MUTIARA ILMU

Rabu, 12 Maret 2025

PUASA PERSPEKTIF SOSIAL





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Puasa ini merupakan institusi pendidikan untuk mengekpresikan diri ditengah tengah masyarakat dalam menyalurkan donasi pada orang lain yang membutuhkan kendati itu tidak besar.

Tadi malam saya kedatangan tamu dari Nangkaan Bondowoso seorang marbot masjid Jamik al-Amin. Kedatangannya jauh jauh dari kota Bondowoso disamping untuk silaturahim juga memberi hadiah cincin asli Kalimantan. Pasalnya, saat ngisi pengajian yang bersangkutan melihat jari jemari saya ada cincinya. Sehingga ia berinisiasi ingin memberi hadiah cincin pada saya.

Ndilalah sosoknya yang religius dan gemar mengkhatamkan al-Qur'an maka saya juga berinisiasi memberikan hadiah al-Qur'an khusus penghafal al-Qur'an untuk mempermudah dirinya dalam memahami kandungan isi al-Qur'an. Sebab al-Quran itu didesign terjemah perkata dan terjemah bebas lengkap dengan tafsirnya. Ini yang dinamakan simbiosis mutualisme saat dibulan suci ramadhan.

Mengutip tulisan Dr. Mukhtar  Hadi, M. Si. Direktur Pascasarjana IAIN Metro yang mengatakan bahwa  melaksanakan ibadah puasa adalah bentuk ketundukan atas perintah Allah SWT kepada setiap orang-orang yang beriman. Tujuannya supaya menjadi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183). Namun demikian, Puasa bukan hanya ibadah yang berdimensi spiritual individual.  Artinya, puasa  bukan  ibadah yang manfaat dan dampaknya dirasakan oleh individu yang berpuasa saja. Akan tetapi puasa juga memiliki dimensi sosial yang sangat luas.

Meskipun secara terbatas dalam kitab-kitab Fiqih pengertian puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan minum, melakukan hubungan suami istri ketika sedang berpuasa, Namun, esensi  puasa sesungguhnya bukan hanya menahan lapar dan dahaga saja. Demikian di sabdakan oleh Nabi SAW, yaitu berapa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dan tidak mendapatkan pahala puasa. Mengapa demikian? Karena orang tersebut berpuasa tetapi juga masih mengumpat orang lain, berkata-kata yang kotor, berseteru dengan orang lain, melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan  maksiat dan lain sebagainya.

Pada saat orang yang berpuasa bukan hanya memuasakan perutnya saja dengan tidak memasukkan makanan dan minuman, tetapi hatinya berpuasa, mulutnya berpuasa, tangan dan kaki serta anggota tubuh yang lain juga berpuasa. Pendek kata, baik aspek lahiriah maupun batiniah semuanya harus berpuasa.

Seseorang yang berpuasa dan merasakan beratnya lapar dan dahaga, lelah dan lemahnya badan fisik tanpa asupan makanan dan minuman, maka secara batiniah akan menyelami dan merasakan penderitaan orang-orang yang miskin dan papa. Banyak orang yang berada dalam kondisi fakir dan  miskin yang jangankan memiliki persediaan makan untuk beberapa hari, untuk makan hari itu saja mereka kesulitan. Dengan terpaksa mereka makan seadanya, sehari terkadang makan hanya satu kali, bahkan tidak sama sekali. Kondisi itu bagi sebagian orang yang fakir miskin terkadang bukan berbilang sehari dua hari, seminggu atau hanya satu bulan, tetapi boleh jadi berhari-hari dan sepanjang hari.

Masih beruntung orang yang berpuasa yang masih menemukan makanan berbuka. Kadang-kadang makanan berbuka itu beraneka macam dan warna. Bagi orang yang fakir dan papa itu, harapan untuk  berbuka itu kadang-kadang tidak ada sehingga mereka seperti berpuasa sepanjang masa. Pada tataran inilah, puasa akan melatih kepekaan sosial dan mengasah rasa kepedulian sosial kita dengan orang lain yang kurang beruntung. Simbol dan bentuk langsung empati dan kepedulian sosial itu sebagaimana diperintahkan dan dicontohkan Nabi supaya di bulan suci Ramadhan untuk memperbanyak sedekah dan berinfak serta memberi makan orang-orang yang sedang berpuasa.

Kepedulian sosial dan kesediaan membantu orang lain serta ringan mengulurkan tangan menolong orang lain adalah bentuk nyata impelemensi dari nilai-nilai sosial ibadah puasa. Dimensi sosialnya sangat luas, yakni bukan hanya membantu orang-orang dari kelompok sendiri, namun juga orang lain tanpa ada sekat-sekat agama, etnis, suku atau golongan. Menolong dan membantu orang yang kesulitan hanya memiliki satu nama, yaitu atas nama kemanusiaan. Demikianlah agama Islam mengajarkan.

Muslim Indonesia yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk dan Berbhineka Tunggal Ika dituntut untuk memiliki pandangan kemanusiaan yang universal tersebut. Suatu masyarakat yang majemuk membutuhkan kesatuan dan kebersamaan dalam rangka mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Semua itu bisa diwujudkan jika terbentuk kohesi sosial yang kuat. Kohesi sosial adalah perekat atau ikatan yang menjaga masyarakat tetap bersatu dan terintegrasi. Di dalamnya ada nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan bersama yang dibagi pada seluruh anggota masyarakat sebagai acuan moral.  Kerjasama, saling membantu, saling meringankan beban dan peduli kepada sesama adalah perekat sosial yang  bisa  mengokohkan kohesi sosial.

Puasa adalah madrasah sosial yang dapat membentuk diri menjadi pribadi muslim yang kuat dan tangguh secara spiritual tetapi juga tangguh secara sosial. Mari kita laksanakan ibadah  puasa dengan sungguh-sungguh hingga sampai pada makna esensialnya. Puasa yang tidak sekedar lapar dan dahaga.  Wallahu a’lam bishawab.

Salam akal sehat, Bondowoso 11 Maret 2025

PUASA PERSPEKTIF PSIKOLOGI





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Hidup ini memang fatamorgana, pasalnya orang banyak menyangka mutiara ada diatas kepala orang lain. Tidak sedikit orang menduga bahwa kehidupan saya bersama keluarga adem ayem tanpa pertengkaran. Kelihatannya memang begitu. Sebab saya belum pernah bertengkar dengan istri didepan anak anak apalagi didepak publik.

So, mana ada keluarga tidak ada konflik sedangkan nabi sendiri pernah berkonflik dengan isteri mudanya Sayyidah Aisyah apalagi hanya seorang Saeful. Siapa sih Saeful itu? Ia hanya manusia biasa yang berusaha menyembunyikan persoalan keluarganya agar tidak menjadi konsumsi publik. 

Ini masalah kematangan hidup. Gelar akademik bukan jaminan mampu mensilen masalah keluarganya pada orang lain. Mengapa demikian? Pasalnya, saya pernah menjadi konsultan keluarga guru besar di Malang dan profesor di Situbondo yang mengalami problematika dalam keluarganya.

Alaa kulli hal, bukannya saya hebat, melainkan berusaha menyimpan rapat rapat masalah keluarga kepada orang lain. Kemarin ada insiden kecil dirumah karena masalah marwah dan integritas saya sebagai kepala rumah tangga, nyaris menjadi persoalan problematik, namun saya ingat bahwa saat itu dalam kondisi puasa. Artinya, dengan puasa bisa meredam emosi dan tanpa malu saya menyapa duluan. Subhanallah, sejak peristiwa itu hubungan saya dengan keluarga semakin harmonis. 

Ada Kalam hikmah, untuk menggapai kebahagian dan keharmonisan keluarga perlu diciptakan riak riak kecil sebagai bumbu dalam rumah tangga.

Bulan Ramadhan emang sebentar lagi akan seleswi, tapi tidak ada salahnya kan untuk tetap memberikan informasi tentang puasa ? Nah kali ini kita ingin memberikan informasi pentingnya berpuasa dilihat dari perspektif psikologinya.

Ritual puasa bagi umat Islam adalah merupakan kredo peribadatan yang sifatnya rutin, terjadi terus menerus setiap setahun sekali, dimana umat islam wajib untuk melaksanakan karena puasa ini merupakan perintah Agama. 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertaqwa.”(QS. Al Baqarah 183).

Inti perintah untuk menjalankan ibadah bagi umat Islam adalah pengendalian diri atau self control. Mengapa aspek pengendalian ini penting ? Karena pengendalian diri merupakan salah satu komponen utama bagi upaya perwujutan kehidupan jiwa yang sehat.

Dalam perspektif ilmu psikologi dan kesehatan mental, kemampuan mengendalikan diri adalah merupakan indikasi utama sehat tidaknya kehidupan rohaniah seseorang. Orang yang sehat secara kejiwaan akan memiliki tingkat kemampuan pengendalian diri yang baik, sehingga terhindar dari berbagai gangguan jiwa ringan apalagi yang berat.

Manfaat Pengendalian Diri. Bukti ilmiah tentang manfaat mengendalikan diri ditulis oleh Daniel Goleman, seorang ahli kepribadian dan peneliti tentang kecerdasar emosi. Salah satu penelitiannya mengadakan penelitian pada anak-anak berusia empat tahun di taman kanak-kanak. 

Pertama sekali anak-anak di suruh masuk kesebuah ruangan satu persatu, dimana sepotong manisan di letakkan diatas meja di depan mereka, sambil diperintahkan

 “kalian boleh makan manisan ini jika mau, saya mau keluar sebentar, tetapi kalau ada yang tahan memakannya nanti setelah saya kembali ke sini, dia akan berhak mendapatkan sepotong lagi”.maka hasilnya ada yang memakan dan ada yang tidak.

Setelah empat belas tahun kemudian, dimana anak-anak itu telah lulus sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) anak-anak yang dahulu langsung memakan manisan dan anak-anak yang mampu mengendalikan diri sehingga mendapat dua potong menunjukkan perkembangan sebagai berikut. mereka yang langsung memakan manisan cendrung tidak tahan menghadapi stres, mudah tersinggung, mudah berkelahi, dan kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita mereka

Peneliti juga menemukan hasil yang mengejutkan dimana anak-anak yang mampu menahan diri dalam uji manisan, memperoleh nilai yang lebih tinggi dalam ujian masuk ke perguruan tinggi dan juga ketika anak-anak TK itu tumbuh menjadi dewasa dan bekerja, perbedaan-perbedaan diantara mereka semangkin mencolok, dipenghujung usia duapuluhan, mereka yang lulus uji manisan tergolong orang-orang yang sangat cerdas, berminat tinggi dan lebih mampu berkonsentrasi, mereka lebih mampu mengembangkan hubungan yang tulus dan akrab degan orang lain, lebih handal dan bertanggung jawab serta pengendalian dirinya lebih baik saat menghadapi prustasi.

Dari hasil penelitian di atas dapat dipahami bahwa orang yang dapat mengendalikan diri diperkirakan akan mampu menghadapi tantangan, godaan dan rintangan hidup, mereka juga diperkirakan akan memiliki tingkat konsentrasi lebih tinggi dalam bekerja, dan mereka juga mampu mengembangkan hubungan yang akrab dan tulus dengan orang lain, mereka mempunyai hubungan sosial yang lebih baik, mereka juga lebih handal dan bertanggung jawab dan pengendalian dirinya lebih baik saat dia menghadapi masalah sehingga tidak menimbulkan prustasi.

Hubungan Puasa dengan Kesehatan Jiwa. Doktor Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Moskow mencoba menyembuhkan gangguan jiwa dengan berpuasa. Dalam usahanya itu ia melakukan terapi terhadap pasiennya dengan menggunakan 30 hari puasa (persis puasanya orang Islam).

Nicolayef mengadakan penelitian ekperiment dengan membagi subyek menjadi dua kelompok yang sama besar, baik usia maupun berat ringannya gangguan. Kelompok pertama diberi terapi atau pengobatan dengan menggunakan obat-obatan medis. Sementara kelompok ke II diperintahkan untuk berpuasa selama 30 hari. Dua kelompok tadi diikuti perkembangan fisik dan mentalnya dengan tes-tes psikologi.

Dari ekperimen ini diperoleh hasil yang sangat baik, yaitu banyak pasien-pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan terapi medik ternyata bisa sembuh dengan berpuasa. 

Sementara itu Prof. Dr. Dadang Hawari, guru besar psikitari UI Jakarta dalam penelitiannya juga menemukan bahwa gangguan-gangguan jiwa non psikosis (seperti fobia, obsesif kompulasi, panic disorder) dapat disembuhkan dengan terapi puasa, baik puasa ramadhan maupun puasa sunat.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta tentang hubungan puasa dan kepekaan sosial, menemukan temuan bahwa puasa secara significan berhubungan positip dengan sensitifitas sosial. Artinya perilaku puasa dapat meningkatkan kepekaan sosial sehingga dengan kepekaan itu individu manjadi mudah memberi pertolongan (helping behavior) dan suka mengembangkan perilaku-perilaku yang bersifat pro sosial.

Menurut Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. kandungan puasa yang berefek positip bagi perkembangan kecerdasan emosional manusia.

Mengontrol diri. Tak ada kamus bagi manusia untuk menahan haus dan lapar. Secara instingtif manusia akan melakukan tindakan makan atau minum begitu merasa lapar atau dahaga. 

Namun dengan berpuasa manusia dilatih dan menjadi terlatih untuk mengontrol/menahan diri untuk tidak makan atau minum sehebat apapun rasa haus dan lapar tersebut, karena ia sadar bahwa dirinya sedang berpuasa.
Menahan emosi. Tempramen manusia kadang sulit dikendalikan. 

Lewat puasa manusia dilatih dan terlatih untuk menahan emsosi, sebab ada nilai dalam puasa yang mengajarkan “kalau sedang puasa tidak boleh marah-marah” atau “ tidak boleh bertengkar, nanti puasanya batal lho” dan sebagainya.
Mengajarkan arti berbagi, bulan puasa adalah bulan untuk banyak berbagi (beramal). 

Orang tua bisa memberi contoh dan menjelaskan realitas kepada anak-anaknya (murid-muridnya) bahwa di luar lingkungan keluarganya (diluaran sana) ada orang yang kekurangan, harus dibantu harus ditolong dan sebagainya, saat berbagai dengan orang lain (misalnya sedekah, zakat) libatkanlah anak, minta anak memberikan sumbangan atau bantuan.

Cara ini akan melatih emosi anak untuk lebih peduli (empati) pada orang lain. Selain itu akan mengurangi ego anak, dan mengajarkan anak untuk mau dan senang berbagi dengan orang lain. Marhaban ya Ramadhan, selamat menjalankan ibadah puasa semoga puasa membawa kita menjadi manusia santun, sabar dan mampu menahan diri. Amin.


Salam akal sehat, Bondowoso, 11 Maret 2025