MUTIARA ILMU

Kamis, 22 Agustus 2024

Hasil diskusi dengan AI (artificial intelligence) CHAT GPT dengan topik bahasan apakah tokoh Ubaidillah merupakan tokoh fiksi, dijawab lugas dan tegas : bahwa Ubaidillah merupakan tokoh fiktif

*
Anda mengangkat poin yang sangat relevan mengenai kronologi kemunculan nama Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dalam literatur sejarah. Memang, jika nama Ubaidillah baru pertama kali muncul dalam tulisan Ali al-Sarkan pada abad ke-9, sementara tokoh tersebut diklaim lahir pada abad ke-4, ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keaslian dan keberadaan historisnya.

**Beberapa poin penting yang bisa dipertimbangkan terkait hal ini:**

1. **Jarak Waktu yang Signifikan**: Fakta bahwa ada jarak waktu sekitar lima abad antara waktu yang diklaim sebagai kelahiran Ubaidillah dan kemunculan namanya dalam tulisan Ali al-Sarkan adalah indikasi yang kuat bahwa tokoh ini mungkin tidak ada dalam catatan sezamannya. Dalam historiografi, jarak waktu yang begitu lama tanpa ada referensi atau bukti pendukung dari periode yang lebih awal biasanya menjadi alasan untuk meragukan keaslian suatu tokoh.

2. **Kurangnya Referensi dari Penulis Sezaman**: Ketika seorang penulis seperti Ali al-Sarkan menyebut nama seorang tokoh yang lahir berabad-abad sebelumnya, kredibilitas klaim ini biasanya didukung oleh referensi atau kutipan dari sumber-sumber sezaman atau hampir sezaman. Jika tidak ada referensi atau kutipan tersebut dalam tulisan Ali al-Sarkan, hal ini bisa menunjukkan bahwa informasi tersebut mungkin berasal dari tradisi lisan yang tidak terdokumentasi sebelumnya atau bahkan dari sumber yang kurang dapat diandalkan.

3. **Potensi Rekonstruksi Narasi**: Kemungkinan besar, kemunculan nama Ubaidillah dalam tulisan-tulisan yang jauh lebih belakangan adalah bagian dari upaya untuk membangun atau mengkonsolidasikan silsilah keluarga Ba'alwi. Dalam beberapa kasus, tokoh-tokoh yang tidak tercatat dalam sejarah awal bisa "ditemukan" atau dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk menghubungkan garis keturunan dengan figur-figur penting atau suci dalam tradisi Islam.

4. **Kritik Historis terhadap Sumber**: Sejarawan biasanya sangat berhati-hati dalam menerima klaim yang tidak didukung oleh bukti dari sumber-sumber primer atau sezaman. Kritik terhadap tulisan Ali al-Sarkan yang tidak merujuk pada sumber-sumber lebih awal memperkuat pandangan bahwa informasi mengenai Ubaidillah mungkin telah direkonstruksi atau bahkan diciptakan di kemudian hari.

5. **Penilaian terhadap Ali al-Sarkan**: Karya Ali al-Sarkan, yang muncul berabad-abad setelah periode yang diklaim sebagai masa hidup Ubaidillah, harus dievaluasi dengan kritis. Jika penulisannya tidak memberikan bukti atau referensi yang kuat untuk mendukung keberadaan Ubaidillah, ini menambah argumen bahwa tokoh tersebut mungkin lebih merupakan bagian dari narasi yang dikonstruksi daripada tokoh historis yang nyata.

**Kesimpulan:**
Keterlambatan kemunculan nama Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir dalam catatan sejarah, serta kurangnya referensi yang mendukung dari penulis sezaman, memberikan dasar yang kuat untuk meragukan keberadaannya sebagai tokoh historis. Ini mendukung pandangan bahwa Ubaidillah mungkin merupakan tokoh fiktif yang dikonstruksi sebagai bagian dari narasi silsilah Ba'alwi, terutama mengingat bahwa referensi terhadapnya muncul berabad-abad setelah periode yang diklaim sebagai masa hidupnya.

Selasa, 13 Agustus 2024

BERTAUHID ASYA'IRAH DAN MATURIDIYAH





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Sebagai warga NU dan lahir dari keluarga NU serta hidup lingkungan NU penulis dicekoki dan didoktrin ilmu tauhid ala asya'rah dan maturidiyah semenjak belajar ilmu agama di pesantren Nurul Hasan Koncer Kidul Tenggarang dan pesantren al-Utsmani Beddian Jambesari Bondowoso hingga pesantren Raudhatul Ihsan Petuk Kediri.

Kitab yang penulis tekuni dalam bidang tauhid kitab Aqidatu al-Awam, Sanusi, dan kitab Dasuqi serta kitab kitab tauhid lainnya yang selaras dan sejalan dengan pandangan Asya'irah dan Maturidiyah.

Sebenarnya Tak Ada Mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah
Ketika membahas teologi Ahlussunnah wal Jama'ah, siapa pun tak akan bisa menghindar dari nama besar mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah sebab keduanya adalah representasi dari aqidah mayoritas ulama dari masa ke masa. 

Akan tetapi beberapa orang kemudian salah sangka ketika mendengar istilah "mazhab Asy'ariyah Maturidiyah". 

Mereka mengira bahwa kedua mazhab ini adalah ajaran baru atau aliran baru yang berbeda dari ajaran ulama salafus shâlih yang sudah ada sebelumnya. Benarkah demikian?

Kewajiban Mempelajari Ilmu Tauhid
Imam Abu Hasan al-Asy'ari lahir pada tahun 260H/873M dan wafat pada tahun 324 H/935 M. 

Sedangkan Imam Abu Mansur al-Maturidi diperkirakan lahir antara tahun antara 233-247 H dan wafat pada tahun 333 H/944 M. Dari tahun hidup keduanya dapat diketahui bahwa kedua imam besar Ahlussunnah wal Jama'ah ini baru lahir setelah era empat imam mazhab yang sudah tersohor namanya itu.  

Sebelum mereka berdua juga ada deretan nama-nama besar yang menjadi representasi Ahlussunnah wal Jama'ah seperti Imam al-Auza'i (wafat 157 H), Sufyan ats-Tsauri (Wafat 161 H), Laits bin Sa'ad (wafat antara 170-175 H), Bukhari (wafat 256 H), Muslim (wafat 261 H), at-Thahawi (wafat 321 H) dan banyak lainnya. 

Karena itulah, ketika belakangan muncul Imam Abu Hasan al-Asy'ari di Baghdad dan Imam Abu Mansur al-Maturidi di Transoksania dengan argumen-argumen teologi yang mampu membungkam para ahli bid’ah, para ulama dari berbagai golongan kemudian menisbatkan diri pada mereka berdua sebagai bentuk dukungan. Akhirnya masyhurlah nama Asy’ariyah (pengikut Abu Hasan al-Asy’ary) dan nama Maturidiyah (pengikut Abu Mansur al-Maturidy). 

Saat itulah beberapa orang mengira ada mazhab baru yang berbeda dari sebelumnya, padahal faktanya tidak demikian.

Imam Tajuddin as-Subky (771 H) menjelaskan duduk perkaranya sebagai berikut:

اعْلَم أَن أَبَا الْحسن لم يبدع رَأيا وَلم ينش مذهبا وَإِنَّمَا هُوَ مُقَرر لمذاهب السّلف مناضل عَمَّا كَانَت عَلَيْهِ صحابة رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فالانتساب إِلَيْهِ إِنَّمَا هُوَ بِاعْتِبَار أَنه عقد على طَرِيق السّلف نطاقا وَتمسك بِهِ وَأقَام الْحجَج والبراهين عَلَيْهِ فَصَارَ المقتدى بِهِ فى ذَلِك السالك سَبيله فى الدَّلَائِل يُسمى أشعريا 

“Ketahuilah sesungguhnya Abu Hasan tak memulai sebuah pendapat baru dan tak memunculkan sebuah mazhab. Itu tak lain hanya merupakan penguatan terhadap mazhab salaf. Dia membela apa yang diyakini sahabat Rasulullah ﷺ. 

Maka penisbatan diri pada beliau tak lain hanyalah pengakuan bahwa beliau mengikuti jalan salaf, berbicara dan berpegang teguh dengannya, mendirikan hujjah dan bukti-bukti atasnya. Maka yang mengikuti beliau dan menempuh jalan beliau itu dalam dalil-dalil disebutlah seorang Asy’ariyah”. (Tajuddin as-Subky, Thabaqât as-Syâfi’iyah, juz III, halaman 365)

Jauh sebelumnya, Imam al-Hafidz Ibnu Asakir (571 H) juga menjelaskan hal serupa. Ia berkata:

فنسب من تعلق الْيَوْم بِمذهب أهل السّنة وتفقه فِي معرفَة أصُول الدّين من سَائِر الْمذَاهب إِلَى الْأَشْعَرِيّ لِكَثْرَة تواليفه وَكَثْرَة قِرَاءَة النَّاس لَهَا وَلم يكن هُوَ أول مُتَكَلم بِلِسَان أهل السّنة إِنَّمَا جرى على سنَن غَيره وعَلى نصْرَة مَذْهَب مَعْرُوف فَزَاد الْمَذْهَب حجَّة وبيانًا وَلم يبتدع مقَالَة اخترعها وَلَا مذهبا انْفَرد بِهِ ألا ترى أَن مَذْهَب أهل الْمَدِينَة ينْسب إِلَى مَالك بن أنس رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَمن كَانَ على مَذْهَب أهل الْمَدِينَة يُقَال لَهُ مالكي وَمَالك رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّمَا جرى على سنَن من كَانَ قبله وَكَانَ كثير الإتباع لَهُم إِلَّا أَنه زَاد الْمَذْهَب بَيَانا وبسطًا وَحجَّة وشرحًا وَألف كِتَابه الْمُوَطَّأ وَمَا أَخذ عَنهُ من الأسمعة والفتاوى فنسب الْمَذْهَب إِلَيْهِ لِكَثْرَة بَسطه لَهُ وَكَلَامه فِيهِ فَكَذَلِك أَبُو الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَا فرق  

“Maka hari ini orang-orang yang bergantung pada mazhab Ahlussunnah dan belajar pengetahuan Ushuluddin dari semua mazhab disandarkan kepada al-Asy'ari karena banyaknya karya beliau dan banyaknya bacaan orang-orang terhadap karya tersebut. 

Dia bukanlah Ahli Kalam pertama yang berbicara dengan lidah Ahlussunnah akan tetapi dia hanya mengikuti tradisi orang-orang sebelumnya untuk menolong mazhab yang sudah diketahui (mazhab salaf) sehingga mazhab tersebut bertambah kekuatan argumen dan penjelasannya. Dia tidak membuat suatu pernyataan baru dan juga tidak membuat suatu mazhab independen.

 Bukankah engkau melihat bahwa mazhab Ahli Madinah disandarkan kepada Imam Malik bin Anas sehingga orang yang mengikuti mazhab Ahli Madinah disebut seorang Maliky, padahal Malik hanya mengikuti tradisi orang sebelumnya. Hanya saja beliau  menambah mazhab tersebut dengan keterangan dan penjelasan argumentatif dan juga mengarang kitab al-Muwatta. Dan apa yang dinukil dari Imam Malik meliputi ucapan atau fatwa kemudian disandarkan sebagai mazhab kepadanya karena ialah yang banyak menjelaskan dan berbicara tentang hal itu. Demikian juga Abu Hasan Al Asy'ari tiada bedanya”. (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 117-118)

Kedudukannya di Antara Ilmu-ilmu Lain
Satu abad sebelum Imam Ibnu Asakir, Imam al-Hafidz al-Baihaqy (458 H) juga menjelaskan bahwa Imam Abu Hasan al-Asy’ary hanyalah membela mazhab para tokoh ulama salaf saja dengan menambahi berbagai keterangan sehingga memperkuat argumen mereka. Ia berkata:

إِلَى أَن بلغت النّوبَة إِلَى شيخنَا أَبِي الْحسن الْأَشْعَرِيّ رَحْمَة اللَّه فَلم يحدث فِي دين اللَّه حَدثا وَلم يَأْتِ فِيهِ ببدعة بل أَخذ أقاويل الصَّحَابَة وَالتَّابِعِينَ وَمن بعدهمْ من الْأَئِمَّة فِي أصُول الدّين فنصرها بِزِيَادَة شرح وتبيين وَأَن مَا قَالُوا فِي الْأُصُول وَجَاء بِهِ الشَّرْع صَحِيح فِي الْعُقُول خلاف مَا زعم أهل الْأَهْوَاء من أَن بعضه لَا يَسْتَقِيم فِي الآراء فَكَانَ فِي بَيَانه تَقْوِيَة مَا لم يدل عَلَيْهِ من أهل السّنة وَالْجَمَاعَة وَنَصره أقاويل من مضى من الْأَئِمَّة كَأبي حنيفَة وسُفْيَان الثَّوْريّ من أهل الْكُوفَة وَالْأَوْزَاعِيّ وَغَيره من أهل الشَّام وَمَالك وَالشَّافِعِيّ من أهل الْحَرَمَيْنِ وَمن نجا نَحْوهمَا من الْحجاز وَغَيرهَا من سَائِر الْبِلَاد وكأحمد ابْن حَنْبَل وَغَيره من أهل الحَدِيث وَاللَّيْث بن سعد وَغَيره وَأبي عبد الله مُحَمَّد بن اسمعيل البُخَارِيّ وَأبي الْحسن مُسلم بن الْحجَّاج النَّيْسَابُورِي إمامي أهل الْآثَار وحفاظ السّنَن الَّتِي عَلَيْهَا مدَار الشَّرْع رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم أَجْمَعِينَ وَذَلِكَ دأب من تصدى من الْأَئِمَّة فِي هَذِهِ الْأمة وَصَارَ رَأْسا فِي الْعلم من أهل السّنة فِي قديم الدَّهْر 

“Kemudian sampailah giliran dakwah keturunan Sahabat Abu Musa Al Asy'ari pada guru kita, Abu Hasan Al Asy'ari. Dia tidak membuat hal baru dalam agama Allah dan juga tidak membawa suatu bid'ah, tetapi dia mengambil perkataan para Sahabat, Tabiin, dan orang-orang setelah mereka dari golongan para imam dalam masalah Ushuluddin kemudian membelanya dengan menambahi keterangan dan penjelasan. Dan [beliau membuktikan] bahwasanya apa yang mereka semua katakan dalam masalah aqidah dan apa yang sudah dibawa oleh syariat adalah benar menurut akal. 

Hal ini berbeda dari apa yang disangka oleh orang-orang menyimpang (ahlu al-Ahwa') yang mengatakan bahwa sebagian yang dibawa syariat tidak masuk akal. Maka dalam penjelasan beliau itu ada penguatan (taqwiyah)  yang sebelumnya tidak disadari oleh Ahlussunnah wal Jamaah.  Imam Abu Hasan Al Asy'ari juga ditolong oleh pernyataan-pernyataan para imam sebelumnya  seperti Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri dari penduduk Kufah, Al Auza'i dan lain-lain dari penduduk Syam,  Malik dan Syafi'i dari penduduk Haramain (Makkah-Madinah) dan sekelilingnya seperti Hijaz dan daerah-daerah lainnya.  

Juga seperti Imam Ahmad bin hambal dan lain-lain dari kalangan ahli hadis dan Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari dan Abi Hasan Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, dua Imam ahli hadis dan juga para penghafal Kitab Sunan yang menjadi pondasi syariat, semoga Allah meridhai mereka semua.  Begitulah kebiasaan para Imam yang muncul ke permukaan di kalangan umat ini  dan menjadi pemimpin ilmu dari kalangan Ahlussunnah sejak dahulu kala”. (Ibnu Asakir, Tabyîn Kadzib al-Muftary fî Mâ Nusiba Ila al-Asy’ary, halaman 103)

Jadi, yang disebut sebagai mazhab Asy’ariyah atau Maturidiyah sebenarnya tak lain dari metodologi (manhaj) teologis yang basis argumen rasionalnya dibentuk oleh kedua imam tersebut. Secara ajaran, tak ada yang baru dari mereka berdua sebab keduanya hanya membela ajaran ulama salaf yang sudah ada sebelum mereka.

Demikian uraian ini, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.