Hasan dan Husain, nama tersebut telah dipersiapkan Baginda Nabi kepada dua cucu tercintanya. Sebagai ekspresi kepada sang maha pencipta. Begitu keduanya lahir, kecintaan Nabi kepadanya makin nyata. Tak ada waktu senggang yang terlewat oleh Nabi untuk menggendongnya, bermain bersama keduanya dalam larung kebahagiaan yang seolah tumpah.
Dalam gejolak kegembiraan itu, Nabi seringkali mencium pipi dua cucunya dalam senyum, namun juga tak jarang diiringi bisikan iba tangis, : "Musibah besar telah menunggumu, cucuku...".
Dalam sebuah riwayat ada satu cerita masyhur tentang waskita Nabi. Ketika itu Nabi bermain bersama kedua cucunya, sembari mengambil beberapa kerikil dari hamparan pasir. Abu Bakar yang mengamati betul ekspresi Nabi bertanya : "Untuk apa kerikil-kerikil itu, Yaa Rasulullah?," dengan suara terserak Nabi menjawab dengan rautan wajah penuh haru, "Sejatinya aku tengah memunguti darah cucuku yang tercecer."
Abu Bakar seketika tertunduk, Nabi tertahan untuk berdiri. Langit seakan mendung, dan angin berhenti berhembus. Setelah itu, Abu Bakar tak sampai hati untuk membincang hal itu lagi. Dia yakin, semua ucapan Nabi adalah kebenaran. Ilustrasi peristiwa yang akan datang itu seolah terbaca di pelupuk mata.
Waktu berjalan, masa berganti, sejarahpun mengafirmasi, bahwa nubuat itu benar-benar terbukti. Tepat setengah abad setelah wafatnya sang Nabi, darah cucu terkasih itu benar-benar tumpah di padang Karbala. 10 Muharram 61 H.
Dan...
Selain rasa takjub, satu hal yang tak henti membuat kita terpesona kepada Nabi ialah : kebesaran hatinya meridloi segala duka.
Pojok Aula Diponegoro
10 Syuro 1443 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar