MUTIARA ILMU

Jumat, 11 Februari 2022

Rambut Wanita Haid



Oleh: Muhammad Syihabuddin Dimyathi

Telah lumrah beredar sebuah keyakinan di masyarakat kita bahwa rambut dan kuku wanita saat haid tidak boleh ada yang lepas, atau kalau ada yang lepas maka 'wajib' di kumpulkan dan nantinya setelah haid selesai, ikut dimandikan. Di sebagian masyarakat kita bahkan ada yang meyakini kalau rambut yang rontok tersebut jika tidak dimandikan maka kelak di akhirat akan menjadi api, ada juga yang mengatakan akan menjadi ulat.

Dari itu, banyak dari mereka yang mempunyai ihtiyath atau kehati-hatian untuk tidak bersisir maupun keramas sampai seminggu, bahkan lebih, tergantung hari haid yang dialami. 

Hal ini tentunya bisa menimbulkan beberapa problem turunan, seperti suami yang bisa saja tidak suka dengan bau rambut istri karena berhari-hari tidak keramas, nantinya bisa bikin retak hubungan rumah tangga, dan problem lainnya. 

Yang menjadi pertanyaan sekarang, "Apakah benar ketentuannya demikian dalam syariat Islam?" 

Dalam tulisan pendek ini, kami berusaha menyajikan hasil penelitian kami terhadap permasalahan ini, yang mana kami klasifikasikan hasil penelitian ini menjadi tiga bagian :

Pertama, pembahasan dalil landasan.
Kedua, komentar berbagai ulama' menanggapi dalil tersebut.
Ketiga, kesimpulan.

Sebelum ke pembahasan utama, kami akan mengulas sedikit tentang judul yang kami tampilkan. Dalam judul tersebut kami hanya menyebutkan rambut wanita haid. Judul tersebut hanya memandang kebanyakan pembahasan yang terjadi. Secara aslinya pembahasan ini juga mencakup kuku, darah dan segala hal yang ada di tubuh, bukan hanya rambut. Objek kajian ini juga bukan sebatas wanita haid, karena yang jadi titik poin disini adalah 'hadats besar'. 

1- Dalil Landasan 

Imam Ghazali, dalam Ihya'nya menyatakan :

ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها. ¹

"Tidak seyogyanya bagi seseorang untuk mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah atau membuang sesuatu dari badannya disaat dia sedang berjunub, karena seluruh bagian tubuhnya akan dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub. Dan dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab junub yang ada pada rambut tersebut.”

Keterangan ini ada dalam kitab Ihya' Ulumuddin pada pembahasan Kitab Adab al-Nikah. Keterangan tersebut juga dikutip oleh banyak ulama', baik ulama' turats maupun kontemporer, seperti tiga serangkai Syarh Minhaj, yaitu Tuhfah Ibnu Hajar, Nihayah Imam Ramli, dan Mughni Khatib Syarbini. Ulama' kontemporer yang menukil keterangan tersebut diantaranya adalah ulama' besar Suriah yang bergelar Al-Suyuthi al-Tsani, Dr. Wahbah ibn Musthofa al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islami wa Adillatuh dan Syekh 'Athiyyah Shaqr -ulama besar al-Azhar- dalam Mawsu'ah Ahsan al-Kalam Fi al-Fatawa Wa al-Ahkam.

Dalam Ihya'nya Imam Ghazali tidak menyebutkan dalil rujukan atas statement tersebut. Dari penelusuran yang kami lakukan, ternyata Imam Ghazali bertendensi dengan sebuah hadits cukup panjang tentang hilir-mudiknya malaikat siang malam untuk mencatat orang-orang shalat, sebagaimana yang di jelaskan al-Hafidz Ibn Hajar al-'Asqolani dalam Fath al-Barinya: 

تَنْبِيهٌ اسْتَنْبَطَ مِنْهُ بَعْضُ الصُّوفِيَّةِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُفَارِقَ الشَّخْصُ شَيْئًا مِنْ أُمُورِهِ إِلَّا وَهُوَ عَلَى طَهَارَةٍ كَشَعْرِهِ إِذَا حَلَقَهُ وَظُفْرِهِ إِذَا قَلَّمَهُ وَثَوْبِهِ إِذَا أَبْدَلَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ. ²

"Sebagian ulama sufi (yakni Abu Thalib al-Makki dan Imam Ghazali -pen*) mengambil dalil dari hadits ini bahwa seseorang disunnahkan untuk tidak memisahkan sesuatu dari badannya kecuali ia dalam keadaan suci, seperti memangkas rambut, memotong kuku, mengganti baju dan semisalnya."

2- Komentar-komentar Ulama' Menanggapi Dalil Landasan Tersebut

Ihya' Imam Ghazali dengan segala kepopuleran yang dimilikinya tentu memantik banyak respon dan tanggapan dari para ulama', baik dari sisi hadits maupun lainnya, tak terkecuali satu statement yang kami kutip dalam makalah ini. 

Statement itu memberi banyak respon dari para ulama', yang mana sekian statement tanggapan itu kembali kepada dua kelompok utama, yaitu pihak yang sepakat dan yang tidak.

Kami tampilkan beberapa diantaranya :

[1] Komentar ulama' yang sepakat 

1- Syekh Sa'id Ba'asyin:

وندب لنحو جنب: أن لا يزيل شيئا من بدنه إلا بعد الغسل؛ لأن الأجزاء تعود إليه في الآخرة، فيعود جنباً؛ تبكيتاً له، ثم تزول عنه ما عدا الأجزاء الأصلية، ويقال: إن كل شعرة تطالب بجنابتها.  ³

"Disunahkan pada semisal orang junub untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya kecuali setelah mandi, karena seluruh anggota badan akan kembali kepadanya di akhirat kelak, maka hal itu akan menjadi sebab dia junub, sebagai pencelaan terhadapnya, kemudian anggota-anggota badan tadi akan hilang darinya kecuali anggota tubuh yang pokok, dan dikatakan bahwa setiap rambut kelak akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."

2- Ibnu Hajar al-Haitami : 

وَأَنْ لَا يُزِيلَ ذُو حَدَثٍ أَكْبَرَ قَبْلَهُ شَيْئًا مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ نَحْوَ دَمٍ قَالَ الْغَزَالِيُّ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ بِوَصْفِ الْجَنَابَةِ وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا.⁴

"Dan orang yang memiliki hadats besar, sebelum mandi, untuk tidak menanggalkan sesuatu dari badannya, walaupun semisal darah. Al-Ghazali berkata…"karena anggota tubuhnya tersebut akan kembali padanya di akhirat kelak dalam keadaan junub, dan di katakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya sebab janabah yang ada di rambut tersebut."

Dari sekian ulama' yang sepakat dengan statement Imam Ghazali, kami belum menemukan mereka menampilkan dalil landasan (al-Qur'an ataupun Hadits) dari apa yang telah diungkapkan Imam Ghazali, hanya menukil keterangan tersebut atau menyampaikannya dengan ungkapan lain yang senada, yang tidak keluar dari maksud Imam Ghazali. Seperti juga ibarot Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu'in:

وينبغي أن لا يزيلوا قبل الغسل شعرا أو ظفرا، وكذا دما، لان ذلك يرد في الآخرة جنبا.⁵

"Dan seyogyanya sebelum mandi mereka tidak menanggalkan rambut atau kuku, begitu juga darah. Karena itu akan di kembalikan diakhirat dalam keadaan junub."

[2] Komentar ulama' yang tidak sepakat

1. Hasyiyah Syarwani dan juga mengutip dari Imam Sa'd dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah menyatakan :

 (قَوْلُهُ تَعُودُ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ الْمُعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ع ش. ⁶

"Pernyataan Mushonnif "anggota yang terlepas kelak di akhirat akan kembali", ini didasari penilaian bahwa anggota yang kelak kembali di akhirat bukan terkhusus anggota-anggota asli (pokok), dan dalam permasalahan ini ada khilaf. Al-Sa'd di dalam Syarh 'Aqa`id al-Nasafiyyah berkata "anggota yang kelak dikembalikan hanyalah anggota asli yang masih tersisa dari awal umur hingga akhir hayat."

2. Imam Bujairami mengatakan :

عِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قَلْيُوبِيٌّ.⁷

"Perlu dipertimbangkan kembali pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal, bukan seluruh kuku yang dia potong selama hayatnya begitu juga bukan seluruh rambutnya." Keterangan ini mirip dengan yang diutarakan al-Qulyubi.

3. Al-Madaabighi : 

وَعِبَارَةُ الْمَدَابِغِيِّ قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلَخْ أَيْ الْأَصْلِيَّةَ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ.⁸

"Ucapan Mushannif “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”. Maksudnya hanya anggota tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda semisal rambut dan kuku."

4. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqolani :

وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ: إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ طِوَالًا.⁹

"Sesungguhnya setiap orang nantinya akan sesuai dengan anggota tubuh saat ia meninggal. Kemudian ketika masuk surga maka mereka menjadi tinggi-tinggi."

5. Fatwa Daar Al-Ifta' Al-Mishriyah : 

لكن هذا الكلام لا دليل فيه على منع ذلك أثناء الجنابة، ولا فى مطالبة الجز المفصول بجنابته يوم القيامة، وقد وُجِّه مثل هذا السؤال لابن تيمية كما قال السفارينى فى كتابة " غذاء الألباب ج 1 ص 382 " فأجاب: قد ثبت عن النبى صلى الله عليه وسلم أنه لما ذكر الجنب قال " إن المؤمن لا ينجس حيا ولا ميتا " قال: وما أعلم لكراهة إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا، بل قد قال النبى صلى الله عليه وسلم للذى أسلم " ألق عنك شعر الكفر واختتن " فأمر الذى أسلم بذلك ولم بأمره بتأخير الاختتان وإزالة الشعر حتى يغتسل، فإطلاق كلامه يقتضى جواز الأمرين، وكذلك تؤمر الحائض بالامتشاط فى غسلها مع أن الامتشاط يذهب ببعض الشعر، فعلمنا عدم كراهة ذلك. وأن ما يقال فيه مما ذكر لا أصل له. قال عطاء: يحتجم الجنب ويقلم أظفاره ويحلق رأسه وإن لم يتوضأ، رواه البخارى.
وعلى هنا فلا كراهة فى قص الشعر والظفر أثناء الجنابة. ¹⁰

"Tidak ada dalil atas pelarangan melakukan hal-hal tersebut (baik memotong kuku, rambut, keluar darah dan lainnya) di waktu Junub (ataupun haid, dan hadats besar lainnya).

(Kemudian) tidak ada dalil juga tentang penjelasan pada hari kiamat kelak anggota-anggota tubuh yang terlepas sebab Junub akan menuntut seseorang.

Dan dalam penutupan akhir dari jawaban di perjelas "dari keterangan ini, maka tidak ada kemakruhan (apalagi pengharaman) dalam memotong rambut dan kuku ketika Junub (dan hadats besar lainnya)."

Kesimpulan

Masih terjadi selisih pendapat diantara ulama' akan hukum menanggalkan sesuatu dari tubuh ketika hadats besar. Statement Imam Ghazali dan dalil yang digunakan dipandang banyak ulama' tidak kuat untuk menyatakan pelarangan melakukan hal itu. Apalagi sampai taraf pengharaman seperti yang menjadi keyakinan sebagian masyarakat.

Kemudian, untuk kuku atau rambut yang sudah terlanjur di potong atau rontok saat hadats besar, kami belum menemukan referensi yang menyatakan itu wajib di mandikan. Bahkan dalam Nihayah al-Muhtaj Imam Ramli dan juga Hawasyi al-Syarwani dengan tegas dikatakan bahwa bagian yang terlepas sebelum mandi, junubnya tidak bisa hilang dengan memandikannya.

الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ اهـ. ¹¹

"Bagian-bagian tubuh yang terlepas sebelum mandi wajib maka janabahnya tidak bisa hilang dengan memandikannya."

Adapun keterangan NU Online yang menyatakan ada pendapat wajib memandikan anggota yang terlepas saat haid yang berangkat dari ibarot Imam Nawawi dalam Raudhoh yang mengutip keterangan Al-Bayan karya Al-Umroni, hemat kami mereka salah paham.

Kami kutipkan keterangan NU online tersebut:

~~~~~~~~~~~~~~~~
Adapun sejumlah bagian itu terlepas seperti rambut rontok, kuku yang terpotong, amputasi beberapa bagian tubuh? Apakah bagian yang terlepas wajib dibasuh? Para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thalibin mengatakan sebagai berikut.

 ولو غسل بدنه إلا شعرة أو شعرات ثم نتفها قال الماوردي إن كان الماء وصل أصلها أجزأه وإلا لزمه إيصاله إليه  وفي فتاوى ابن الصباغ يجب غسل ما ظهر وهو الأصح  وفي البيان وجهان أحدهما يجب والثاني لا لفوات ما يجب غسله كمن توضأ وترك رجله فقطعت والله أعلم 

Artinya, “Andaikan seseorang membasuh seluruh badannya kecuali sehelai atau beberapa helai rambut (bulu) kemudian ia mencabutnya, maka Imam Mawardi berpendapat, 'Jika air dapat sampai ke akar helai itu, maka memadailah. Tetapi jika tidak, maka ia wajib menyampaikan air ke dasar bulu itu.' Sedangkan fatwa Ibnu Shobagh menyebutkan, 'Wajib membasuh bagian yang tampak saja.' Pendapat ini lebih sahih. 

Sementara kitab Albayan menyebut dua pendapat. Pertama, wajib (membasuh bagian tubuh yang terlepas-pen). Kedua, tidak wajib. Karena, telah luput bagian yang wajib dibasuh. Ini sama halnya dengan orang yang berwudhu tetapi tidak membasuh kakinya, lalu diamputasi.” (Lihat Imam Nawawi, Raudlatut Thalibin wa Umdatul Muftiyin, Beirut, Darul Fikr, 2005 M/1425-1426 H, juz 1, halaman 125).
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Keterangan terjemahan dalam kurung merupakan hasil pemahaman yang di tangkap penulis, bukan menerjemahkan teks asli dari ibarot Roudhoh, dan itu salah. Bukti kesalahannya kami tampilkan dari Al-Bayan karya Al-Umroni yang menjadi rujukan Roudhoh.

ٍإذا غسل الجنب جميع بدنه إلا طرف شعره، فقطع ما بقي من الشعر ممّا لم يغسله.. فقد اختلف أصحابنا المتأخرون فيها:

فمنهم من قال: يجب عليه غسل ما ظهر من الشعر بالقطع؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَلا جُنُبًا إِلا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا} [النساء: 43] والقطع لا يسمى غسلا.

ومنهم من قال: لا يجب عليه شيء؛ لأنه زال ما وجب غسله، فهو كما لو توضأ وترك رجله، ثم قطعت من فوق الكعب.. فإنه لا يجب عليه غسل ما ظهر بالقطع عن الحدث. ¹²

Disana dengan jelas disebutkan bahwa yang wajib dibasuh bukanlah anggota yang terlepas tersebut, melainkan pegasan alias bagian rambut yang nampak dari hasil pemotongan.

Kemudian, statement Imam Ghazali sendiri seperti yang diutarakan al-Syarwani berangkat dari penilaian bahwa yang dikembalikan kelak adalah semua anggota tubuh selama hidupnya, baik rambut yang di potong, kuku ataupun lainnya. Dan ini merupakan pendapat lemah. 

Shighot لا ينبغي sendiri seperti tertera dalam statement Imam Ghazali bisa mengarah pada dua hukum, bisa makruh bisa haram seperti keterangan dalam al-Tahdzib karya Imam al-Baghowy¹³. Tapi dengan memandang berbagai komentar ulama', baik yang sepakat atau tidak, bisa disimpulkan bahwa alur hukum yang paling tinggi hanya bertaraf makruh.

Untuk masyarakat yang meyakini bahwa rambut yang terlepas dan kuku yang terlepas jika tidak di mandikan sewaktu bersuci nantinya akan menjadi api atau ulat kami rasa tidak ada dalilnya. Yang mengatakan nantinya akan kembali dalam keadaan hadats besar juga telah dijawab oleh para ulama.

Jadi, hukum memotong rambut, kuku, dan semisalnya ketika junub, haid, dan hadats besar lainnya adalah antara makruh dan mubah. Tidak sampai ke taraf haram.

Untuk hukum memandikan rambut yang terlepas sebelum mandi wajib, maka tidak ada kewajiban atau kesunahan sama sekali. Kesunahannya adalah dengan memendamnya. 

Wallahu ta'ala a'lam.

Sedan, 10 Februari 2022

~~~~~~~~~~~~~

Catatan:

*Kami menafsiri "sebagian ulama' sufi" dalam ibarot Fath al-Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar dengan Abu Thalib Al-Makki (w. 386 H) dan Imam Ghazali (450-505 H) karena setau kami pertama kali yang istinbath demikian adalah Abu Thalib Al Makki dalam kitab Quut al-Quluub, kemudian Imam Ghazali mengadopsi pemikiran tersebut dan beliau cantumkan dalam karya monumentalnya, Ihya' Ulumuddin. 

Kemudian kenapa kami memilih ibarot Imam Ghazali untuk di tampilkan dalam dalil landasan, karena memang umumnya pembahasan masalah ini merujuk pada Ihya' Imam Ghazali, dan yang dikutip oleh banyak ulama' dalam kitab-kitabnya juga dari Ihya', bukan dari Quut al-Quluub Abu Thalib Al Makki.

~~~~~~~~~~~~~

Referensi:

[1] Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya` 'Ulum al-Diin, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/51.
[2] Ibn Hajar al-'Asqolani, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, (Beirut: Daar al-Ma'rifah) 2/37.
[3] Sa'id Ba'asyin, Busyro al-Karim bi Syarh Masa'il al-Ta'lim, (Jeddah: Daar al-Minhaj) 135.
[4] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbadi (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[5] Zain al-Diin al-Malibari, Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrah al-'Ain, (Beirut: Daar ibn Hazm) 69.
[6]'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[7] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[8] 'Abd al-Hamid al-Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Muhtaj wa Hawasyi al-Syarwani wa al-'Ubbady, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro) 1/284.
[9] Al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami 'ala al-Khatib, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/247.
[10] Majmu'ah min al-Mu`allifin, Fatawa Daar al-Ifta' al-Mishriyyah, 8/418.
[11] Syams al-Diin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr) 1/229.
[12] Al-Umroni, Al-Bayan Fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, (Jeddah: Dar Al-Minhaj), 1/263.
[13] al-Baghowy al-Syafi'i, al-Tahdzib fi Fiqh al-Imam al-Syafi'i, (Beirut: Daar al-Kutub al-'Ilmiyyah) 1/65.

و"ينبغي" الأغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب أخرى، ويحمل على أحدهما بالقرينة، وقد تستعمل للجواز والترجيح، و"لا ينبغي" قد تكون للتحريم أو الكراهة أهـ تحفة بزيادة من النهاية.

~~~~~~~~~~~~~

Tulisan ini merupakan kutipan hasil karya ilmiah kami untuk memenuhi tugas fan Insya' kelas 3 Tsanawiy di Madrasah Ghazaliyyah Syafi'iyah Pesantren Sarang.

Istiqosah attijani sudah d tarjim.

Istiqosah attijani sdh d tarjim.

إستغاثة التجانية
1. الفَاتِحَة
Al-fatihah 3x

2. ألّلهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الحَقِّ بِالحَقِّ وَالْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ المُسْتَقِيْمِ وَعَلَى اٰلِهِ حَقَّ  قَدْرِهِ  وَمِقْدَارِهِ  العَظِيْمِ 3x

Allohumma sholli alaa sayyidina muhammadinil faatihi lima ughliqo wal khootimi lima sabaqo naashiril haqqi bil haqqi qal haadi ilaa shiroothikal mustaqiim wa alaa aalihi haqqo qodrihi wamiqdaarihil adziim

Ya Allah  limpahkanlah rahmat takdzim kepa junjungan kami nabi Muhammad saw yang membukakan sesuatu yang terkunci, yang mengakhiri sesuatu yang sudah terjadi, penegak kebenaran dengan cara yang hak, yang menunjukkan pada jalanmu yang lurus, dan juga rahmat semoga tercurahkan kepada para keluarganya yang hak kekuasaannya dan kekuasaannya yang agung.

3. أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ العَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. لَوْ أَنْزَلْنَا هٰذَا القُرْآنَ عَلىَ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ. هُوَ اللهُ الذِى لآإِلٰهَ إلاَّ هُوَ عَالِمُ الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ. هُوَ اللهُ الذِى لآإِلٰهَ إِلاَّ هُوَ المَلِكُ القُدُّوْسُ السَّلاَمُ المُؤْمِنُ المُهَيْمِنُ العَزِيْزُ الجَبَّارُ المُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ. هُوَ اللهُ الخَالِقُ البَارِئُ المُصَوِّرُ لَهُ الأَسْمَآءُ الحُسْنٰى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِى السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضِ وَهُوَ العَزِيْزُ الحَكِيْم 3×

A’uudzu billaahis samii’il aliim minasy sayithoonir rojiim. Lau anzalnaa haadzal qur’aana alaa jabalin laroaitahuu khoosyi’am mutashoddiam min khosyatillaah watilkal amsaalu nadlribuhaa linnaasi la’allahum yatafakkarun. Huwallohulladzi laa ilaaha illa huwa aalimul ghoibi wasysyahaadati huwar rohmaanur rohiim. Huwallohul ladzii laa ilaaha illa huwal malikul qudduusus salaamul mukminul muhaiminul aziizul jabbaarul mutakabbir subhaanallohi amma yusyrikun huwallohul khooliqul baari’ul mushowwiru lahul asmaa’ul khusnaa yusabbikhu lahuu maa fis samaawaati wal ardli wahuwal aziizul hakiim. 3X

Kalau sekiranya kami menurunkan al-quran ini kepada sebuah gunung, niscaya kamu akan melihatnya tunduk dan terpecah belah karena takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. Dialah Allah, tiada tuhan selain Dia, yang mengetahui sesuatu yang ghaib dan yang nyata. Dialah Allah yang maha pemurah lagi maha penyayang. Dialah Allah, tiada tuhan selain Dia, Raja yang Maha Suci, Maha sejahtera, yang mengaruniakan keamanan, Yang Maha memelihara, maha perkasa, maha kuasa dan yang memiliki keagungan. Maha suci Allah dari segala yang mereka sekutukan. Dialah allah yang menciptakan, mengadakan, membentuk rupa, yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Segala yang ada di langit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah yang maha perkasa lagi maha bijaksana.

4. وَأُفَوِّضُ أَمْرِى إِلَى اللهِ إنَّ اللهَ بَصِيْرٌ بِالعِبَادِ ×41

Wa ufawwidlu amrii ilallooh innallooha bashiirum bil ibaad 41x

Aku pasrahkan semua urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah melihat perbuatan hamba-Nya

اللهُمَّ إنىِّ أَسْتَغْفِرُكَ لِمَا تُبْتُ إلَيْكَ مِنْهُ ثُمَّ عُدْتُ فِيْهِ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا وَعَدْتُكَ مِنْ نَفْسِى ثُمَّ أَخْلَفْتُكَ فِيْهِ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا أَرَدْتُ بِهِ وَجْهَكَ فَخَالَطَنِى فِيْهِ مَا لَيْسَ لَكَ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِلنِّعَمِ التِى أَنْعَمْتَ بِهَا عَلَيَّ فتَقَوَّيْتُ بِهَا عَلىَ مَعَاصِيْكَ وَ أَسْتَغْفِرُاللهَ الذِى لآإِلٰهَ إلاَّ هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ عَالِمُ الغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ لِكُلِّ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ وَلِكُلِّ مَعْصِيَةٍ إرْتَكَبْتُهَا وَلِكُلِّ ذَنْبٍ أَحَاطَ بِهِ عِلْمُ اللهِ ×1

Alloohumma inni astaghfiruka lima tubtu ilaika minhu tsumma udtu fiihi wa astaghfiruka lima wa’adtuka min nafsii tsumma akhlaftuka fiihi wa astaghfiruka lima aradtu bihi wajhaka fakhoolathoni fiihi maa laisa laka wa astaghfiruka linni’amil latii an’amta biha alayya fataqawwaitu biha alaa ma’aashiika  wa astaghfirulloohal ladzii laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuumu aalimul ghoibi wasysyahaadati huwarrohmaanur rohiim likulli dzambin adznabtuhu wa likulli makshiyatin irtakabtuhaa walikulli dzanbin akhaato bihi ilmullooh. 1x.
Ya Allah, sesungguhnya aku mohon ampunan kepada-Mu atas dosa yang telah kulakukan secara berulang-ulang, padahal aku telah bertaubat, aku mohon ampun atas segala pengingkaran hatiku padahal aku telah berjanji padamu, aku mohon ampunan kepada-Mu atas semua yang aku kehendaki untuk-Mu, namun tercampur dengan segala yang bukan untuk-Mu, aku mohon ampunan kepada-Mu atas nikmat yang telah engkau limpahkan kepadaku, tetapi aku pergunakan untuk melakukan kemaksiatan (kepada-Mu). Dan aku mohon ampunan kepada Allah, tiada tuhan selain Dia, maha hidup, berdiri sendiri, mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah Dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang terhadap setiap dosa dan maksiat yang telah aku lakukan. Dan ilmu Allah meliputi setiap perbuatan dosa. 

5. أسْتَغْفِرُ اللهَ إنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ×70

Astaghfirulloh innahu kaana ghoffaara
Aku mohon ampunan kepada Allah karena Dialah Dzat yang maha pengampun

6. بِسْمِ اللهِ العَظِيْمِ الأَعْظَمِ الذِى إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ وَإذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطٰى لآإِلٰهَ إلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ. اللهُمَّ إنِّى أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ ألأَحَدُ الصَّمَدُ الذِى لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدُ. اللهُمَّ إنِّى أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الحَمْدَ لآإِلٰهَ إلاَّ أَنْتَ الحَنَّانُ المَنَّانُ بَدِيْعُ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضِ يَا ذَا الجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ يَا حَيُّ يَا قَيُّوْم ×1

Bismillahil adziimil a’dzom alladzi idzaa du’iya bihi ajaaba wa idzaa su’ila bihi a’thoo laa ilaaha illa anta subhaanaka innii kuntu minadz dzoolimiin. Allahumma innii as’aluka bi annii asyhadu annaka antallohul akhadus shomadu alldzii lam yalid walam yuulad walam yakun lahuu kufuwan ahad. Allohumma innii as’aluka bianna lakal hamda laa ilaaha illa antal hannaanul mannaan badii’us samaawaati wal ardl yaa dzal jalaali wal ikroom yaa hayyu yaa qayyum. 
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Agung, yang selalu mengabulkan doa, dan selalu memberi apabila di minta, tiada Tuhan selain engkau, maha suci engkau, sesungguhnya aku termasuk golongan orang-orang yang berbuat aniaya. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu agar aku bersaksi bahwa engkaulah Allah yang maha esa, yang menjadi tempat bergantung, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada satupun yang menyamai Engkau. Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu karena sesungguhnya segala puji hanya bagi-Mu, tiada Tuhan selain Engkau, sesungguhnya engkau dzat yang maha pengasih dan maha pemberi yang menciptakan keindahan langit dan bumi. Wahai dzat yang maha hidup lagi maha bijaksana

7. لآإِلٰهَ إلاَّ اللهُ يَا دَافِعُ يَا مَانِعُ يَا حَفِيْظُ يَا حَكِيْم ×12

Laa ilaaha illalloh yaa daafi’u yaa maani’u yaa hafiidz yaa hakiim
Tiada tuhan selain Allah dzat yang maha menegakkan, mempertahankan, maha menjaga, dan maha bijaksana

8. يَا عَلِيْمًا بِالأَلْطَافِ نَجِّنَا مِمَّا نَخَافُ ×12

Yaa aliiman bil althoof najjinaa mimma nakhhoof
Wahai dzat yang mengetahui segala hal yang lembut (rahasia), selamatkanlah kami dari segala yang menakutkan

9. ياَ لَطِيْفُ يَا حَفِيْظُ يَا مَانِعُ يَا سَتَّارُ×12

Yaa lathiif yaa hafiidz yaa maani’u yaa sattaar
Wahai dzat yang lemah lembut, wahai dzat yang menjaga, wahai dzat yang maha mempertahankan, wahai dzat yang maha melindungi.
10. يَا رَقِيْبُ يَا شَهِيْدُ يَا حَقُّ ×12

Yaa roqiib yaa syahiid yaa haq
Wahai dzat yang mengawasi, yang maha menyaksikan, wahai dzat yang maha benar

11. يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ ×12

Yaa hayyu yaa qayyuum birohmatika astaghiitsu
Wahai dzat yang maha hidup, wahai dzat yang maha berdiri sendiri, aku mohon pertoongan

12. يَاغَنِيُّ يَا مُغْنِيُ يَا كَافِى ×12
Yaa ghoniyu yaa mughniyu yaa kaafi
Wahai dzat yang maha kaya, wahai dzat yang maha memberi kekayaan, wahai dzat yang maha mencukupi

13. يَا كَافِى إِكْفِنِى المُهِمَّاتِ مِنْ أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ ×12
Yaa kaafi ikfinil muhimmaati min umuurid dunya wal aakhiroh

Wahai dzat yang maha mencukupi, berilah kecukupan kepadaku dengan sesuatu yang penting/berguna dari semua urusan dunia akhirat

14. ياَ وَدُوْدُ ×400/41
Yaa waduud
Wahai dzat yang maha mengasihi

15. ياَ مَنْ أَظْهَرَ الجَمِيْلَ وَسَتَرَ القَبِيْحَ وَلَمْ يُؤَاخِذْ بِالجَرِيْرَةِ وَلَمْ يَهْتِكِ السِّتْرَ وَيَا عَظِيْمَ العَفْوِ وَيَا حَسَنَ التَّجَاوُز وَيَا وَاسِعَ المَغْفِرَة وَيَا بَاسِطَ اليَدَيْنِ بِالرَّحْمَةِ وَيَا سَامِعَ كُلِّ نَجْوَى وَيَا مُنْتَهَى كُلِّ شَكْوَى وَيَا كَرِيْمَ الصَّفْحِ وَيَا عَظِيْمَ المَنِّ وَيَا مُقِيْلَ العَثَرَاتِ وَيَا مُبْتَدِئًا بِالنِّعَمِ قَبْلَ اسْتِحْقَاقِهَا يَا رَبِّ وَيَا سَيِّدِى  وَيَا مَوْلاَيَ  وَيَا غَايَةَ رَغْبَتِى أَسْأَلُكَ أَنْ لاَ تُشَوِّهَ خِلْقَتِى بِبَلاَءِ الدُّنْيَا وَلاَ بِعَذَابِ النَّارِ ×3
Yaa man adzharol jamiil wasatarol qobiih walam yu’aakhidz bil jariiroh walam yahtikis sitro wayaa adziimal afwi wayaa hasanat tajaawuz wayaa waasi’al maghfiroh wayaa baasithol yadaini birrohmah wayaa samii’a kulli najwa wayaa muntahaa kulli syakwa wayaa kariimas shofkhi wayaa adziimal manni wayaa muqiilal atsarooti wayaa mubtadi’an binni’ami qobla istihqooqiha yaa robbi wayaa sayyidi wayaa maulaaya wayaa ghooyata roghbati as’aluka an laa tusyawwiha khilqotii bi balaa’id dunyaa walaa bi adzaabin naar
Wahai dzat yang menampakkan kebagusan dan menutupi keburukan, dan tidak akan merugikan dan tidak akan membuka tabir rahasia, wahai dzat yang maha agung pengampunannya, wahai sebaik-baik dzat yang mengampuni dan dzat yang maha luas pengampunannya. Wahai dzat yang luas kekuasaannya dengan rahmat-Nya. Wahai dzat yang maha mendengar setiap permohonan (munajat) wahai dzat yang menyudahi setiap pengaduan. Wahai dzat yang maha mulia kasih-sayangnya. Wahai dzat yang maha agung anugerahnya. Wahai dzat yang maha melihat rahasia-rahasia (kehidupan)  wahai dzat yang mendatangkan kenikmatan-kenikmatansebelum memilikiya. Wahai tuhanku, wahai junjunganku, wahai tuanku, wahai dzat yang sangat aku cintai aku mohon kepadamu agar engkau tidak menjadikan diriku sebagai bencana dunia dan adzab (siksa) neraka

16. سُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ للهِ وَ لآ إِلٰهَ إلاَّ اللهُ واللهُ أَكبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَ بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيْمِ مِلْءَ مَا عَلِمَ وَعَدَدَ مَا عَلِمَ وَزِنَةَ مَا عَلِمَ ×12 
Subhaanalloh wal hamdulillaah  wa laa ilaaha illalloh wallohu akbar walaa haula walaa quwwata illa billaahil aliyyil adziim mil’a maa alima wa adada maa alima wa zinata maa alim
Maha suci Allah dan segala puji bagi Allah, tiada tuhan selain Allah, maha besar Allah, tiada daya upaya, tiada kekuatan kecuali dengan kekuatan Allah yang maha tinggi, maha agung, sepenuhnya diketahui dan sejumlah yang diketahui, dan seberat yang diketahui 
17. صلوة فاتح ×7

kami ijazahkan kepada kalian.
berikut sanad kami
sayidul wujud sayidina Muhamad saw
Syekhuna alkutbil maktum Ahmad bin muhammad attijani.
Syekh Muhamad AlGauli
Syekh umar alfuti
Syekh Said
Syekh Alfahasyimi
Syekh Ali attoyib
Syekh Usman domiri
Syekh Badruzaman
Syekh Ceng Abuy Jamhur 
ade aburahaman abiyusuf
wa ila hadriti jamii' masyaikh tijani alfatihah