MUTIARA ILMU

Rabu, 21 Mei 2025

GERBANG ZULKARNAIN: LOGIKA, SAINS, DAN SASTRA

Sebuah tafsir berbasis Sain dari Surah Al-Kahf ayat ke-96, ayat yang menceritakan langkah strategis Zulkarnain dalam membendung Ya’juj dan Ma’juj:

اٰتُوۡنِىۡ زُبَرَ الۡحَدِيۡدِ‌ ؕ حَتّٰٓى اِذَا سَاوٰى بَيۡنَ الصَّدَفَيۡنِ قَالَ انْـفُخُوۡا‌ ؕ حَتّٰٓى اِذَا جَعَلَهٗ نَارًا ۙ قَالَ اٰتُوۡنِىۡۤ اُفۡرِغۡ عَلَيۡهِ قِطۡرًا

Artinya:

“Berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga ketika (potongan) besi itu telah (terpasang) sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, dia (Zulkarnain) berkata, “Tiuplah (api itu)!” Ketika (besi) itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atasnya (besi panas itu).”

Banyak ulama menafsirkan “qithr” sebagai tembaga, namun DR. Ary menggulirkan tafsir teknologis, bahwa ‘qithr’ bukanlah sekadar tembaga, melainkan kuningan, alloy dari tembaga dan seng, yang dalam dunia metalurgi dikenal karena daya tahannya terhadap karat dan kemudahan pembentukannya. Ketika kuningan dikombinasikan dengan sedikit besi, akan tercipta logam magnetik yang bukan hanya kuat secara fisik tapi juga strategis. Pintu logam hasil alkimia Zulkarnain itu bukan hanya penghalang material, tapi juga alat pertahanan sains, yakni menarik senjata logam, membuat musuh kehilangan daya serang. Inilah tembok peradaban. Sebuah kemajuan yang tak hanya melibatkan otot dan logam, tetapi juga logika dan ilham dari langit.

“Allah mengajarkan kepada Zulkarnain ilmu metalurgi,” ujar DR. Ary.

Bukan berlebihan jika ini disandingkan dengan nama besar Jābir ibn Hayyān, sang Bapak Kimia, yang dikenal di Barat sebagai Geber. Jābir merumuskan teori tentang logam, alkimia, dan struktur materi jauh sebelum ilmuwan Eropa mengenal tabel periodik. Di tangan Zulkarnain dan Jābir, sains bukanlah barang yang asing lagi.

Menurut DR. Ary Kiem:

“Falaq + Matematika = Mantiq (Logika). Logika + Rasa = Sastra. Sastra itu memanusiakan manusia.”

Pernyataan itu mengingatkan kita bahwa sains, logika, dan sastra tidak boleh tercerabut satu sama lain. Sebab ketika ilmu tanpa rasa, maka lahirlah teknokrasi dingin. Ketika rasa tanpa logika, maka menjelmalah khurafat dan tahayul. Dan ketika sastra tercerabut dari wahyu, maka kata-kata kehilangan arah.

Dan sastra tertinggi adalah wahyu. Al-Qur’an, kitab yang diturunkan dengan tujuh dialek, tujuh cita rasa, tujuh lapisan makna. Dialah teks suci yang merangkum logika dan rasa, mengikat langit dan bumi dengan kata.

Ketika DR. Ary berkata, “Saya mungkin cucunya Musa AS yang bertemu dengan cucunya Keturah, putri Syu’aib AS,”  ia bukan hanya sedang bersastra, tetapi sedang mewartakan tafsir baru tentang takdir dan pertemuan peradaban. Ia mengaitkan Batak dan Israel Kuno, keris Majapahit dan gerbang Zulkarnain, dengan narasi besar kemanusiaan.

“Allah menjaga dan melindungi dengan SAINS. Allah berbicara pada manusia dengan bahasa sains.”

Inilah epistemologi tauhid yang memanusiakan manusia, bukan dari jubah, titel, atau sorban, tapi dari rasa ingin tahu, keberanian berpikir, dan kasih sayang terhadap ilmu. 

DR. Ary mengutip kisah Iblis:

“Iblis tidak mau sujud karena sombong. Ia tahu Adam lebih baik, tapi menolak mengakuinya.”

Maka benarlah, bahwa ilmu tanpa rendah hati adalah jalan Iblis. DR. Ary memadukan falaq, logika, dan sastra bisa jadi lebih mulia dari mereka yang bersurban tapi memiskinkan pikirannya. Ini bukan tentang siapa yang suci, tapi siapa yang terus mencari. Bukan tentang siapa yang kaya, tapi siapa yang menyalakan cahaya.

Dan Zulkarnain pun membangun tembok raksasa itu, dengan besi dan logika, dengan api dan sains dan dengan qithr dan rasa. Sebuah peradaban dimulai bukan dari takhta, tapi dari keberanian membaca wahyu dan semesta dengan mata terbuka.

Wallahu a’lam

Sumber:

1. Abdur Rahman El Syarif

2. Dr. Ary Keim

#Islam #Alquran #Hadis #sains #Zulkarnain #peradabanislam #nusantara


Selasa, 20 Mei 2025

KAPITAYAN, KEBENARAN YANG DIHEMPAS DEBU SEJARAH


Wahai pewaris tanah tua yang dibangun dengan doa leluhurmu. Bersih batinmu dari prasangka buruk karena hari ini kita tak sedang membedah mitos, melainkan merajut ulang serpihan kebenaran yang hilang dari akar peradaban kita sendiri. Inilah kisah tentang Kapitayan, bukan sekadar nama usang dari masa silam, tapi pancaran cahaya dari risalah tauhid yang ditanam jauh sebelum para penjajah datang dengan kitab tipuan dan pena pemalsu sejarah.

Kapitayan bukan animisme bukan pula dinamisme. Istilah-istilah itu hanyalah stempel kolonial yang dilekatkan untuk menjauhkan kita dari kesadaran spiritual yang agung. Mereka datang membawa bingkai berpikir Barat, lalu menyisir keyakinan asli kita seolah-olah hanya pengkultusan batu dan pohon. 

Padahal sesungguhnya, Kapitayan adalah warisan spiritual yang ditanam oleh anak cucu Nuh AS, Yawan bin Yafits dalam bahasa langit yang disampaikan kepada bumi bahwa Tuhan itu Esa, Sang Hyang Tunggal, dan segala yang ada hanya pancaran kehendak-Nya.

Gusti. Sang Hyang. Tuhan. Satu nama untuk satu Zat.

Orang-orang Kapitayan tahu bahwa memuliakan para leluhur bukanlah menyembah mereka, melainkan menghormati jejak kebaikan yang ditinggalkan oleh para Hyang, para nabi dan pemimpin bijak yang dahulu membimbing manusia untuk hidup seimbang dengan alam, antara langit dan bumi, antara roh dan raga.

Mereka tak butuh menara atau kubah untuk berdoa. Jiwa mereka suci sebab hidup mereka menyatu dengan ciptaan. Itulah mikrokosmos dan makrokosmos yang dijaga, sebagaimana Adam AS diamanahi sebagai khalifah di bumi.

Namun sejarah, seperti air bah, menghanyutkan semua yang tak dicatat oleh pena penguasa. Datanglah gelombang baru, kerajaan-kerajaan yang menjadikan agama sebagai alat kekuasaan, bukan pencerahan. Datang pula kolonialisme yang mengganti kitab-kitab tua dengan buku pelajaran yang tak mengenal nama Hyang Tunggal. Maka Kapitayan pun dijuluki sesat. Leluhur kita dilabeli musyrik. Dan kita, anak cucu mereka mulai merasa malu dengan akar kita sendiri.

Padahal, dari Wayang Purwa, dari relief Candi, dari tutur rahasia para sesepuh desa, pesan itu tetap hidup bahwa kita bangsa yang bertauhid sejak lama. Kita bukan bangsa tanpa Tuhan sebelum Islam datang, kita hanya belum menyebut-Nya dengan lafaz Arab. Tapi hakikat-Nya tetap sama. Maka saat Islam datang membawa kalimat Lā ilāha illallāh, banyak yang tak menolak, karena sejatinya kalimat itu telah lama bergema dalam bahasa dan budaya kita, hanya dalam bunyi yang berbeda.

Kini, pertanyaan besar pun terbit: apakah kita siap menggali kembali kebenaran yang telah lama dikubur? Apakah kita berani membela Kapitayan sebagai bagian dari risalah tauhid yang agung bukan sebagai “agama lokal” yang patut dikasihani, tapi sebagai warisan profetik yang membentang dari Nabi Nuh AS hingga tanah Jawa?

Kita mesti jujur pada sejarah. Kita bukan bangsa jahiliyah yang diselamatkan dari kegelapan. Kita adalah bangsa berilmu yang dijauhkan dari nur-nya oleh tipu daya dan agenda global. Maka tugas kita hari ini bukan menciptakan kebanggaan semu, tapi memulihkan keutuhan jati diri yang telah retak.

Dan untuk itu, kita harus mulai dari sini, dari rasa syukur bahwa darah kita mengalirkan doa para nabi, dari tekad untuk mencatat ulang sejarah yang ditulis dengan air mata, bukan dengan tinta penjajah.

Kapitayan bukan dongeng. Ia adalah suara leluhur yang memanggil anak cucunya untuk kembali, bukan hanya ke tanah, tapi ke cahaya.

Maka bangkit dan ingatlah siapa kamu. Dan kepada siapa kamu kembali.

Sumber: 

1. Abdur Rahman El Syarif

2. DR. Ary Keim