Ubaidilah sampai 550 tahun. (barulah dikarang/direkayasa oleh ali asy syakron abad 9).

Dalam kitab Al Bahrul Muhith  j.6/32, disebutkan ;
النافي هل يلزمه الدليل؟
المثبت للحكم يحتاج للدليل بلا خلاف
Artinya : "dalam hal menafikan, apakah diharuskan ada dalil? 
dalam hal menetapkan hukum diharuskan memiliki dalil, tanpa adanya perbedaan pendapat (di antara para ulama)".
ولا يجوز نفي الحكم الا بالدليل كما لا يجوز اثباته
Artinya : "Tidak boleh menafikan hukum kecuali menggunakan dalil, sebagaimana tidak boleh menetapkannya (menetapkan hukum tanpa dalil)".

Kalau tidak pernah disahkan, lalu buat apa dibatalkan.
Sebagaimana sholat orang yang tidak wudlu, Sholatnya sudah tidak sah tanpa perlu datang sesuatu yang membatalkan sholat.

Yang menarik di sini adalah Lora Ismael merasa punya angin segar, berupa kesempatan mematahkan argumen pembatalan yang dilakukan oleh KH. Imaduddin dengan menggunakan kitab asy Syajaroh al Mubarokah. Sekalipun Lora berhasil,  namun Lora melupakan EXISTENSI dari nama Ubaidillah yang kosong riwayat selama 550 tahun. padahal ini lah substansi persoalannya.

Lora Ismael hanya memiliki satu peluang, yaitu mengitsbat nasab ba alwiy dengan metode kitab sezaman atau yang mendekatinya. bukan metode populer viral ataupun 5 metode yang lain. JUST ONE...

Lora Ismael mengutip kalimat Syekh Kholil Ibrohim :
الاصول هي ما تم الاتفاق عليه وتسالم عليه اهل النسب مثلا انتساب ابي بكر الصديق لبني تيم بن مرة اخو كعب بن مرة جد رسول الله صلى الله عليه وسلم  هذا مسلم به ..فاذا وجدنا كتابا في زمان لاحق ينسب ابي بكر لبني تميم لا ناخذ به
“ Ushul adalah sebuah informasi yang telah disepakati oleh para ulama nasab, misal bernasabnya Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq kepada Bani Taim Bin Murroh, maka andaikan ada kitab yang menyatakan bahwa beliau bernasab kepada Bani Tamim kita tidak bisa membenarkannya “ 

KOMENTAR PENULIS :

Informasi mana yang katanya disepakati oleh ulama' nasab tentang nama Ubaidillah???

Sudah penulis jabarkan di atas, jangankan kesepakatan, satu catatanpun tidak ditemukan atas nama Ubaidillah. Dan itu berlangsung selama 550 tahun.

Yang lebih mengherankan lagi, dari sisi mana Syekh Kholil Ibrohim menyamakan nasab ABU BAKAR ASH SHIDDIQ bani Tamim (yang telah nyata populer dan viral pada masanya) dengan UBAIDILLAH anak AHMAD bin ISA???

Ubaidillah ini manusia apa? jangankan wujud dan kiprahnya ditengah masyarakat, nama saja tidak ada yang menyebutkan.

Lora Ismael dan Syekh Kholil Ibrohim membohongi ummat dengan menyamakan nama fiktif Ubaidillah dengan tokoh besar yang populer dan viral sebagai bani tamim dan shohabat Rosululloh SAW.

Lora Ismael mengatakan : 

"Teori dasar ilmu nasab yang selama ini ditabrak oleh Kiai Imad adalah : tidak disebutnya suatu nama dalam sebuah kitab tertentu bukan berarti menafikan, kaidah ini disebutkan dalam kitab Muqaddimat Ilmil Ansab yang sering dijadikan hujjah oleh Kiai Imad selama ini :
ان ما اثبته كتاب الانساب القدامى فهو حجة يمكن العمل به ومالم يثبتوه يعمل فيه بالقرائن ولا موجب للالتزام بنفيهم بعد العلم بمصادر تدوينهم لان عدم الوجدان  لايعني العدم
“ apa yang ditetapkan oleh kitab-kitab nasab kuno adalah hujjah yang bisa kita amalkan, sedangkan yang belum ditetapkan/disebutkan maka kita melihat “Qarain” ( data-data yang lain ) dan tidak adanya penyebutan bukan berarti menafikan, karena tidak ditemukan bukan berarti tidak ada “ 

KOMENTAR PENULIS : 

Penulis terjemah ulang, supaya penulis mudah menjabatkannya :

"apa yang ditetapkan (dicatat) oleh sebuah kitab nasab kuno adalah hujjah (dalil) yang bisa diberlakukan. Sedangkan yang belum ditetapkan (dicatat),  maka diberlakukan berdasarkan Qarain (manuskrip, catatan keluarga atau petunjuk lain). dan tidak harus berkomitmen pada apa yang mereka (ulama' nasab) nafikan setelah mengetahui sumber data mereka. Karena tidak ditemukan bukan berarti tidak ada “

Dalam kutipan tadi, Lora Ismael sama sekali tidak menjelaskan QORO'IN (manuskrip, catatan keluarga atau petunjuk lain) yang bisa membuktikan bahwa Ali asy Syakron dalam kitab al Burqoh al Musyiqoh (895 H) tidak sekedar MEMBUAL ketika menyebut nama Ubaidillah. 
Sederhananya ; Qoro'in atau dalil apa yg dimiliki asy Syakron kok berani menetapkan Ubaidillah anak dari Ahmad bin Isa???

Sementara tidak ditemukan buku nasab abad 4 s/d 8 yang menyebut nasab itu (Ubaidillah anak dari Ahmad bin Isa). Dan tidak ada buku sejarah mu'tabar yang meriwayatkan tentang perpindahan Ahmad ke Yaman.

Lalu ketika kita menghubungkan kondisi Ubaidillah yang tidak disebut oleh kitab kuno, maka Syekh Kholil memberi peluang dengan mengatakan : 
ومالم يثبتوه يعمل فيه بالقرائن
"Sesuatu yang belum ditetapkan maka diberlakukan berdasarkan QORO'IN"

Qoro'in seperti apa yang mampu Lora Ismael sajikan dari abad 4 s/d 8?

Kalau boleh penulis jawab, beliau tidak akan mampu menghadirkan Qoro'in nasab Ubaidillah ba alwiy

Lora Ismael mengatakan : 

".... bukan syarat sumber sezaman yang tak pernah disyaratkan oleh para ulama nasab manapun itu, salah seorang Kiai pakar nasab dari kalangan kami Dzurriah Walisongo bahkan mengatakan itu adalah “syarat konyol”, sebagian Kiai - juga dari Dzurriah Walisongo yang saya tanya berkomentar :

“ syarat Kiai Imad ini andai diterapkan untuk mengitsbat nasab, bukan cuma Ba’alawi yang kena, kita semua juga akan kena “ 

KOMENTAR PENULIS : 

Lora Ismael sepaham dengan salah satu pakar nasab dari dzurriyah wali songo dalam beranggapan "Syarat Kitab Sezaman adalah SYARAT KONYOL"

Kalau bukan kitab Sezaman (kitab, manuskrip dan catatan keluarga) atau yang mendekatinya, lalu dengan apa mahu mengitsbat nasab Ubaidillah???

Mahu mengitsbat dengan Populer Viral lagi, apa anda bisa mendengar kepopuleran orang yang hidup 1100 tahun lalu???!!! Jangan berhayal atau mencoba untuk bermimpi.

Satu-satunya yang bisa di terapkan pada nasab ba alwiy hanya metode kitab sezaman/mendekati.

Lora Ismael mengatakan : 
Padahal orang yang dia salahkan lebih luas ilmu nahwunya dan sudah hafal Alfiah diluar kepala. Kalian tau ? dalam ilmu nasab Kiai Imad sama persis seperti “anak Jurumiah” itu, baru hafal beberapa Kaidah ilmu nasab aja tapi udah “petentang-petenteng” kesana-kemari bahkan menyalahkan dan nantangin semua ulama pakar nasab dunia yang tidak sependapat dengannya.

KOMENTAR PENULIS :

Siapapun orangnya seluas apapun pengetahuannya, tapi dia mengitsbat nasab ba alwiy dengan kitab abad 9 s/d 15, maka tetap saja itsbatnya SALAH, 

Dan ternyata Kiai Imaduddin telah salah menilai Lora Ismael, sang Lora belum faham cara mengitsbat suatu nasab.

Kiai Imaduddin jauh lebih baik dari anda, beliau mampu mengurai nasab kusut ba alwiy, sehingga saat ini telah terang benderang sebagai basab palsu. Sedangkan anda apa? anda tidak bisa mematahkan narasi keterputusan nasab ba alwiy.

Kalau gengsi menyebut karya Ilmiyah Kiai Imaduddin sebagai tesis, sehingga menurut anda tidak perlu dibuatkan antitesisnya, maka penulis sarankan, silahkan anda membuat TESIS ITSBAT NASAB BA ALWIY, kalau memang anda merasa mampu?!

Jangankan membuat tesis, metode Istbat nasab saja anda belum mengerti. Penulis jadi tidak optimis menunggu tesis anda.

Kiai Imaduddin tidak seperti yang Lora katakan. Yang "petentang-petenteng" itu kebanyakan mereka para ba alwiy, mereka sombong dengan nasab. Seperti Lora tidak tahu saja!

Lora Ismael mengatakan : 
Padahal orang yang dia salahkan lebih luas ilmu nahwunya dan sudah hafal Alfiah diluar kepala. Kalian tau ? dalam ilmu nasab Kiai Imad sama persis seperti “anak Jurumiah” itu, baru hafal beberapa Kaidah ilmu nasab aja tapi udah “petentang-petenteng” kesana-kemari bahkan menyalahkan dan nantangin semua ulama pakar nasab dunia yang tidak sependapat dengannya.

KOMENTAR PENULIS :

Siapapun orangnya seluas apapun pengetahuannya, tapi dia mengitsbat nasab ba alwiy dengan kitab abad 9 s/d 15, maka tetap saja itsbatnya SALAH, 

Dan ternyata Kiai Imaduddin telah salah menilai Lora Ismael, sang Lora belum faham cara mengitsbat suatu nasab.

Kiai Imaduddin jauh lebih baik dari anda, beliau mampu mengurai nasab kusut ba alwiy, sehingga saat ini telah terang benderang sebagai basab palsu. Sedangkan anda apa? anda tidak bisa mematahkan narasi keterputusan nasab ba alwiy.

Kalau gengsi menyebut karya Ilmiyah Kiai Imaduddin sebagai tesis, sehingga menurut anda tidak perlu dibuatkan antitesisnya, maka penulis sarankan, silahkan anda membuat TESIS ITSBAT NASAB BA ALWIY, kalau memang anda merasa mampu?!

Jangankan membuat tesis, metode Istbat nasab saja anda belum mengerti. Penulis jadi tidak optimis menunggu tesis anda.

Kiai Imaduddin tidak seperti yang Lora katakan. Yang "petentang-petenteng" itu kebanyakan mereka para ba alwiy, mereka sombong dengan nasab. Seperti Lora tidak tahu saja!

Kiai Imaduddin hanya ngin menjelaskan bahwa nasab ba alwiy MUSTAHIL diitsbat sebagai dzurriyah oleh pakar nasab manapun dengan metode yang benar.

Pada 2 paragraf terakhir, Lora memberi masukan tentang bagaimana seharusnya diskusi nasab dilakukan.

KOMENTAR PENULIS :

itu baru seperti bijak, gitu dong. Jangan seperti postingan yang lalu. Anda mengatakan Kiai Imaduddin tidak pantas berdebat dengan ulama' dunia, takut mempermalukan ulama' indonesia.

Statmen macam apa ini?!

Semoga pada tanggal 10 September Ribithoh bersedia hadir, walau hanya wakil di UIN Wali Songo Semarang.

Kalau tidak, maka Robithoh sudah absen sebanyak 6 kali dalam tantangan debat, dan pantas mendapatkan gelar : "AL KABURIYAH AL NGENYONGIYAH"

HISTORIS THORIQOH TIJANIYAH




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA


Saya berbincang dengan pimpinan thoriqah tijaniyah cabang Jember KH. Nurhasan bersama jamaahnya di kediaman ibu Siti Aminah, S. Ag., MM. hingga larut malam. 

Perbincangan itu cukup antusias pasalnya menyangkut histori thoriqah tijaniyah perspektif sejarah sebagai akar ideologi para pengamalnya. Ini penting dibincangkan untuk mengokohkan keyakinan mereka.

Thariqah Tijaniyah berdiri pada tahun 1196 H/1781 M. yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani Al-Jazairi. Nama At- Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suku yang hidup di sekitar wilayah Tilimsan, Aljazair. Kabilah Tijanah adalah keluarga Syekh Ahmad At-Tijani dari pihak ibu dan pada kabilah inilah lebih dikenal sebutan marganya sehingga lazim disebut dengan Tijani. Dari keluarga besar atau kabilah Tijanah ini banyak lahir ulama dan wali-wali agung.

Nasab beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Abu Al-'ld bin Salim bin Ahmad (Al-'Ulwani) bin Ahmad bin 'Ali bin 'Abdullah bin 'Abbas bin 'Abdul-Jabbar bin Idris bin Idris bin Ishaq bin 'Ali Zainal 'Abidin bin Ahmad bin Muhammad (Nafs Az-Zakiyah) bin 'Abdullah Al-Kamil bin Hasan As-Sibth bin Hasan Al-Mutsanna bin 'Ali dan Fathimah binti Rasulullah.

Ahmad At-Tijani dilahirkan (1150 H/1737 M) di 'Ain Madhi atau biasa juga disebut Madhawi masuk wilayah Tilmisan selatan Aljazair. Ahmad At-Tijani sejak kecil sudah digembleng dengan pendidikan yang ketat sehingga pada umur 7 tahun sudah hafal al-Qur'an di bawah bimbingan Syekh Sayyid 'Isa di daerah Ukazh Madhi.

Sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai macam cabang ilmu seperti Fiqh, Ushul Fiqh, dan sastra dari Syekh Al-Mubarak bin Rusyd dan Syekh Al-Ahdhori. Beliau dikenal dengan kecerdasan, ketekunan, memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga pada usia 20 tahun telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.

Pada tahun 1171, saat usia Ahmad At-Tijani menginjak 21 tahun, beliau pindah ke kota Fez, Maroko, yang pada saat itu menjadi pusat studi ilmu agama di wilayah barat sebagaimana kota Kairo, Mesir. Di kota ini beliau mempelajari kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah karya Syekhul-Akbar Ibnu 'Arabi (w. 638 H/1240 M) di bawah bimbingan Ath-Thayyib bin Muhammad Al-Yamhali dari Hibthi dan Muhammad bin Al-Hasan Al-Wanjali (w.1185).

Ketika Syekh Ahmad At-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti beberapa thariqah, di antaranya adalah; Thariqah Qadiriyyah di bawah bimbingan langsung Syekh 'Abdul-Qadir Al-Jilani; Thariqah Nashiriyyah yang diambil dari Syekh Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Abdillah; Thariqah Ahmad Al-Habib bin Muhammad; Thariqah Malamatiyyah di bawah bimbingan Syekh Abu 'Abbas Ahmad Ath- Thawwas.

Kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren) Syekh 'Abdul-Qadir bin Muhammad Al-Abyadh dan menetap beberapa saat kemudian kembali ke Tilmisan. Pada tahun 1186 H, Beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke makam Nabi Muhammad. Dalam menempuh perjalanan panjang ke Makkah, beliau menjumpai tokoh-tokoh Sufi dan sekaligus mendalami ilmu tasawuf.

Beliau tiba di Desa Azwari wilayah Aljazair dan menjumpai Sayyid Ahmad bin 'Abdur-Rahman Al-Azhari (w.1198) seorang tokoh Thariqah Khalwatiyyah dan beliau mendalami thariqah ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunisia dan menjumpai Syekh 'Abdus-Shamad Ar-Rakhawi (w. 1196 H). Di kota ini beliau belajar thariqah sambil mengajar ilmu tasawuf, diantara kitab yang diajarkan adalah Al-Hikam.

Kemudian beliau meneruskan safar ke Mesir menjumpai Shufi dari Thariqah Kholwatiyyah, Syekh Mahmud Al-Kurdi (w.1208 H), sembari mendalami Thariqah Kholwatiyyah. Pada bulan Syawwal tahun 1187 H. sampailah beliau ke Makkah. Pada waktu di Makkah ada seorang wali bernama Syekh Al-Imam Abu Al-'Abbas Sayyid Muhammad bin 'Abdillah Al-Hindi (w. 1187 H). Setelah melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad At-Tijani terus berziarah ke makam Nabi Muhammad. Di kota Madinah beliau menjumpai seorang Wali Quthub Syekh Muhammad bin 'Abdullah As-Samman (w. 1775 M.) yaitu seorang mursyid Thariqah Khalwatiyyah dengan maksud untuk mendapatkan ajaran-ajaran sebagai persiapan masa depan.

Dalam perjalanan pulang ke Aljazair, Syekh Ahmad At-Tijani menjumpai gurunya di Mesir yaitu Syekh Mahmud Al-Kurdi, dengan tujuan untuk mendiskusikan tentang masalah tasawuf yang sulit dipahami (musykil). Dalam waktu yang relatif lama beliau tiap hari berdiskusi dengan Syekh Mahmud Al-Kurdi, sampai akhirnya Syekh Mahmud Al-Kurdi mengangkat Syekh Ahmad At- Tijāni sebagai khalifah Thariqah Khalwatiyyah di wilayah Maroko.

Pada tahun 1196 H, tepatnya ketika Syekh Ahmad At-Tijani berusia 46 tahun, beliau pergi ke pedalaman Aljazair tepatnya di Desa Abu Samghun untuk melakukan khalwat hingga di situlah beliau mendapatkan Al-Futüh (keterbukaan). Beliau bertemu Rasulullah dalam keadaan sadar, terjaga bukan dalam keadaan mimpi. Selanjutnya Rasulullah membimbing (menalqin) Syekh Ahmad At-Tijani dengan membaca istighfar 100 kali, Shalawat 100 kali dan selanjutnya Rasulullah bersabda:

لَا مُنَّةَ لِمَخْلُوقٍ عَلَيْكَ مِنْ أَشْيَاحَ الطَّرِيقِ فَأَنَا وَاسِطَتُكَ وَ مُمِدُّكَ عَلَى التَّحْقِيقِ. فَاتَرُكْ عَنْكَ جَمِيعَ مَا أَخَذْتَ مِنْ جَمِيعِ الطَّرِيقِ وَ قَالَ لَهُ : الْزَمْ هَذِهِ الطَّرِيقَة مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ وَ لَا اعْتِزَالَ عَنِ النَّاسِ حَتَّى تَصِلَ مَقَامَكَ الَّذِي وُعِدْتَ بِهِ وَ أَنْتَ عَلَى حَالِكَ مِنْ غَيْرِ ضَيْقٍ وَ لَا حَرَجٍ وَ لَا كَثْرَةِ مجَاهَدَةِ وَ اتْرُكُ عَنْكَ جَمِيعَ الْأَوْلِيَاء

"Tidak ada karunia bagi seorang makhluk dari guru-guru thariqah atas kamu, maka akulah perantara dan pembimbingmu secara nyata. (Oleh karena itu) tinggalkanlah semua thariqah yang telah kamu ambil. Tekunilah thariqah ini tanpa khalwat dan menghindari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan kepadamu dan kamu tetap berada pada keadaanmu tanpa kesempitan, tanpa susah payah, tidak banyak mujahadah dan tinggalkanlah semua wali.”

Empat tahun berikutnya, ketika berusia 50 tahun, Syekh Ahmad At-Tijani mencapai martabat Al-Quthb Al-Kamil, Al-Quthb Al-Jami dan Al-Quthb Al-'Uzhma, yang pengukuhannya di Padang 'Arafah, Makkah Al-Mukarromah. Pada tahun yang sama, hari ke-18 bulan Shafar, beliau dianugerahi sebagai Al-Khatm Al-Auliya Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi). Hari inilah yang kemudian diperingati oleh jamaah, ikhwan, dan para muhibbin Thariqah Tijaniyah sebagai 'Idul-Khatmi.

Syekh Ahmad At-Tijani meninggal di Fez Maroko 1230 H. Sejauh ini At-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam thariqahnya. Ajaran-ajaran thariqah ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir Al-Ma'ani wa Bulūgh Al-Amani fi Faidhi Asy-Syekh At-Tijani, Kasyf Al-Hijab 'Amman Talaqqa Ma'a At-Tijäni min Al-Ahzab, dan As-Sirr Al-Abhar fi Aurad Ahmad At-Tijäni. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid At-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Thariqah Tijaniyah pada abad ke-19.

Al-Muhaddits Muhammad bin 'Ali Al-Hakim At-Tirmidzi (penyusun Kitab Nawadirul-Ushūl Fil-Hadits) menyatakan makna sebenarnya dengan istilah khatmul-auliya’, beliau berkata,

و ليس معناها ان صاحب هذه المرتبة هو اخر الأولياء و لكن معناها انه اتم مقامات الولاية وبلغ اعلى مرتبة فيها (الواردات : ١٢٦(

“Makna khatmiyah (penutup) bukanlah bahwa pemilik martabat ini merupakan akhir para wali. Tetapi dia paling sempurna maqam wilayahnya dan mencapai kedudukan (martabat) paling tinggi di dalamnya."

Perkembangan Thariqah Tijaniyah

Pada tahun 1789 M, Syekh Ahmad At-Tijani pindah dan menetap di kota Fes Maroko. Syekh Ahmad At-Tijani mengajak Sultan Maulana Sulaiman (W. 1238 H) untuk mengembangkan thariqah ini di wilayah kerajaannya yaitu Maroko. Sampai Syekh Ahmad At-Tijani meninggal dunia pada hari Kamis tanggal 17 Sya'ban 1230 H. dan dimakamkan di kota Fes Maroko. Beliau mempunyai dua orang putera yaitu; Sayyid Muhammad Al-Habib dan Sayyid Muhammad Al-Kabir. Sejak dimulai pada tahun 1787, selain di Maroko, pengikutnya kemudian banyak tersebar di Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Sudan, Mauritania, Senegal dan Nigeria.

Thariqah Tijaniyah dibawa masuk ke Indonesia kira-kira tahun 1920-an oleh seorang ulama kelahiran Makkah, 'Ali bin 'Abdullah Ath-Thayyib Al-Azhari. Awal perkembangannya di Tanah Air, thariqah tersebut mendapatkan penentangan dari thariqah-thariqah lain yang lebih dahulu ada dan telah mapan, antara lain Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syathariyyah, Syadziliyyah dan Khalwatiyyah.

Perkembangan Tijaniyyah di Indonesia tidak begitu pasti diketahui kapan waktunya, tetapi munculnya Thariqah Tijaniyyah ini bisa ditandai dengan dua fenomena yang terjadi, yaitu adanya gerakan Tijaniyyah di Cirebon pada tahun 1928 dengan adanya pengajaran Tijaniyyah di Pesantren Buntet oleh Kiai Anas dan fenomena yang kedua yaitu dengan hadirnya Syekh 'Ali bin 'Abdullah Ath-Thayyib dengan mengajar Tijaniyyah di Tasikmalaya pada awal abad ke-20 M. Beliau juga menulis kitab Munyat Al-Murid yang menjelaskan mengenai sanad Thariqah ini dari guru-gurunya terdahulu, yang kemudian diajarkan kepada murid-muridnya secara meluas.

Perselisihan mengenai Thariqah Tijaniyah reda setelah Muktamar Jam'iyyah Nahdlatul Ulama ke III tahun 1928 di Surabaya yang memutuskan bahwa Thariqah Tijaniyah adalah mu'tabarah (diakui secara absah). Keputusan tersebut diperkuat kembali di dalam Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon, bahwa Thariqah Tijaniyah termasuk dalam kategori thariqah yang mu ‘tabarah.

Saat ini Thariqah Tijaniyah merupakan salah satu dari 43 Thariqah Mu'tabarah Indonesia atau thariqah yang diakui keabsahannya. Jumlah jamaah thariqah ini di Tanah Air sekitar 10 juta jiwa. Dan, sekitar 40 persen dari mereka adalah kalangan kiai dan pemimpin pondok pesantren yang tersebar di 14.657 pesantren. Di beberapa tempat, thariqah ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur Pulau Jawa.

Amalan dan Ajaran Thariqah Tijaniyah

Amalan wirid Thariqah Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu: istighfar, shalawat dan tahlil. Di dalam Thariqah Tijaniyah terdapat dua macam zikir yaitu zikir lazim (yang harus diamalkan) dan zikir ikhtiyari (yang lebih baik kalau diamalkan). Thariqah Tijaniyah menitik beratkan zikir-zikir pagi dan sorenya dengan istighfar, shalawat, dan tahlil.

اما اوراده التي تلقن الخلق هي : استغفر الله مائة مرة و الصلاة على رسول الله باي صيغة مائة مرة ثم الهيللة مائة مرة (جواهر المعاني ج:۱ ص: ۱۰۳ / ميزاب الرحمة ص : ١٨ / الفتح الرباني ص : ٦٩(

"Adapun beberapa wirid Syekh Ahmad At-Tijäni yang ditalqinkan kepada semua makhluk adalah Astagfirullah 100 kali, shalawat kepada Rasulullah dengan bentuk lafal apapun 100 kali dan tahlil 100 kali."

Syekh Ahmad At-Tijäni mengembangkan thariqah At-Tijani menggabungkan dua corak metode tasawuf yaitu; tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Hal ini dapat dilihat dari ajaran Syekh Ahmad At-Tijani tentang maqâm Nabi Muhammad sebagai Haqiqat Al-Muhammadiyyah dan Wali Khatam. Lalu muncul shalawat Al-Fatih dan shalawat Jauhar Al-Kamal,

Thariqah Tijaniyah tidak ada larangan ziarah, yang ada ialah mengatur berziarah. Lebih-lebih ziarah semua aulia sangat dianjurkan, karena mereka kekasih Allah dan kita juga wajib mencintainya. Ziarah sesama muslim hukumnya Sunah baik waktu masih hidup atau sudah mati. Jadi ziarah kita ke orang shalih atau muslim selain ikhwan At-Tijani semata-mata karena silaturahmi dan hadiah Al-Fatihah.

ان شيخنا لم ينه احدا من طريقته من التعلم من جميع الأولياء والعلماء ولا من حضور مجالسهم ولا من استماع مواعظهم وكلامهم ولا من التواصل في الله و الرحم (ما ع ١ / ١٤٥(

"Bahwa Sayyidi Syekh Ahmad At-Tijäni tidak melarang ziarah secara umum, karena beliau tidak pernah melarang siapapun dari pengikut Thariqahnya menuntut ilmu kepada semua Wali atau Ulama, tidak melarang menghadiri majelis (ta'lim) mereka, tidak melarang mendengarkan wejangan-wejangan dan perkataan mereka dan tidak melarang mengadakan hubungan karena Allah dan silaturahmi.”

Dan Ikhwan Tijäni berkewajiban menuntut ilmu untuk menjaga 'aqidah dan amal ibadah.

اعلم انه على كل مكلف ان يحصل من العلم ما يضح به اعتقاده على مذهب السنة والجماعة وما تضحونه اعماله على وفق الشريعة المطهرة (ما ع ١/ ٩٩(

“Ketahuilah, bahwa semua orang mukallaf berkewajiban menghasilkan ilmu yang menjadikan sah aqidahnya sesuai dengan madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah dan ilmu-ilmu yang menjadikan amal ibadahnya sehingga cocok dengan Syari'at yang suci itu.”

Syekh At-Tijani banyak mengingatkan dan berpesan agar selalu takut kepada Allah, tidak menyalahi perintah-perintah-Nya dan merasa aman dari murka Allah serta supaya waspada dari dosa- dosa dan maksiat. Beliau berkata,

فليحذروا من معاصى الله و من عقوبته و من قضي الله عليه منكم و العبد غير معصوم فلا يقربنه الا وهو باكي القلب خاف من عقوبة الله )ميزاب الرحمه ص : ٢٩(

"Hendaklah kalian takut dari maksiat-maksiat kepada Allah dan siksa-Nya. Siapa yang telah melakukannya dari kalian (dengan ketetapan Allah juga) dan seorang hamba memang tidak ma'shum, maka jangan mendekat kepada Allah, kecuali dengan hati yang menangis dan takut akan siksa Allah."

Jama'ah Thariqah Tijaniyah pada hari Jumat setelah Ashar akan melakukan zikir, mengingat Allah dan banyak berdoa kepada Allah. Baik sendiri atau pun berjama'ah. Karena waktu akhir Jum'at merupakan waktu yang dianggap mustajab untuk berdoa. Nabi mengingatkan supaya banyak berdoa dan mengingat Allah pada hari Jumat setelah Ashar.

Hal yang ditekankan dalam Thariqah Tijaniyah bagi jamaahnya adalah istiqamah, bukan karamah.

كن طالب الاستقامة ولا تكن صاحب الكرامة فإن نفسك تتحرك في طلب الكرامة ومولاك يطالبك و كن بحق مولاك اولى بك ان تكون بحظ نفسك وهواك )بغية المسقيد : ۲۰۸(

"Jadilah orang yang berusaha istiqamah dan jangan mengharap karamah. Sesungguhnya nafsu bergejolak dalam mencari karamah, tetapi Tuhanmu menuntut istiqamah. Kamu tidak akan dapat mengutamakan Tuhanmu selama kamu mementingkan bagian nafsu dan keinginanmu."

Syekh Ahmad At-Tijani banyak berlindung diri dari mengaku-ngaku sesuatu yang tidak sesuai dengan kedudukan atau maqamnya, baik karamah atau lainnya. Beliau berkata,

ان عقوبتها اي الدعوى الموت على سوء الخاتمة ( ميزا ب الرجمة : ١٠(

"Sesungguhnya siksanya (pengakuan) adalah mati secara su'ul khatimah."

Demikianlah sekilas pengantar tentang Thariqah At-Tijaniyyah. Lebih rinci, kami persilakan datang ke mursyid, kholifah atau badal At-Tijaniyyah di daerah terdekat.

Salam al-Mihrab Foundation, Jatibarang Brebes, 30 Agustus 2024. Artikel ini ditulis hasil dari diskusi dengan para pegiat dan pengamal thoriqah tijaniyah asal kota Jember.