MUTIARA ILMU

Sabtu, 24 Agustus 2024

TAFSIR PITUTUR BAHASA MADURA : OMONG KOSONG




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



"Kabannya'an galudhuk korang ojannah, artenah: caca ngebbul tape tadha' buktenah otaba Olle sowarah maloloh tape tadha' daddhinah"

Artinya, omong kosong tanpa bukti apa apa.


Saat saya mondok dipesantren al-Utsmani Beddian Jambesari Bondowoso ada rekan satu kelas sesumbar pada rekan rekan satu kelas yang lain, dirinya tidak akan berhenti mondok kalau belum melanjutkan kejenjang pendidikan berikutnya yaitu madrasah Tsanawiyah hingga menjadi guru tugas sebagai syarat kelulusan. Ternyata, tahun berikutnya saya dengar yang bersangkutan bukan melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi tetapi melanjutkan kepalaminan.

Dalam kesempatan lain, saat saya kuliah program doktor di Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ada salah satu teman kelas, sesumbar kepada teman kelas lainnya bahwa dirinya akan menyelesaikan ujian terbuka duluan dan mau minta promotor yang ideal yaitu Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo, MA agar kualitas disertasinya sangat bagus sekali. Bukannya selesai lebih dahulu tetapi hingga saya selesai ujian promosi doktor yang bersangkutan konon berhenti ditengah jalan. Oleh sebab itu, jangan pernah sesumbar kepada orang lain jika tidak sesuai dengan kualitas dan kapasitas dirinya. Hal ini pernah terpotret dalam al-Qur'an:

"Hai orang-orang beriman! Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan? Dalam pandangan Allah, sangat kejilah perbuatan kalian mengatakan sesuatu tanpa kalia kerjakan." (QS ash Saff : 2-3).

Ternyata berbuat omong kosong, hanya merangkai kata-kata, yang tak berwujud dalam perbuatan, mengandung ancaman besar. Allah SWT mengecam keras perbuatan itu. Sebab, bagaimanapun, mengatakan apa-apa tanpa berbuat apa-apa terhadap yang dikatakan itu, berdampak luar biasa. Baik secara kejiwaan, maupun kemasyarakatan.

Hati nurani orang yang hanya bicara tanpa berbuat akan mengakui hal itu sebagai kedustaan. Sebuah dosa besar yang akan merusakan tatanan sosial menyeluruh. Bagaimana mungkin orang yang hati nuraninya terus diusik dosa kedustaan, akan dapat hidup tenang dan harmonis di tengah lingkungannya yang menganggap dusta sebagai perbuatan tak bermoral?

Dalam menafsirkan ayat di atas, Abdullah Yusuf "The Holly Quran", mengungkap "asbabun nuzul" (penyebab turunnya), berkenaan dengan Perang Uhud, tahun 3 Hijriyah:

"Pada Perang Uhud, ada beberapa orang tidak menaati perintah, dan dengan begitu mereka merusak disiplin. Mereka banyak bicara, tetapi keputusan kata-katanya tidak didukung oleh perbuatan yang nyata dan tegas. Perilaku demikian, sangat keji menurut pandangan Allah. Hanya karena karunia pertolongan Allah, mereka diselamatkan dari petaka itu."

Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan sebuah hadis tentang nasib orang yang hanya pandai berkata-kata, tanpa tindakan nyata. "Pada hari kiamat kelak, ada seseorang dipanggil. Ia kemudian di lemparkan ke dalam neraka sehingga ususnya terburai, dan berputar-putar bagai keledai menarik penggilingan. Penduduk neraka mengerumuninya, dan bertanya "Mengapa kamu ini? Bukankah kamu dulu suka memerintahkan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran?"

Orang tersebut menjawab: "Benar! Aku suka mengajak kalian berbuat kebaikan, tapi aku sendiri justru tidak melakukannya. Aku juga suka mencegah kalian dari kemunkaran, tapi aku sendiri malah melakukannya."

Sebuah hadis senada, diriwayatkan Imam Ahmad dalam "Musnad". Rasulullah SAW bersabda: "Ketika perjalanan malam Isra Miraj, aku melewati sekelompok orang yang sedang mengguntingi bibir-bibir mereka dengan gunting yang terbuat dari api neraka. Kepada Malaikat Jibril, aku bertanya: "Siapa mereka?"

Jawab Jibril: "Mereka adalah umatmu, yang menjadi juru dakwah di dunia. Mereka selalu memerintahkan kebaikan kepada setiap orang, tapi melupakan diri mereka sendiri."

Mengingat begitu besar bahaya yang ditimbulkan akibat berkata tanpa berbuat, sebaiknya kita hati-hati dalam berkata-kata. Sekiranya apa yang kita katakan tak dapat dibuktikan dalam perbuatan, sebaiknya tidak berkata-kata saja. Sebagaimana sabda Nabi SAW "falyaqul khairan awu li yasmut". Berkata baik, atau diam. Perkataan baik itu, adalah perkataan yang bemanfaat, yang dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya. Jika hanya obral kata, yang cuma bualan saja, lebih baik tutup mulut. "Ashamtu hikmah". Diam itu hikmah, kata sebuah hadis.

Bahkan, berbuat sesuatu tanpa banyak koar-koar, lebih bagus lagi. Pepatah Arab menyebutkan, "af'alul hal, khairun min afshahul qawl". Berbuat sesuatu lebih baik daripada sefasih apa pun perkataan.

Apalagi, mengingat segala ucapan dan tindakan yang kita lakukan selama hidup di dunia, dicatat cermat oleh Allah SWT (QS al Kahfi : 49), untuk dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Arsip jejak digital milik Allah SWT, amat lengkap, dan sempurna. Bahkan, yang baru tebersit dalam hati dan pikiran, sudah terekam. Sehingga, tak ada celah untuk membantahnya.


Salam akal sehat

TAFSIR PITUTUR BAHASA MADURA: RUGI DUA KALI




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



"E tapok e kala' odenga, Artena, Rogi dukalajeh."

Artinya, sudah jauh ditimpa tangga.


Beberapa waktu yang lalu, ada tetangga rumah Koncer Kidul Tenggarang Bondowoso mencalonkan bupati tetapi kalah dengan kandidat lain. Sialnya lagi, pasca kekalahan dari perhelatan politik daerah tiba-tiba yang bersangkutan digugat cerai isterinya padahal sudah dikarunia buah hati. Sudah kehilangan jabatan masih kehilangan isterinya.

Beberapa tahun silam saat saya masih kecil, dirumah kakek dan nenek desa Jambeanom terjadi huru hara keluarga tentang sengketa tanah sawah. Tanah sawah yang menjadi milik kakek warisan dari orang tuanya dirampas oleh saudara saudaranya sendiri. Takut terjadi pertumpahan darah, akhirnya kakek pilih mengalah menyerahkan warisan orang tuanya. Namun apa yang terjadi, orang yang merampas tanah milik kakek saya sakit-sakitan hingga meninggal dunia. 

Masih didunia sudah mendapat adzab Tuhan apalagi di akhirat. Konon, orang yang kerapkali merampas hak orang lain, maka yang bersangkutan akan ditimpakan tanah tersebut hingga sampai kedalam perut bumi. 

Saya ingat dengan mafia tanah di Indonesia kembali ditangkap karena memang minimnya monitoring dan adanya celah hukum yang memungkinkan untuk tindakan kriminal itu terjadi.

Kasus mafia tanah yang melibatkan orang dari berbagai instansi terus berulang dengan berbagai macam modusnya seperti pemalsuan dokumen resmi sertifikat tanah milik orang lain. Dengan bekal dokumen palsu tersebut pelaku melakukan gugatan ke pengadilan hingga memenangkan sidang. Tanah yang bukan haknya pun berpindah ke tangannya.

Bagaimana mafia tanah dalam pandangan Islam? Pada dasarnya praktik mafia tanah merupakan bentuk pengambilalihan hak milik orang lain secara ilegal. Perbuatan demikian mendapat larangan keras dari agama. Ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang menyinggungnya. Salah satunya adalah firman Allah swt berikut: 

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Surat Al-Baqarah ayat 188).

Ayat di atas dengan tegas melarang adanya praktik mengambil hak milik orang lain dengan cara ilegal. Imam Fakruddin ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, perbuatan demikian mendapat larangan keras dalam Islam. Selain ayat di atas, ada banyak firman Allah yang memiliki pesan serupa seperti surat An-Nisa ayat 29, An-Nisa ayat 10, Al-Baqarah ayat 278, Al-Baqarah ayat 257, dan sebagainya. (Ar-Razi, Tafsir Al-Kabir, tanpa tahun: juz 5, h. 127) 

Selain ayat Al-Qur’an, sejumlah hadits Nabi juga secara tegas mengatakan tindakan mengambil hak orang lain sebagai perbuatan zalim yang sangat tercela. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa orang yang mengambil hak orang lain secara ilegal akan mendapat kerugian besar di akhirat kelak. Rasulullah bersabda: 

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: «إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِبصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ 

Artinya, “’Tahukah kalian orang yang merugi itu?’ Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang merugi itu menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan harta benda.’ Maka beliau pun bersabda, ‘Orang yang merugi dari umatku itu adalah orang-orang yang datang pada hari kiamat membawa shalat, puasa dan zakat, tetapi ia pernah mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul seseorang. Maka pahala-pahala ibadahnya diberikan kepada orang yang pernah ia zalimi tersebut. Apabila pahala ibadahnya telah habis, sedangkan masih ada kezaliman yang belum ia bayar, maka dosa-dosa mereka diambil ditimpakan kepadanya. Kemudian ia pun dilemparkan ke dalam api neraka,’” (HR Muslim). 

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Muslim menjelaskan, kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang hakiki. Orang yang memiliki harta sedikit di dunia atau tidak memilikinya sama sekali, mereka juga merugi tapi bukan kerugian yang sebenarnya karena bersifat dinamis. Sedangkan kerugian di akhirat sifatnya nyata. (Imam Muslim, Syarah Muslim, 2017: juz VIII, halaman 111).

Sementara Ahmad Hathibah, ulama Mesir bermazhab Maliki, dalam Syarah Riyadush Shalihin menjelaskan, orang yang mengambil hak orang lain dengan cara zalim, kelak di akhirat amal ibadahnya akan digerogoti oleh orang yang dulu dizaliminya. Sehingga, di akhirat ia sangat merugi karena pahala amal ibadahnya habis meski punya bekal sebesar gunung. Jika pahala amal ibadahnya sudah habis ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Ahmad Hathibah, Syarah Riysdush Shalihin, tanpa tahun, juz 4, h. 3) 

Dalam redaksi yang lebih tegas, Nabi saw menegaskan bahwa mafia tanah akan mendapat siksa sangat pedih di akhirat, yaitu diimpit tujuh lapis bumi.  Diriwayatkan: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Artinya, “Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak,” (HR Muslim).

Berkaitan dengan hadits di atas, Abul Abbas al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits ini merupakan ancaman sangat berat bagi mafia tanah. Sebab, bagaimapun tindakan demikian termasuk kategori dosa besar. Baik merampas tanah dengan cara menggashab, mencuri, ataupun menipu. Sedikit atau banyak sama saja.” (Abul Abbas al-Qurthubi, Al-Mufhim lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim, tanpa tahun: juz IV, halaman 534).

Dalam redaksi lain riwayat Imam Bukhari dijelaskan, siksa bagi mafia tanah di akhirat adalah dibenamkan ke bumi sedalam tujuh lapis bumi. Diriwayatkan: 

عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ مِنْ الأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ. 

Artinya, “Dari Salim, dari bapaknya ra, dia berkata, ‘Nabi saw bersabda: Barang siapa yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti dia akan dibenamkan sampai tujuh bumi,” (HR Bukhari).

Demikianlah siksa pedih bagi orang yang berani berbuat zalim dengan mengambil hak tanah milik orang lain. Semoga kita semua dijauhkan dari perbuatan buruk demikian. Amin.

Salam al-Mihrab Foundation