MUTIARA ILMU

Rabu, 09 April 2025

SANG SUFI PERSPEKTIF IMAM SYAFI'IE




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Beberapa bulan yang lalu, saya diundang ngisi seminar nasional di pondok pesantren asy-Syafi'iyah Brebes Jawa Tengah dalam acara itu turut hadir kepala sekolah dan ketua yayasan yang kebetulan juga memberi kata sambutan kepada para audien.

Well, usai acara ngisi seminar nasional, pihak ketua yayasan mengundang saya secara pribadi dengan undangan VIP gelaran hajat Thariqah Tijani internasional yang dihadiri Mursyid thoriqah  Tijani internasional mulai dari negara Maroko, al-Jazair dan negara timur tengah lainya. 

Biaunillah, alfaqir bisa satu panggung dengan para masyaikh Mursyid thoriqah Tijani dunia dan mengambil intifa' dari mereka. Pelajaran yang bisa saya petik dari mereka, disiplin waktu dimana mereka sangat memperhatikan manajemen waktu sesuai anjuran Rasulullah Saw.

Syahdan, ini tidak berbanding lurus dengan malam ketiga acara puncak yang sedianya akan dihadiri oleh tokoh Mursyid thoriqah al-Mu'tabarah Nusantara. Undangan yang tertulis pukul 19.00 WIB tapi Mursyid thoriqah Nusantara itu hadir pada pukul 24.00 WIB dini hari. Sehingga tidak sedikit para undangan yang pulang duluan karena kelamaan menunggu. Hadir memang. Tapi, kehadirannya hanya sepuluh menit dan doa setelah itu pulang tanpa minta maaf dan tabayun atas keterlambatan itu. Padahal, manajemen waktu sangat dianjurkan dalam Islam termasuk dalam ilmu manajemen yang kebetulan saya memiliki kepakaran manajemen waktu karena disertasi saya tentang urgensi manajemen waktu dalam pendidikan.


Manajemen Waktu – Untuk memenuhi setiap rencana atau tugas, keputusan untuk manajemen waktu sangat dibutuhkan, dari beberapa menit, hingga beberapa tahun. Maka dari itu, hal khusus dalam sebuah perencanaan adalah manajemen waktu. Waktu adalah salah satu sumber daya yang tidak bisa direproduksi dan tidak dapat diambil alih. Manajemen waktu di dalam sebuah perencanaan kegiatan merupakan suatu teknik untuk mengatur dan meningkatkan penggunaan waktu secara efektif. Untuk lebih jelasnya, simak hal-hal dasar mengenai manajemen waktu di bawah ini.

Kemampuan untuk fokus dan memprioritaskan sebuah tugas adalah kunci bagi siapapun yang ingin mempertahankan produktivitas di manapun. Masing-masing dari kita tentunya memiliki tugas-tugas yang ingin dan harus dikerjakan dalam beraktivitas sehari-hari. Untuk mencapai target dari tugas-tugas yang dikerjakan, kita harus paham mengenai manajemen waktu. Manajemen waktu adalah suatu proses untuk melakukan kontrol atas waktu dengan batas tertentu untuk melakukan tugas tertentu. Manajemen waktu adalah kemampuan untuk merencanakan dan menggunakan waktu semaksimal mungkin.

Menurut hukum Pareto 20/80, 20% adalah waktu yang digunakan untuk bekerja secara efisien, sedangkan 80% nya tidak. Lalu kenapa hanya 20% saja yang efektif? Dan bagaimana cara meningkatkan efektifitas waktu yang digunakan? Berdasarkan hukum Pareto, jika semakin banyak waktu kerja yang efektif, maka semakin banyak pula pekerjaannya. Namun hal ini dinilai tidak benar, banyaknya dan kualitas tugas yang dikerjakan dipengaruhi oleh profesionalisme, kualifikasi, dan pengalaman. Untuk mencapai efisiensi yang baik, perlu landasan yang kokoh seperti, motivasi yang tinggi dan juga minat.

Managemen Waktu sendiri juga dapat diartikan sebagai ilmu dimana manusia dapat menggunakan waktu secara berdaya guna dan berhasil guna yang dapat Grameds pelajari pada buku Manajemen Waktu:

Menurut Atkinson, manajemen waktu adalah suatu jenis keterampilan yang berkaitan dengan berbagai bentuk upaya dan tindakan individu yang dilakukan dengan terencana agar seseorang mampu memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
 
Menurut Forsyth, manajemen waktu adalah sebuah cara untuk membuat waktu terkendali sehingga dapat menciptakan efektivitas dan produktivitas.
 
Menurut Akram, manajemen waktu adalah kemampuan menggunakan waktu dengan efektif dan efisien untuk memperoleh manfaat yang maksimal.
 
Menurut Orr, manajemen waktu adalah pemanfaatan waktu untuk melakukan hal-hal yang dianggap penting dan sudah certat di tabel kerja.
 
Menurut Leman, manajemen waktu adalah penggunaan dan pemanfaatan waktu sebaik mungkin dengan membuat rencana aktivitas yang tersusun.

Menurut Davidson, manajemen waktu adalah sebuah cara untuk memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin dimana seseorang bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan cerdas.
 
Menurut Frederick Winslow Taylor, manajemen waktu adalah sebuah proses pencapaian tujuan utama kehidupan sebagai hasil dari mengenyampingkan kegiatan yang kurang bermanfaat dan memakan banyak waktu.


Kembali pada topik keterlambatan mursyid thoriqah dalam ajang internasional yang membuat malu Mursyid thoriqah dunia yang menunggu lama diatas panggung lalu kemudian saya tertegun sejenak dan ingat statemen imam Syafi'i.

Ada sebuah fenomena dua pelajaran berharga dari Kaum Sufi untuk Imam As-Syafi’i.
Sebagian ulama bahkan mengatakan, seorang sufi adalah anak zamannya.

Kaum sufi harus diakui bukan kaum pemalas yang menunda-nunda pekerjaan dan kewajiban. Kaum sufi adalah mereka yang pandai menggunakan waktu sesuai tuntutan zamannya. Tentu saja hal ini berkaitan dengan hubungan kehambaan mereka dalam berbagai bentuk ibadah maupun kewajiban dengan ikhlas.

Imam As-Sya’rani menceritakan betapa besarnya perhatian kaum sufi terhadap waktu. Kaum sufi sangat disiplin dan tertib dalam memanfaatkan waktu. Sebagian ulama bahkan mengatakan, seorang sufi adalah anak zamannya.

Imam As-Sya’rani meriwayatkan betapa tingginya kedisiplinan kaum sufi terkait waktu. Imam As-Sya’rani menceritakan kerendahan hati Imam As-Syafi’i yang senang berkumpul dengan kaum sufi. Padahal Imam As-Syafi’i merupakan ulama besar di zamannya dan juga diakui hingga kini.

Ketika ditanya, “Apa yang Anda dapat dari halaqah kaum sufi?” Imam As-Syafi’i menjawab sebagai berikut:

قال الإمام الشافعي رضي الله عنه: استفدت منهم شيئين: قولهم الوقت سيف إن لم تقطعه قطعك وقولهم إن لم تشغل نفسك بالخير شغلتك بالشر

Artinya, “Imam As-Syafi’i RA berkata, ‘Aku dapat dua pelajaran dari mereka: pertama, ucapan mereka bahwa waktu itu bagaikan pedang. Jika tidak cakap menggunakannya, ia akan mencelakaimu;  kedua, ucapan mereka bahwa jika tidak menyibukkan diri dengan kebaikan, maka kau akan terjatuh pada keburukan,’” (Imam As-Sya’rani, Al-Anwarul Qudsiyyah fi Bayani Qawa’idis Shufiyyah, [Beirut, Daru Shadir: 2010 M], halaman 141).

Imam Abul Qasim Al-Qusyairi dalam karyanya yang terkenal juga menceritakan besarnya perhatian kaum sufi terhadap waktu. Ia mendengar Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan, waktu itu adalah apa yang Anda jalani saat ini. Jika kini kamu sangat duniawi, maka waktumu adalah dunia. Jika kamu bersama akhirat, maka waktumu adalah akhirat. Jika kamu bahagia, maka waktumu adalah kebahagiaan. Tetapi jika kamu bersedih, maka waktumu adalah kesedihan.

Mengutip tulisan al-Hafidz Kurniawan yang mengatakan bahwa waktu yang dimaksud oleh Ad-Daqaq adalah kondisi dominan yang dilalui manusia dalam hidupnya. Yang jelas, kaum sufi menaruh perhatian besar pada waktu. Yang mereka maksud dengan waktu adalah sepenggal fase dalam perjalanan panjang waktu. Oleh karenanya, sekelompok sufi mengatakan, (satu fase) waktu (aau masa kini tepatnya) terapit oleh dua masa, yaitu masa lalu dan masa depan.

Wawasan akan waktu dan keterbatasan manusia ini digunakan oleh kaum sufi dalam kaitannya dengan kehambaan mereka terhadap Allah. Oleh karenanya, mereka memilih kegiatan prioritas untuk mengisi waktu yang dianugerahkan kepada mereka.

Sepenggal waktu itu mereka isi dengan kebaikan sebagaimana disinggung Imam As-Syafi’i di awal tulisan. Dengan demikian, setiap waktu yang dilalui kaum sufi hampir selalu diisi dengan kebaikan, baik itu ibadah mahdhah (hablum minallah) maupun kesalehan sosial (hablum minan nas/mu’asyarah bil ma’ruf).

ويقولون: الصوفي ابن وقته، يريدون بذلك: أنه مشتغل بما هو أولى به من العبادات في الحال، قائم بما هو مطلوب به في الحين. وقيل: الفقير لا يهمه ماضي وقته وآتيه، بل يهمه وقته الذي هو فيه

Artinya, “Kaum sufi berkata, seorang sufi adalah anak zamannya. Yang mereka maksud adalah bahwa seorang sufi menyibukkan diri dengan ibadah-ibadah yang lebih prioritas baginya pada waktu tersebut dan menunaikan kewajiban yang dituntut kepadanya ketika itu. Ada juga ulama yang mengatakan, sufi adalah seorang yang tidak bimbang pada masa lalu dan masa depan. Sufi terfokus pada masa kini yang sedang dijalaninya,” (Imam Al-Qusyayri, Ar-Risalatul Qusyayriyyah, [Kairo, Darus Salam: 2010 M/1431 H], halaman 38).

Demikian pelajaran penting yang ditangkap oleh Imam As-Syafi’i dari perkumpulan kaum sufi. Pelajaran penting dipegang betul oleh ulama besar sekaliber Imam As-Syafi’i. 

Rupanya, Mursyid thoriqah -mohon maaf- oknum Mursyid thoriqah yang terlalu banyak drama sepertinya hanya di negeri konoha ini yang merusak integritas dan kapasitas dunia tashawwuf. Seharusnya mereka tidak hanya pandai berdzikir saja tetapi juga pandai berfikir bagaimana memenej waktu dengan baik agar tidak merugikan orang lain.

Ada sebuah fakta menarik di sebuah kecamatan Pujer dimana salah satu masyarakat menggelar pengajian umum dengan mengundang muballigh tunggal dari kota Jember. Rupanya muballigh itu, hadir pukul satu dini hari saat undangan pulang semua padahal konon muballigh itu salah satu Mursid thoriqah ternama di kotanya. Saat tiba dilokasi, ia diteriaki oleh panitia:

"Tekat kyai. Jika tidak malu silahkan turun dari kendaraan. Anda sudah merusak acara kami. Jika tidak berkenan hadir, kenapa tidak terus terang tentu kami akan mengundang muballigh lain. "Teriaknya sambil mengusir muballigh itu.
 Wallahu a’lam.


Salam akal sehat, Prajekan Kidul 9 April 2025

Selasa, 08 April 2025

*Walisongo Pribumi, Klan Ba'alwi Imigran: Meluruskan Sejarah Islam Nusantara Secara Ilmiah dan Logis*



https://www.walisongobangkit.com/walisongo-pribumi-klan-baalwi-imigran-meluruskan-sejarah-islam-nusantara-secara-ilmiah-dan-logis/

________________________________________
*Pendahuluan*
Diskursus mengenai siapa yang menyebarkan Islam di Nusantara sering kali ditarik ke wilayah polemik yang sarat kepentingan identitas dan politik simbolik. Salah satu narasi bermasalah yang beredar adalah klaim bahwa klan Ba'alwi dari Hadhramaut adalah bagian dari Walisongo, bahkan dianggap lebih berjasa dari tokoh lokal dalam Islamisasi Nusantara. Narasi ini tak hanya ahistoris, tetapi juga membingungkan masyarakat awam dan mengaburkan realitas sejarah.
Artikel ini bertujuan meluruskan klaim tersebut secara ilmiah dan logis, dengan menegaskan bahwa *Walisongo adalah tokoh pribumi Nusantara*, sedangkan *klan Ba'alwi adalah kelompok imigran* yang datang jauh setelah Islam berakar di tanah air. Dengan pendekatan sejarah, antropologi, hukum kolonial, serta referensi dari para ahli Indonesia dan internasional, kita akan buktikan bahwa klaim Ba'alwi sebagai "pribumi rohani" Nusantara adalah manipulasi sejarah belaka.
________________________________________
*1. Walisongo adalah Tokoh Pribumi, Berakar di Tanah Jawa dan Nusantara*
Walisongo adalah sekelompok ulama yang menyebarkan Islam secara damai dan kultural di tanah Jawa sejak abad ke-15 hingga ke-16. Mereka bukanlah pendatang asing, tetapi tokoh-tokoh yang menyatu/membaur/menikah dengan masyarakat pribumi dan berdakwah di lingkungan masyarakat pribumi.
*Bukti historis dari sejarawan terkemuka seperti Prof. Dr. Agus Sunyoto (2014)* menunjukkan bahwa:
• Sunan Kalijaga (Raden Mas Said) adalah putra Adipati Tuban.
• Sunan Giri adalah keturunan Arya Teja, bangsawan Blambangan.
• Sunan Gunung Jati memiliki garis keturunan Prabu Siliwangi dan Majapahit.
Mereka menggunakan bahasa daerah, mengadopsi kesenian lokal (gamelan, wayang), serta menikah dengan masyarakat setempat—semua ini adalah indikator kuat bahwa mereka adalah bagian integral dari struktur sosial dan budaya Nusantara.
*Referensi:*
• Sunyoto, A. (2014). Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN.
• Ali, M. (2018). Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Pustaka Compass.
________________________________________
*2. Klan Ba'alwi adalah Imigran Hadhrami, Bukan Pribumi*
Berbeda dengan Walisongo, klan Ba'alwi berasal dari luar wilayah Nusantara, yakni dari Tarim, Hadhramaut (Yaman). Mereka mulai bermigrasi ke Indonesia baru pada abad ke-18 hingga ke-19, yaitu ratusan tahun setelah Islam berkembang pesat di wilayah ini.
Klaim bahwa mereka bagian dari penyebaran awal Islam di Nusantara bertentangan dengan bukti ilmiah:
• *Dr. Engseng Ho* menyatakan dalam The Graves of Tarim bahwa migrasi besar klan Ba’alwi ke Asia Tenggara baru terjadi setelah abad ke-18.
• *Dr. Huub de Jonge*, dalam risetnya, menunjukkan bahwa kaum Hadhrami merupakan komunitas Arab diaspora yang datang untuk berdagang dan menyebarkan pengaruh sosial politik, bukan bagian dari komunitas asli lokal.
Kehadiran mereka tidak melalui proses asimilasi, melainkan segregasi: mereka menjaga eksklusivitas nasab, tidak menikah dengan perempuan pribumi non-Ba'alwi, bahkan melarang habibah dinikahi selain oleh habib.
*Referensi:*
• Ho, E. (2006). The Graves of Tarim. University of California Press.
• de Jonge, H. (1993). Hadhrami Arabs in Indonesia. Oxford University Press.
________________________________________
*3. Status Hukum Kolonial: Ba'alwi = Vreemde Oosterlingen, Bukan Inlanders*
Sistem hukum kolonial Hindia Belanda memiliki klasifikasi sosial hukum yang ketat:
1. Europeanen (Orang Eropa)
2. Vreemde Oosterlingen (Timur Asing): Arab, Tionghoa, India
3. Inlanders (Pribumi): Penduduk asli Kepulauan Nusantara
*Kaum Ba'alwi diklasifikasikan oleh Belanda sebagai Vreemde Oosterlingen*, alias warga asing, dan *bukan termasuk Inlanders*. Artinya secara hukum dan administrasi kolonial, *mereka bukan bagian dari bangsa pribumi*. Sementara itu, tokoh Walisongo tidak pernah masuk klasifikasi ini karena mereka adalah bagian dari masyarakat lokal sejak lahir.
*Referensi:*
• Abeyasekere, S. (1987). Jakarta: A History. Oxford University Press.
• Laffan, M. (2011). The Makings of Indonesian Islam. Princeton University Press.
________________________________________
*4. Klan Ba'alwi Tidak Memenuhi Syarat Kultural sebagai Pribumi*
Secara sosial-kultural, indikator pribumi tidak hanya ditentukan oleh tempat tinggal, tetapi oleh *asimilasi sosial, pernikahan campuran, bahasa, dan loyalitas budaya*. Klan Ba’alwi secara konsisten mempertahankan eksklusivitas sosial:
• Mereka mengklaim hanya sesama habib yang boleh menikah dengan habibah.
• Menolak melebur dengan adat lokal seperti wayang, gamelan, dan sastra lokal.
• Memposisikan diri secara simbolik sebagai "sayyid" yang harus dihormati, padahal klaim itu tidak terbukti dalam filologi, sejarah, dan genetika.
Sebaliknya, Walisongo justru berbaur sepenuhnya dengan kultur lokal, bahkan menciptakan seni Islam berbasis budaya lokal.
*Contoh video eksklusivitas pernikahan Ba'alwi:*
https://www.youtube.com/watch?v=3zAwC7GrqYY
________________________________________
*5. Argumen Ilmiah: Klaim Nasab Ba'alwi Tidak Terbukti*
Klaim bahwa Ba’alwi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW juga *gagal dibuktikan secara ilmiah*, baik dari segi:
• *Sejarah*: Tidak ada dokumen primer abad ke-4–5 Hijriah yang menyebut Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir memiliki anak bernama Alawi.
• *Filologi*: Penamaan Alawi bin Ubaidillah baru muncul ratusan tahun setelahnya tanpa rantai sanad yang kuat.
• *Genetika*: Penelitian oleh Dr. Michael Hammer dan Dr. Sugeng Sugiarto menunjukkan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW secara genetik termasuk haplogroup J1, sementara banyak dari Ba’alwi yang justru termasuk haplogroup G, yang bukan dari jalur Nabi.
*Referensi:*
• Hammer, M. et al. (2009). Extended Y chromosome haplotypes resolve multiple and unique lineages of the Jewish priesthood. Human Genetics.
• Sugiarto, S. (2021). Haplogroup dan Keilmuan Nasab dalam Perspektif Genetika Populasi. Seminar Genetika Indonesia.
________________________________________
*Kesimpulan: Klarifikasi Penting untuk Identitas dan Sejarah Bangsa*
• *Walisongo adalah tokoh pribumi Nusantara*—mereka lahir, besar, hidup, menikah, dan berdakwah di tanah ini.
• *Klan Ba’alwi adalah imigran* yang datang ratusan tahun kemudian, tidak melebur, dan dikategorikan sebagai orang asing oleh sistem kolonial.
• *Klaim mereka sebagai penyebar utama Islam di Nusantara tidak berdasar*, baik secara historis, hukum kolonial, maupun genetika.
________________________________________
*Penutup*
Meluruskan sejarah adalah tanggung jawab moral dan intelektual. Ini bukan soal benci atau diskriminasi, tapi soal *menjaga kejujuran sejarah dan martabat bangsa*. Mengangkat tokoh lokal yang benar-benar berjasa dalam membentuk wajah Islam Nusantara adalah bagian dari upaya memperkuat identitas Indonesia yang merdeka, inklusif, dan berdaulat atas narasi sejarahnya sendiri.
________________________________________
#SejarahBerdasarkanFakta #IslamNusantara #TolakKlaimPalsu #WalisongoPribumi #KlanBaAlwiImigran
________________________________________