MUTIARA ILMU

Kamis, 31 Oktober 2019

Peristiwa Tahun Gajah, kelahiran Rasulullah

PERISTIWA TAHUN GAJAH, TAHUN KELAHIRAN NABI ﷺ
(QS. Al-Fil: 1-5).

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه

Pada zaman Abdul Muththalib bin Hasyim, kakek Nabi ﷺ, 
peristiwa pasukan bergajah terjadi dan bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi ﷺ. 
Kisahnya adalah Abrahah yang menjabat sebagai Wakil Raja Habasyah 
yang berkedudukan di Yaman. Dia menyaksikan orang-orang Arab berbondong-bondong 
datang ke Mekah setiap tahun untuk menunaikan ibadah haji, 
maka kemudian dia membangun sebuah gereja besar dan 
mewah di Yaman dan menamakannya dengan Al-Qulais. 
Dia bermaksud mengalihkan tujuan orang-orang Arab yang setiap tahun bepergian 
ke Mekah menunaikan ibadah haji untuk menuju ke gereja megah yang dibangun di Yaman. 
Kejadian tersebut didengar oleh seorang laki-laki dari Bani Kinanah. 
Dia melakukan perjalanan menuju gereja tersebut dan memasukinya pada suatu malam, 
kemudian melumuri dinding-dindingnya dengan kotoran. 
Abrahah yang mendengar berita tersebut marah besar dan memutuskan 
untuk menghancurkan Ka’bah. 
Dia kemudian memimpin langsung sebuah pasukan tentara yang berjumlah 60.000 dengan 
fasilitas pasukan yang dilengkapi oleh beberapa ekor gajah. 
Mereka berjalan menuju tujuan dan tidak ada satu pun kekuatan yang berani 
menghadangnya hingga tiba di sebuah tempat bernama Al-Maghmas 
......[1].

Di tempat itulah, mereka menggiring harta milik orang-orang Quraisy yang 
di antaranya 200 ekor unta milik Abdul Muththalib. 
Hal tersebut menyebabkan Abdul Muththalib yang pada waktu itu menjadi tokoh 
masyarakat Quraisy datang menemui Abrahah. 
Begitu Abrahah melihat Abdul Muththalib, dia memberikan penghormatan dan memuliakannya. 
Tatkala Abrahah bertanya apa maksud kedatangannya, dia berkata, 
“Maksud kedatangan saya adalah berharap Raja mengembalikan unta2 saya yang ditawan.”

Abrahah berkata, 
“Semula saya kagum kepadamu saat melihat kedatanganmu, 
 kemudian saya tidak lagi menghargaimu setelah kamu berbicara kepadaku. 
 Apakah kamu hanya memikirkan untamu dan sama sekali tidak membicarakan 
 tentang Ka’bah yang merupakan agamamu dan agama leluhurmu, 
 padahal kedatanganku kemari adalah untuk menghancurkannya?”

Abdul Muththalib berkata, 
“Saya adalah pemilik unta-unta itu. 
 Adapun Ka’bah, maka Pemiliknyalah yang akan menjaganya.”

Abrahah berkata, 
“Tidak akan ada yang mampu mencegah saya.”

Abdul Muththalib berkata, 
“Itu urusan kamu dan Pemiliknya” (maksud pemilik Ka’bah adalah Allah ﷻ).
......[2]

Orang-orang Quraisy keluar berlindung ke gunung dan menanti sambil 
melihat apa yang akan dilakukan oleh tentara Abrahah.”

Abrahah mempersiapkan pasukannya untuk melanjutkan perjalanan menuju Mekah, 
tatkala pasukan memerintahkan gajah yang bernama Mahmud itu untuk 
berjalan menuju Mekah, ternyata gajah tersebut duduk (tidak mau jalan). 
Mereka akhirnya memaksanya dengan memukulinya, tetapi dia tetap enggan untuk berjalan. 
Namun, ketika mereka mengarahkan ke arah selain Mekah ternyata gajah itu mau berjalan. 
Tidak lama kemudian datanglah pasukan burung Ababil (burung yang datang berkelompok) 
yang membawa batu-batu di moncong mereka dan ketika batu-batu tersebut menimpa 
seorang di antara mereka, ia menjadi binasa, 
Allah ﷻ berfirman,

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu 
telah bertindak terhadap tentara bergajah?

أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ

Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka 
(untuk menghancurkan Ka`bah) itu sia-sia?,

وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ

Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong,

تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ

Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ

Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).
(QS. Al-Fil: 1-5).

Peristiwa pasukan bergajah terjadi pada bulan Muharram bertepatan dengan 
akhir Februari atau awal bulan Maret tahun 571 Miladiyah, 
atau sekitar sebulan setengah sebelum kelahiran Nabi Muhammad ﷺ 
.......[3]

Semoga bermanfaat
Silahkan share

Keterangan :
[1] Tempat tersebut hingga sekarang masih dikenal, 
      terletak di sebelah timur Haram Mekah, 
      yang dikelilingi dari arah timur oleh gunung yang bernama Kabkab, 
      dan ujung Al-Maghmas dari selatan berbatasan dengan akhir Arafah, 
      berjarak sekitar 20 km dari Kota Mekah. 
      Muhammad Hasan Syarab, Al-Ma’alim Al-Atsirah fi As-Sunnah Wa As-Sirah, hal. 277.
[2] Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1/43 dan halaman setelahnya.
[3] Lihat Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq Al-Makhtum, hal.59.

Sumber: 
Fikih Sirah, Prof.Dr.Zaid bin Abdul Karim az-Zaid,

Sabtu, 09 Maret 2019

KISAH RASULULLAH 3

KISAH RASULULLAH ﷺ

Bagian 3

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد

Perampok Kejam dan Tidak Sopan

Mencuri dan merampok saat itu adalah hal yang biasa. Hanya sebagian kecil saja orang yang tidak pernah melakukannya. Perampok pun bukan cuma mengincar harta dan benda, tetapi juga orang yang dirampok. Perampok biasa menjadikan orang orang yang telah dirampoknya menjadi tawanan dan budak belian.

Saat itu perilaku bangsa Arab amat kejam, sampai melewati batas perikemanusiaan. Anak-anak perempuannya sendiri mereka bunuh. Ada yang dikubur hidup hidup ke dalam tanah, ada pula yang ditaruh dalam tong dan diluncurkan dari tempat yang tinggi. Mereka malu jika mempunyai anak perempuan.

Mereka juga suka menyiksa binatang. Jika seseorang mati, keluarganya mengikat unta diatas kuburan dan tidak memberikan makan serta minum sampai si unta mati. Mereka beranggapan unta itu kelak akan menjadi tunggangan si mati.

Musuh yang tertangkap diperlakukan sangat kejam. Mereka biasa mengikat musuh pada seekor kuda dan membiarkan kuda tersebut berlari sehingga orang yang diikat itu mati terseret-seret. Telinga atau hidung musuh yang kalah dijadikan kalung, serta tengkorak nya dijadikan tempat minum arak.

Orang jahiliyah juga tidak mengenal sopan santun, Mereka biasa berkeliling Ka'bah tanpa memakai pakaian.

Begitulah kebiasaan Orang Orang Arab saat itu.
Mereka adalah bangsa yang maju perdagangannya, pandai membuat perkakas, membuat obat, ahli astronomi, serta mahir bersyair. Namun mereka juga mempunyai kebiasaan buruk.

Memakan Bangkai Binatang

Dalam urusan makan dan minum pun tidak ada yang dilarang. Segala macam binatang boleh dimakan. Binatang yang sudah mati pun disayat dagingnya, dibakar, dan dimakan. Mereka juga suka meminum darah, binatang, dan makanan darah yang dibekukan.

 Muthalib

Suatu hari, Hasyim pergi berdagang menuju Syam. Ketika melewati Yatsrib, (di kemudian hari disebut Madinah), Hasyim melihat seorang wanita baik-baik dan terpandang.

"Siapakah wanita itu?" tanya Hasyim kepada orang-orang Yatsrib.

"Dia adalah Salma binti Amr."

"Suaminya telah tiada. Kini dia seorang janda."

Mendengar itu, Hasyim melamar Salma dan Salma pun menerimanya. Mereka lalu menikah. Hasyim tinggal di Yatsrib beberapa lama. Ketika Salma mengandung, Hasyim melanjutkan perniagaannya. Namun, itulah kali terakhir Salma melihat suaminya karena Hasyim tidak pernah kembali lagi. Ia meninggal dunia di Palestina.

Salma melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Syaibah. Sementara itu, sepeninggal Hasyim, kedudukannya sebagai pemuka masyarakat Mekah dipegang oleh adik Hasyim yang bernama Al Muthalib.
Al Muthalib juga seorang laki-laki terpandang yang dicintai penduduk Mekkah. Orang-orang Quraisy menjulukinya dengan sebutan Al Fayyadh yang berarti Sang Dermawan.
Suatu hari, dia mendengar bahwa Syaibah, keponakannya yang tinggal di Yatsrib, sedang tumbuh remaja.

"Aku harus menemuinya," pikir Al Muthalib,
"dia adalah anak kakakku. Dulu ayahnya adalah pemuka Mekah, maka dia harus pulang untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya menggantikan aku."

Ketika Al Muthalib bertemu Syaibah di Yatsrib, dia tersentak,
"Anak ini benar-benar mirip Hasyim."

"Mari Nak, ikut Paman ke Mekah," peluk Al Muthalib.

"Tetapi, jika ibu tidak mengizinkan pergi, aku akan tetap tinggal di sini," jawab Syaibah

Syaibah

Nama Syaibah diberikan karena ada rambut putih (uban) di kepalanya sejak dia kecil. Selain Syaibah, Hasyim telah memiliki empat putra dan lima putri yang tinggal di Mekkah.

ABDUL MUTHALIB

"Tidak. Aku tidak akan membiarkannya pergi" jawab Salma.
"Dia buah hatiku satu-satunya. Wajahnya lah yang senantiasa mengingatkan aku akan wajah ayahnya".

"Aku juga menyayangi Hasyim", jawab Al Muthalib,
"bukan cuma aku, tetapi penduduk kota Mekah juga menyayanginya. mereka pasti akan senang sekali menyambut kedatangan putra Hasyim. Begitu melihat wajah anak ini, rasa sayangku timbul kepadanya. Seolah-olah aku melihat Hasyim hidup kembali dan berdiri di hadapanku.
Izinkan aku membawanya pergi. Sesungguhnya Mekah adalah kerajaan ayahnya dan Mekah adalah tanah suci yang di cintai oleh seluruh bangsa Arab. Tidakkah pantas putramu pergi ke sana dan melanjutkan pemerintahan ayahnya?".

Salma memandang Syaibah dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ingin agar putra satu-satunya itu tetap tinggal di sisinya. Namun, ia tahu masa depan Syaibah bukan di Yatsrib, melainkan di Mekkah. Akhirnya, ia pun mengangguk, "Baiklah, kuizinkan ia pergi."

Dengan amat gembira, Al Muthalib mengajak keponakannya itu pulang. Syaibah duduk membonceng unta di belakang pamannya.
Ketika mereka tiba di Mekkah,  orang-orang menyangka bahwa anak yang duduk di belakang Al Muthalib adalah budaknya.

"Abdul Muthalib (Budak Al Muthalib)! Abdul Muthalib!" panggil mereka kepada Syaibah.

"Celaka kalian! Dia bukan budakku, dia anak saudaraku, Hasyim!"

Namun, orang-orang telanjur menyebutnya demikian sehingga akhirnya nama Syaibah pun terlupakan. Setelah itu, dia dikenal dengan nama Abdul Muthalib. Dia kelak menjadi kakek Nabi Muhammad ﷺ.

Bersambung