MUTIARA ILMU

Sabtu, 07 Desember 2024

KYAI DAN NYAI


Dalam masyarakat Jawa, Kyai adalah sebutan untuk orang, barang maupun hewan (bergender laki-laki) yang dihormati maupun dituakan. Sementara Nyai adalah sebutan untuk yang bergender perempuan.

Kyai dan Nyai untuk sebutan orang biasanya disematkan kepada tokoh-tokoh masyarakat. Tetapi untuk orang yang sudah meninggal, yang muda pun kadang disebut Kyai maupun Nyai juga dinisannya. Sehingga tidak mengherankan jika makam di pelosok-pelosok, di nisan-nisannya tertulis kata Kyai maupun Nyai, meskipun orang yang dimakamkan disitu bukan tokoh terkenal. Tetapi pada jaman sekarang ini, sebutan Kyai ini lebih banyak diasosiasikan pada tokoh agama.

Kyai/Nyai untuk penamaan barang biasanya terkait dengan senjata perang yang dimiliki oleh orang-orang kerajaan. Misalnya tombak Kyai Pleret, yang merupakan salah satu pusaka jaman Mataram, keris Kyai Setan Kober milik adipati Jipang (Arya Penangsang) dan keris Kyai Naga Siloeman yang dipercaya merupakan milik Pangeran Diponegoro.

Selain untuk penamaan senjata, Kyai/Nyai ini dipakai juga untuk menamai alat musik, misalnya gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga milik keraton Yogyakarta. Bahkan ada juga konsep gamelan yang menggunakan nama Kyai, yaitu gamelan Kyai Kanjeng. 

Sementara Kyai/Nyai untuk sebutan hewan biasanya disematkan pada hewan-hewan milik para tokoh maupun milik kerajaan, misalnya kuda Kyai Gagak Rimang milik adipati Jipang (Arya Penangsang) maupun Nyai Debleng Sepuh, kerbau bule milik keraton Solo.

Selain disematkan pada orang, barang dan hewan, Kyai/Nyai ini disematkan juga pada hal-hal diluar nalar, misalnya Kyai Sapu Jagad,  sebutan untuk ‘penunggu’ gunung Merapi.

Sebenarnya di lingkungan orang Jawa itu tidak boleh meninggikan dirinya sendiri atau "mbasakke awake dhewe"

Jadi kalau ada orang jawa menyebut dirinya dengan Ki atau Kyai secara unggah ungguh tata krama tidak benar, biarlah sebutan Kyai dan Nyai itu orang lain yang menyebut. Bukan dirinya sendiri.

Jumat, 06 Desember 2024

Peringatan ke-278 Tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat

Salam hormat untuk semua.

Keraton Yogyakarta baru saja menggelar peringatan ke-278 tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat pada Minggu Pahing (01/12) atau 29 Jumadilawal Je 1958 dalam kalender Jawa. Hadeging Nagari merupakan momentum bersejarah berdirinya negara dan pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang ditandai melalui deklarasi berdirinya Nagari Ngayogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tanggal 13 Maret 1755 atau 29 Jumadilawal 1680.

Mengawali serangkaian acara, serombongan Abdi Dalem Kanca Kaji dan Pengulon berziarah serta doa bersama ke makam pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I, di Pajimatan Imogiri, Bantul pada Sabtu Legi pagi (30/11). Kegiatan dilanjutkan pada malam harinya, dengan mujahadah akbar dan doa bersama di Kagungan Dalem Masjid Gedhe.

Dalam sambutan peringatan Hadeging Nagari, Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 menuturkan bahwa, “Sejarah jangan pula dipandang sebagai arsip peristiwa semata melainkan cermin yang merefleksikan kebijaksanaan peradaban, agar umat manusia tidak mengulang kesalahan yang sama.”

Tidak hanya bagi keraton, peristiwa Hadeging Nagari mengandung makna mendalam bagi masyarakat Yogyakarta, mengingat Keraton Yogyakarta masih berdiri kokoh sejak Perjanjian Giyanti dan masih bertahan sampai saat ini.

Photo : Kawedanan Tandha Yekti

#hadegingnagari#kratonjogja#keratonyogyakarta