MUTIARA ILMU

Selasa, 23 September 2025

Apa Kata Imam Ali bin Abi Thalib as -'alaihissalaam- Tentang Baginda Nabi Muhammad saw -shallAllaahu 'alaihi wa Aalihi wa sallam-?

*Khazanah Al-Qur’an*

*
Alhamdulillah dalam bulan maulid ini kita terus berusaha untuk lebih mengenal Baginda Nabi Muhammad saw.

Sebelumnya kita telah mengkaji bagaimana mengenal Rasulullah melalui ayat Al-Qur’an, melalui sabda beliau sendiri dan melalui orang-orang terdekatnya. Kita juga telah mendengar kisah-kisah kemuliaan akhlak beliau kepada orang-orang di sekitarnya.

Dan kali ini kita kembali akan bertanya kepada Imam Ali bin Abi Tholib sebagai pintu kota ilmu Rasul untuk mengenal lebih dalam keagungan Baginda Nabi saw. Saat ditanya tentang Rasulullah saw, Imam Ali pernah mengungkapkan pernyataan yang begitu singkat tapi memiliki makna yang amat luas. Beliau berkata,

الخاتِمِ لِمَا سَبَقَ والفاتِحِ لِمَا غَلَقَ نَاصِرِ الحَقِّ بَالحَقَّ

“(Rasulullah saw) adalah penutup dari yang terdahulu, pembuka segala yang tertutup dan penolong kebenaran dengan (cara) yang benar”

  Kita akan bahas 3 poin ini satu persatu :

1. Penutup dari yang terdahulu.

Poin yang pertama ini memiliki 3 arti,

Arti pertama, Rasulullah saw adalah Nabi terakhir. Dengannya risalah Allah telah ditutup dan ditangan beliau lah agama ini disempurnakan.

Arti kedua, beliau telah mencapai puncak kesempurnaan dan kedekatan dengan Allah swt. Tidak ada seorang pun yang bisa menandingi kedudukannya. Seakan-akan kedudukan ini telah tertutup bagi selainnya.

Arti ketiga, kelak di Padang Mahsyar para nabi akan memberikan laporan kepada Allah swt. Dan semua laporan itu tidak akan diterima sebelum disetujui dan mendapatkan “stempel” dari Nabi Muhammad saw.

2. Pembuka segala yang tertutup.

Poin kedua ini juga memiliki beberapa arti,

Arti pertama, Rasulullah saw adalah pembuka pintu kebesaran yang belum pernah dibuka oleh Nabi sebelumnya. Beliau memiliki seluruh mukjizat para nabi dan membawa mukjizat lain yang tak pernah dimiliki oleh siapapun.

Arti kedua, kunci dari segala sesuatu yang tertutup adalah Rasulullah saw. Ketika kita terjepit, panggil nama beliau dan mintalah tolong. Biasakan untuk bertawasul kepada beliau dalam setiap doa kita. Bukankah doa seorang hamba tidak akan diterima jika tidak didahului dengan solawat kepadanya?

Bahkan Adam pun diperintahkan oleh Allah untuk bertawasul kepada Baginda Nabi jika ingin meminta sesuatu dari-Nya. Segala sesuatu akan terbuka dengan nama Muhammad saw.

Apa sih yang akan kita cari? Mencari ampunan Allah? Pintunya adalah Baginda Nabi saw :

وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّاباً رَّحِيماً

“Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya (berbuat dosa) datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS.An-Nisa’:64)

 

Mencari Cinta Allah? Tidak ada pintu lain selain beliau :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah Mencintaimu..” (QS.Ali Imran:31)

 

Mencari kemuliaan diri? Hanya bisa diperoleh dengan mendekati beliau :

وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ

“Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin.” (QS.Al-Munafiqun:8)

 

Mencari Keridhoan-Nya? Keridhoan Allah hanya bisa diperoleh dari satu pintu yaitu pintu Nabi Muhammad saw. Buktinya, solat yang disebut sebagai ibadah paling pribadi antara hamba dengan tuhannya tidak akan diterima tanpa bersolawat kepada Muhammad dan keluarganya? Bukankah kita selalu bersolawat di akhir tasyahud kita?

Semua pintu yang tertutup akan terbuka dengan nama beliau. Sebesar apapun masalah yang kita hadapi, jangan pernah berkecil hati ! Karena kita memiliki kunci dari semua masalah. Nama beliau bukan hanya menjadi kunci kemudahan di akhirat saja, segala yang tertutup dari masalah-masalah duniawi pun dapat terbuka dengan memohon melalui beliau Sallallahu alaihi wa alihi wa sallam.

3. Pembela kebenaran dengan (cara) yang benar.

Sampailah kita pada poin terakhir yang disampaikan oleh Imam Ali bin Abi Tholib. Bahwa Rasulullah saw adalah pembela kebenaran, mungkin kita semua sudah tau. Tapi coba perhatikan kalimat terakhirnya, pembela kebenaran dengan (cara) yang benar.

Nah, ini yang harus kita cermati dalam-dalam. Rasul tidak hanya membela kebenaran tapi melakukan semua usaha itu dengan cara-cara yang baik dan benar. Sungguh miris melihat orang-orang yang teriak sebagai para pembela kebenaran, pembela agama Allah tapi menggunakan cara-cara yang batil. Membela agama suci tapi menggunakan cara-cara syaitoni.

Jika ingin meneladani Rasulullah, bela kebenaran ! Tapi tetap dengan cara yang baik dan benar sesuai dengan ajaran Al-Qur’an. Karena kebenaran itu indah, maka memperjuangkannya pun harus dengan cara yang indah.

Semoga kajian-kajian tentang Rasulullah saw ini dapat menambah keyakinan dan kecintaan kita kepada beliau. Dan semoga semua informasi yang kita dapatkan tidak hanya menjadi sekedar informasi tapi dapat merubah kehidupan kita menjadi lebih baik.

Rabu, 17 September 2025

KITAB MINHAJUNNASSABIN, NU DAN SANTRI BERMASYRAB QUBURIYAH



Standar santri yang menimba ilmu dari Lembaga bermasyrab quburiyah seperti beberapa Lembaga Pendidikan di Yaman,  akan sulit mengungkap hal ndakik tentang skandal pemalsuan nasab seperti dalam kitab Minhajunnassabin, apalagi yang telah berjalan ratusan tahun seperti nasab Ba’alwi. Ia membutuhkan ilmu pesantren Nusantara yang fiqhiy, logis, mendalam, konprehensif, detail, dan  penuh keberkahan. 

Jika ia mau menggunakan ilmunya yang dulu pernah  ia pelajari di pesantren Nusantara, mungkin ia bisa untuk menelusuri dan merangkai puzzle-puzle sejarah yang ditemukan sepotong-sepotong dalam berbagai macam sumber lalu mengurut historiografinya sedemikian rupa. tetapi jika standar  ilmu masyrab quburiyah yang dikedepankan, yang setiap hari hanya membulak-balik kitab kumpulan doa ma’tsurah siang malam karya gurunya,  ia akan terbentur doktrin jumud yang telah menghujam dalam jiwa tanpa terasa. 

Doktrin jumud itu seperti ucapan masyrab quburiyah bahwa Syekh Khalil Ibrahim telah mensahihkan, Syekh Mahdi Roja’I telah menerima, Syekh Ibrahim bin Mansur, pemaslu nasab itu,  telah mengakui, dan narasi lain  yang semacamnya. Padahal ia tidak tahu landasan apa yang dijadikan dalil oleh mereka; Ia tidak faham alasan-alasan ilmiyah apa yang melatarbelakangi pendapatnya.  Berbeda dengan perkataan kiai-kiai  Nusantara ketika mengajarkan kitab-kitab mukhtashar  dalam ilmu fiqih kepada santri junior: Imam Syafi’I berkata, Imam Nawawi mengucapkan, Imam Ibnu Hajar menyatakan dst, para kiai-kiai itu mengetahui dalil-dalil Al-Quran dan Hadits yang menjadi landasan hujjah para imam itu dari kitab-kitab muthowwalat (kitab-kitab besar). 

 Cara kita mengetahui apakah Syekh Khalil Ibrahim mempunyai dalil Ketika mensahihkan nasab Ba’alwi adalah dengan mencari kitabnya yang menjelaskan tentang itu. Jika Syekh Khalil Ibrahim belum mempunyai kitab yang membahas nasab Baalwi, maka para santri quburiyah bisa memintanya membuat kitab pembelaan terhadap nasab Ba’alwi itu. Nanti kita akan lihat, dalil apa yang dimilikinya Ketika ia mengatakan bahwa nasab Ba’alwi sahih. Jika ia mensahihkan tanpa dalil, atau dalilnya hanya syuhrah wal istifadlah, maka kita tolak. Karena para ulama fiqih tidak menerima syuhrah istifadlah yang bertentangan dengan dalil dan bukti yang kuat.

Jika Syikh Khalil Ibrahim tidak mampu membuat kitab sanggahan terhadap kitab saya, santri masyrab quburiyah bisa memintanya untuk bersedia berdiskusi dengan saya tentang nasab Ba’alwi, sekalian didatangkan juga Syekh Ibrahim bin Mansur, sang pemlasu nasab itu, dan Syekh Mahdi Arroja’i. ketiganya boleh sekaligus berbaris membela nasab Ba’alwi yang batil itu lalu kita lihat dalil apa yang bisa mereka ungkapkan.

Sekali lagi, hal ndakik seperti itu, tidak bisa diselesaikan oleh standar pelajaran masyrab  sufiyah quburiyah, tapi oleh standar  ilmu Nusantara yang agung dan barokah. Terkadang santri yang kemudian belajar di luar negeri merasa ia pintar  dari pelajaran yang ia terima di luar negeri, padahal ketika ia berangkat memang sudah berbekal ilmu dari kiai-kiainya  di Nusantara. Kalau kita ingin mengetahui apakah Pendidikan luar negeri itu berkwalitas, maka kita kirim anak yang belum pernah belajar di pesantren Nusantara ke luar negeri lalu  setelah beberapa tahun kita bandingkan dengan santri yang belajar di pesantren Nusantara yang belajar dalam jangka waktu yang sama.  Kita lihat siapa di antara keduanya yang lebih menguasai ilmu nahwu, Sharaf, fikih dlsb.

Standar ilmu Islam Nusantara yang luhur, pondasinya ditancapkan dengan kokoh oleh Walisongo dan dilanjutkan dengan bertanggung jawab oleh generasi selanjutnya seperti Syekh Abdul Rauf Singkil, Syekh Abdul Qahhar Al-Bantani, Syekh Abdul Samad Al-Falimbani, Syekh Arsyad Al-Banjari,  Sayyidu ‘ulama Hijaz Syekh Nawawi Al-Bantani, Syaikh Khalil al-Bankalani, Syaikh Mafudz At-Turmusi, Syaikh Hasyim Asy’ari dll. Standar ilmu Nusantara selanjutnya berpusat di pondok-pondok pesantren di seluruh peloksok Nusantara.

Ia kemudian secara lumintu mewarnai perjalanan peradaban Islam Nusantara  dan berhasil membentuk karakter muslim Nusantara yang toleran, cinta tanah air: lebih mencintai tanah kelahirannya dibanding tempat di mana ia belajar sementara; Menjunjung tinggi kesataraan: tidak merasa tinggi juga tidak merasa ditakdirkan sebagai manusia rendah dari yang lain: tidak rela diperbudak disuruh mencuci pakaian teman hanya karena teman itu mengaku sebagai cucu Nabi, padahal palsu: ketika mendapat perlakuan yang menyakitkan hati ia berani melawan dan mengatakan semua orang berhak diperlakukan dengan hormat, seraya berkata  “Jika kau tak menghormatiku, aku tidak akan menghormatimu, jika kau menyakitiku, aku akan membalas sesuai perbuatanmu”. Bukan seperti santri bermental budak, ketika ia mendapatkan perlakuan yang menyakitkan, ia  malah berkata “Dia siapa, aku siapa. Dia cucu Nabi aku hanya orang hina”. Sungguh malang nasib manusia yang bermental demikian, padahal Allah telah memuliakan seluruh manusia sama di hadapan-Nya.

 Santri Islam Nusantara memadukan antara fikih dan tasawwuf dengan seimbang;  memahami tafsir bil ma’qul dan bil ma’tsur secara simultan;  menjadikan hadits, ijma dan qiyas sebagai pegangan;  kearifan local sebagai identitas kemuliaan; suka berziarah tetapi tidak menjadi quburiyah;   menaburkan bunga di atas makam, tetapi tidak menghiasnya bagaikan kue ulang tahunan;  Beradab dan berakhlak tetapi tetap menjaga hargadiri kemanusiaan;  percaya kepada keramat tetapi mencampakan cerita khurafat;  Bermarhaba untuk menterjemahkan cinta kepada Nabi yang mulia,  tetapi tidak memelototkan mata, mengesankan bahwa ia sedang melihat sang dicinta, dengan gaya dan acting dusta.

 Itulah karakter agung santri pesantren Islam Nusantara.

Pesantren Islam Nusantara, telah berhasil mencetak ulama-ulama rabbaniyah, yang memiliki ilmu secara syumuliyah, dari ilmu dasar, menengah sampai ilmu yang dimiliki oleh para imam mujtahid saja. Ulama-ulama di PBNU banyak yang telah mencapai tingkatan itu, tetapi anehnya, karena ada beberapa influencer masyrab quburiyah yang ada di sana, PBNU kadang bisa-bisanya mengundang tokoh luar negeri yang hanya bisa menulis kitab kumpulan do’a do’a ma’tsurat.  Lalu ia berceramah dengan Bahasa Arab, di dampingi seorang penterjemah, nampak keren bagi orang awam, padahal isinya hanya kutipan kitab-kitab tasawuf yang biasa dipelajari di pesantren Nusantara kelas Ibtidaiyah.  Tidak ada pemikiran-pemikiran baru yang progresif yang dapat merangsang dan menantang logika. Tidak selevel dengan pemikiran-pemikiran keislaman yang telah dicapai ulama-ulama NU baik yang masih ada maupun yang telah tiada yang  telah menjadi khazanah intelektual Nahdlatul Ulama selama ini. 

KH. Hasyim Asy’ari telah bicara tentang  Mizanut Tamyiz Bisyawahidil Ahkam (neraca pembeda dalil-dalil hukum); K.H. Ahmad Shiddiq Jember sudah bicara tentang Al-Insaniyah (nilai-nilai kemanusiaan); KH. Sahal mahfudz sudah bicara tentang Fikih Sosial; Gusdur sudah bicara tentang Mahaliiyatul Islam (Pribumisasi Islam); KH. Maruf Amin sudah bicara tentang Al-Fikrah Al-Nahdliyyah (pemikiran ke-NU-an); K.H. Said Aqil Siraj sudah bicara tentang Peradaban Islam Nusantara; K.H. Afifuddin Muhajir sudah bicara tentang Fiqih Tata Negara; KH. Muqsit Gazali sudah bicara tentang Istinbath Maqasidi dst. Lalu influencer masyrab quburiyah yang menempel di PBNU mengundang penceramah dari luar negeri yang hanya bicara tentang zuhud dan wara yang telah dipelajari di bangku pesantren kelas  ibtidaiyah.

 Jika zuhud dan wara ukurannya adalah ibaroh, makai ibaroh-ibaroh  Imam Gazali dalam Ihya yang dipelajari para santri Nusantara lebih indah; Jika zuhud dan wara ukurannya adalah amal, maka amal  kiai-kiai kita di pesantren banyak yang lebih pantas dijadikan suri tauladan dalam zuhud dan wara.  Kecuali jika ukurannya adalah medsos, maka tentu kiai-kiai kita akan kalah. Kiai-kiai kita  umumnya tidak mempunyai akun medsos pribadi baik Facebook, Youtube atau yang lainnya; karakter kiai-kiai kita itu mirip dengan karakter para wali Allah yang kita baca dalam kitab-kitab tasawuf,  mereka lebih memilih khumul (tidak popular) daripada dzuhur (popular), lebih memilih Allah daripada makhluk. Berbeda dengan wali-wali  masyrab quburiyah, ia lihai bermain medsos, banyak memiliki akun pribadi,  kegiatan ke-‘wali’an-nya setiap hari diupload dalam akun pribadinya itu; berbicara tinggi tentang zuhud dan wara, tentang keikhlasan dan tawakal, tetapi  aktifnya ia di medsos sudah menjadi jawaban akan pertanyaan tentang apakah sesuai antara kata-kata dan perbuatan.

Kembali kepada Kitab Minhajunnassabin. Jika santri masyrab quburiyah, juga tokoh NUGL dari Malang, masih berminat membela nasab Ba’alwi maka silahkan membuat bantahan kitab Minhajunnassabin dengan menulis kitab juga. Jika tidak mampu berbahasa Arab, cukup dijawab dengan Bahasa Indonesia hal-hal sebagai berikut: pertama, apakah ada   kitab nasab sebelum abad ke-9 H. yang menyebut Ahmad al-Abah mempunyai anak bernama Ubed. Datangkan kitabnya juz berapa halaman berapa.  Kedua, apakah ada kitab sejarah sebelum abad ke -9 H. yang menyebut nama Faqih Muqoddam. Datangkan kitabnya juz berapa halaman berapa. Ketiga, Baalwi sekarang yang ada di Tarim benarkah ia Baalwi yang disebut dalam kitab Al-Suluk dan tunjukan dalil bahwa Jadid mempunyai adik bernama Alwi. Datangkan kitabnya juz berapa halaman berapa. Keempat, bawakan hasil tes DNA Ba’alwi yang berhaplogroup J1.
    
Jika tidak bisa menjawab tiga pertanyaan itu dan tidak bisa membawa hasil tes DNA mereka,  lalu berdasar apa anda masih mempercayai mereka sebagai cucu Nabi Muhammad SAW? Apakah anda tidak takut menjadi bagian orang yang menyakiti Ahllibaet Nabi dengan memasukan orang yang bukan keturunan Ahlibaet menjadi bagian dari keturunan Ahlibaet?  Jika anda menjawab berdasar husnuzon, maka saya katakan jangan menambah rasa malu dalam diri anda seperti dulu anda husnuzon tidak memakai sendal di negeri khurafat hanya untuk menghormati makam wali yang bisa mi’raj ke langit padahal makam itu tidak ada orangnya.

Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani