MUTIARA ILMU

Senin, 12 Mei 2025

*“Mencuri Ruh NU Lewat Nama-Nama Asing”*



 https://www.walisongobangkit.com/mencuri-ruh-nu-lewat-nama-nama-asing/

*Mereka Menyusup Lewat Tawasul*

Di sebuah acara yang mengatasnamakan Nahdlatul Ulama, lantunan tahlil dan fatihah terdengar syahdu. Namun bila didengar seksama, tak satu pun nama para sesepuh NU yang disebut. Tak ada KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, atau KH Abdul Wahab Chasbullah. Bahkan nama-nama kiai lokal yang menjadi panutan di daerah pun tak muncul. Yang muncul justru nama-nama asing, tak dikenal dalam silsilah NU: Al Habib ini, Al Habib itu, hingga Ustadz Al-Muqaddam entah siapa.

Fenomena ini bukan satu-dua kali. Kini, amaliah NU dikoptasi perlahan-lahan oleh pihak luar yang berlindung di balik gelar ‘habib’ dan mengatasnamakan tarekat. Mereka menyusup bukan lewat debat, tapi lewat doa. Bukan lewat adu argumen, tapi lewat tawasul. Dan yang lebih menyakitkan: mereka menyusup lewat tubuh NU itu sendiri.
 

Tawasul dan fatihah adalah ritual sakral dalam tradisi NU. Di situlah terkandung pengakuan sejarah, cinta pada guru, dan penghormatan pada sanad ilmu. Namun hari ini, amaliah itu dikendalikan oleh mereka yang tak punya akar di NU, bahkan tak berkontribusi sedikit pun terhadap lahir dan berkembangnya NU. Nama-nama dari Klan Ba’alwi—yang silsilahnya pun kontroversial—dipaksakan menggantikan para kiai sepuh. Ini bukan sekadar penyimpangan, ini penjajahan spiritual yang rapi dan sistematis.

 

Ironisnya, banyak dari mereka yang memimpin acara itu memakai atribut NU, bahkan ada yang duduk dalam struktur formal NU, dari pengurus cabang sampai pusat. Namun dalam praktik amaliahnya, NU hanya dipakai sebagai jubah, bukan ruh. Mereka berdiri atas nama NU, tapi berdoa atas nama Ba’alwi.

 

*Pertanyaannya sederhana:* mengapa para kiai NU yang mengorbankan hidupnya demi agama dan bangsa dilupakan, tapi nama-nama dari luar yang tidak punya hubungan sejarah dengan NU justru diagungkan? Mengapa KH Wahid Hasyim yang menjadi menteri pertama agama Indonesia tidak disebut, tapi nama-nama yang tidak pernah berjuang untuk republik ini dimuliakan setinggi langit?

 

Ini bukan soal fanatisme. Ini soal identitas. NU dibangun dari darah dan keringat para kiai kampung, pesantren, dan santri. Ketika ruh NU diganti dengan kultus kepada tokoh-tokoh klan tertentu yang bahkan memiliki jejak genetik dan sejarah yang meragukan, maka yang terjadi adalah penghancuran NU dari dalam.

 

Lebih jauh, ini adalah bagian dari agenda panjang untuk menjauhkan Nahdliyin dari para kiainya, dan menggantinya dengan “tokoh-tokoh suci” dari klan tertentu, yang pada akhirnya akan menjadikan warga NU budak mental—jongos spiritual—yang tak lagi berpikir kritis terhadap sanad keilmuannya sendiri.

 

Sadarilah, ini bukan sekadar pergeseran amaliah. Ini operasi ideologis. NU sedang direbut—bukan dengan kekerasan, tapi dengan penghapusan sejarah dan penggantian figur. Jika warga NU terus diam, saatnya akan tiba ketika para santri tak lagi mengenal KH Hasyim Asy’ari, tapi lebih akrab dengan tokoh-tokoh fiktif dari negeri seberang yang bahkan bukan Arab, apalagi keturunan Nabi.

 

Warga NU, ingatlah! Tawasulmu adalah pada para guru dan kiai yang mengajarkanmu Islam dengan penuh cinta dan perjuangan. Jangan kau ganti mereka dengan nama-nama asing yang tak punya sejarah, tak punya sanad, dan tak punya andil apa pun terhadap negeri ini.

Jumat, 09 Mei 2025

DUTA PERDAMAIAN PERSPEKTIF KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI DI TANAH MELAYU PULAU KALIMANTAN

Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA


Selama kurang lebih lima belas hari saya melakukan safari dakwah di tanah Melayu pulau Kalimantan dengan tajuk "Duta Perdamaian Perspektif KH. Muhammad Hasyim Asy'ari di Tanah Melayu Pulau Kalimantan" studi literasi kitab al-Mawaidz karya fenomenal KH. Muhammad Hasyim Asy'ari.

Bukan tanpa alasan, tajuk tersebut diangkat disana, pasalnya masyarakatnya heterogen mulai dari suku Melayu, Dayak, Sunda,Madura, Jawa, dan suku suku lainnya di Nusantara yang sudah beranak anak pinak selama bertahun tahun lamanya di sana. Tak pelak, keberagaman suku dan agama disana memantik riak riak perselisihan dan perpecahan sehingga terjadi perang saudara yang memakan korban jiwa seperti yang terjadi di Sambas dan Sampit serta daerah lain di pulau Kalimantan.

Well, perlu kiranya saya melakukan dakwah disana berbeda dari kebanyakan dakwah lainya yaitu mengedepankan perdamaian dari satu masjid ke masjid lainya membawa misi perdamaian perspektif KH. Muhammad Hasyim Asy'ari studi literasi kitab al-Mawa'idz karya beliau. Rupanya para tokoh agama dan masyarakat disana banyak tidak kenal dengan beliau, itu terbukti saat sesi tanya jawab mereka melontarkan pertanyaan siapa sebenarnya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari itu? Nah, momentum itu saya jadikan instrumen dakwah untuk mengenalkan sosok pahlawan nasional yang berjasa dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia yaitu KH. Muhammad Hasyim Asy'ari berikut dengan pemikiran dan ideologi keagamaanya.

Alaa kulli hal, Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar yang sangat mencintai kerukunan sesama umat Islam. Sekalipun memiliki pandangan berbeda dengan kelompok Islam lain, ia kerap menempatkan posisi dirinya di tengah-tengah, sehingga berbagai konflik dapat diselesaikan melalui jalan perdamaian.

Bahkan, Mbah Hasyim sangat tidak suka dengan adanya kelompok atau aliran keagamaan yang suka menyalahkan kelompok lain. Karena itu, ia tak henti-hentinya mengajak kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dan menjaga ukhuwah Islamiyah. (lihat Jurnal Pengaruh KH Hasyim Asy’ari dalam Membangun Serta Menjaga Nusantara dan Kemaslahatan Islam Dunia, volume 10 Nomor 1, 2020: 40)

Mbah Hasyim pernah merespons terhadap munculnya berbagai paham atau aliran Islam baru, pada sekitar 1330 hijriah atau 1908 masehi, di Indonesia. Ia merasa resah dengan berbagai paham tersebut, sehingga membuatnya berpikir keras untuk mencari solusi menyatukan semua golongan muslim.

Ia berpandangan, bagaimana bisa sesama umat Islam yang Tuhannya satu, kitab sucinya satu Al-Quran, Nabinya satu Muhammad saling bermusuhan dan menyalahkan satu sama lain. Atas dasar keresahan itulah, Mbah Hasyim kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), pada 21 September 1937. Inilah organisasi Islam pertama yang berhasil mengumpulkan kaum muslim antar-aliran dalam satu organisasi.

Muhammad Rifai dalam buku KH Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 (2010: 67) menyebutkan, ajakan ukhuwah Islamiyah itu merupakan kesepakatan antara Mbah Hasyim dengan salah satu ulama besar Timur Tengah yakni Al-‘Allamah Syekh Muhammad Husein Abi Kasyif As-Shata.

“Jika memang dia Islam ya tetap Islam (tidak kafir). Maka sesungguhnya perkara-perkara tersebut merupakan perbedaan pendapat dan perkara yang bersifat furu’iyah, tidak mungkin dimaksudkan untuk memecah-belah terhadap kalimatnya umat Islam dalam keadaan apa pun. Maka perkara-perkara yang memiliki perbedaan itu merupakan perkara yang bersifat sepele,” kata Mbah Hasyim, ditulis KH Ali Ma’sum Krapyak dalam Hujjah Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah (1983: 7).

Kontribusi Mbah Hasyim sebagai cendekiawan muslim. Zuhairi Misrawi dalam buku Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Kerukunan, dan Kebangsaan (2010: 94) mengatakan, Mbah Hasyim merupakan tokoh ulama nusantara yang memiliki keunikan dibandingkan dengan ulama lain, yakni kecerdasannya dalam mengarang kitab dari berbagai bidang keilmuan. Tak hanya itu, Mbah Hasyim juga memiliki jiwa sosial yang sangat kuat, berupa pengabdiannya kepada umat.

Karena itu, menurut Misrawi, keteladanan yang bisa diwarisi dari sosok Mbah Hasyim adalah soal pemikiran-pemikirannya yang direalisasikan ke dalam bentuk amaliah-amaliah terhadap umat dan juga keilmuan yang dituangkan dalam kitab-kitab pesantren (kutub al-turats).

Beberapa bidang keilmuan yang dikeluarkan Mbah Hasyim meliputi bidang pendidikan, akidah, tasawuf, fikih, dan hadits. Syekh Kholil Bangkalan, Madura, adalah salah satu guru Mbah Hasyim yang mengakui muridnya sebagai ahli hadits.

Puncak dari pemikiran Mbah Hasyim adalah ketika seluruh pandangan, kelimuan, dan pengaruhnya dijadikan sebagai nilai dan ruh dari umat kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Lalu nilai tersebut diinternalisasikan dan diinstitusionalkan menjadi sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). (lihat Achmad Muhibbin Zuhri dalam Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari tentang Ahl Sunnah wal  Jama’ah, 2010: 44).

Mengutip tulisan Aru Logo Trionao yang mengatakan bahwa karya-karya intelektual Mbah Hasyim sebagian besar ditulis menggunakan bahasa Arab dan sebagian lagi dengan bahasa Jawa. Di antaranya At-Tibyan fi An-Nahy ‘an Muqatha’at Al-Arham wal ‘Aqarib wal Ikhwan, Muqaddimah Al-Qonun Al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Risālah fi Ta’kīd al Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Muwā’idz, Arba’īna Hadītsan Tata’allaq bi Mabādi Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Al-Nūr al-Mubīn fi Mahabbati Sayyid al-Mursalīn, Al-Tambihāt al-Wajibāt li Man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarāt.

Kemudian, Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah fi Hadits al-Mautā wa Syurūth al-Sā’ah wa Bayāni Mafhūm al-Sunnah wa al-Bid’ah, Ziyādat Ta’līqāt ‘alā Mandzūmah Syaikh ‘Abdullāh bin Yāsīn al-Fāsuruanī, Dhaw’il Misbāh fi Bayān Ahkām al-Nikāh, Al-Dzurrah al-Muntasyirah fi Masāil Tis’asyarah, Al-Risālah fi al-‘Aqāid, Al-Risālah al-Tasawwuf, dan Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limihi wa Yatawaqqafu ‘Alaihi al-Muta’allim fi Maqamāti Ta’līmihi. (lihat Zuhairi Misrawi dalam Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Kerukunan, dan Kebangsaan, 2010: 96).

Dengan demikian, seyogyanya para muballigh yang notabenenya mengklaim dirinya warga NU saat berdakwah perlu kiranya menyelipkan fikrah pemikiran beliau bahkan bukan hanya menyelipkan melainkan mengkhatamkan semua karya kitabnya yang berjumlah puluhan karya kitab. Alhamdulillah, alfaqir sudah bisa mengkhatamkan semua karya kitabnya bukan hanya itu saja tetapi juga dengan Maunah dan Inayah serta Ridha Allah SWT semua karya beliau sudah saya sebarkan diseluruh Nusantara melalui pengajian kitab kuning. Tentu ini, membutuhkan muballigh yang memiliki skill baca kitab kuning yang memadai. Semoga kita semua mendapatkan barokahnya. Amin.


Salam perdamaian, Kalimantan, 4 Mei 2025