MUTIARA ILMU

Senin, 19 Mei 2025

OBOR DARI BALIK GERBANG BABILONIA: ANTARA ZAMHARIR DAN CAKRA MANGGILINGAN


(Bukan sekadar istilah puitik, tapi jendela menuju perenungan metafisik yang dalam)

Oleh

Abdur Rahman El Syarif

Ketika tentara-tentara koalisi melangkah pongah ke reruntuhan Babilonia, mungkin tak satu pun dari mereka sadar bahwa tanah yang diinjak itu menyimpan nubuat. Mereka datang dengan senjata, tetapi sejarah datang dengan gema. Di antara batu-batu kuno, terdengar seakan suara bergema dari masa silam, The Gates of Babylon, bukan hanya gerbang fisik, tetapi lambang dari jalan pulang sejarah spiritual umat manusia.

Seseorang dari Nazaret pernah menyusuri jalan ini. Seorang tukang kayu. Ia tidak mengenakan mahkota, tidak menunggang kuda perang, namun membawa beban nubuat di bahunya. Dialah Isa bin Maryam, bukan putra Yusuf, sebagaimana diyakini sebagian, sebab dalam pandangan Islam, tiada ayah manusia baginya. Namun ia, sang ruh suci yang ditiup ke rahim perawan, menyatu dalam sejarah dengan palu dan pahat di tangannya, bukan pedang.

Lalu, seorang sahabat kita menulis, dengan rendah hati, tentang leluhurnya, leluhur Pak Arie Kiem, tokoh utama dalam perbincangan di dunia maya pagi ini. Mereka tukang gali got, penggembala kambing, pembuat batubata, tukang kayu, sopir angkot. Bukan habib, bukan sayyid, bukan syarif. Namun bukankah di situlah kemuliaan sejati bersinar? Ketika kemegahan tidak lahir dari gelar, tapi dari keikhlasan? Bukankah Isa sendiri adalah tukang kayu?

Dan suara lain muncul, bernada humor dan zikir: “Saya cuma bakul tahu keliling Kairo. itupun dulu.” Tapi justru dari kalimat sederhana itu, terpantik cahaya kebijaksanaan bahwa kebesaran bukan soal panggung, tapi soal arah hati. Bahwa perjalanan spiritual sering kali dimulai dari tempat yang tak disangka.

Seorang murid pun bertanya kepada sang guru: “Yohan, di mana ujung semesta?”
Dan jawaban pun mengalir, bukan dari kalkulasi ilmiah, tapi dari rasa yang tunduk:
“Hanya Allah yang tahu. Semesta terus mengembang, hingga saat ketika Allah menghancurkan quintessence, menghapus gravitasi yang mengikat ruang dan waktu, lalu memulai segalanya dari awal.”

Inilah Çakra Manggilingan, lingkaran agung kehidupan yang berputar, menuju titik asal, Zamharir, ruang hampa nan membeku, sebelum ada cahaya dan materi. Dari situlah segalanya bermula, dan ke situlah semuanya akan kembali. Di sana, hanya ada satu nama yang diizinkan menembus kegelapan abadi itu dan kembali, yakni Muhammad SAW, sang penutup nabi, sang Avatar akhir zaman.

Konsep penciptaan semesta ini mengingatkan kita pada sebuah Hadits Qudsi:

لَوْلَاكَ لَوْلَاكَ يَا مُحَمّد لما خَلَقْتَ الأَفْلَاك

Artinya: “Jika bukan karena engkau, Wahai Muhammad, sungguh tidak akan Aku ciptakan alam semesta ini.”

Meskipun beberapa ulama menyatakan bahwa hadits ini lemah, tetapi sebagian besar ulama sufi dan pencinta Nabi ﷺ seperti al-Busiri, al-Qushayri, dan lainnya tetap mengutipnya dalam karya-karya mereka sebagai bentuk mahabbah (kecintaan), meskipun tidak menjadikannya sebagai landasan hukum atau akidah.

Çakra Manggilingan, konsep dari kosmologi Jawa, berarti “roda yang terus berputar”, menggambarkan siklus kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali. Dalam ranah filsafat sufistik, ia bisa dipadankan dengan daur al-ayyām (perputaran hari-hari), atau bahkan tanāsukh al-hāl, transmutasi spiritual manusia dari satu maqām ke maqām berikutnya. Bagi yang memandang Semesta sebagai ladang ujian ruhani, maka Çakra Manggilingan adalah pusaran nasib, takdir, dan tafakur.

Sementara Zamharir adalah metafora dari ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan dingin membekukan di neraka. Tapi lebih dari itu, dalam tafsir kosmologis-metafisik, Zamharir bisa dipahami sebagai ruang sebelum penciptaan, suatu void, kehampaan absolut, hening kosmik sebelum kata “Kun!” diucapkan. Sebuah tempat tanpa waktu, tanpa cahaya, tanpa hukum fisika, di luar logika manusia, namun disinggung oleh wahyu.

Dan saat dua konsep ini bertemu, kita diajak merenungi bahwa hidup bukan sekadar garis lurus dari lahir ke mati, melainkan siklus dalam pusaran agung menuju awal yang sejati menuju sumber mutlak. Çakra Manggilingan memutar jiwa-jiwa kita agar matang, dan Zamharir menanti sebagai titik hening, tempat segala bentuk luluh dan segala nama sirna kecuali satu, yaitu Allah. Maka, dalam pusaran kehidupan modern yang bising ini, dua konsep itu mengajak kita diam sejenak. Merenung. Bahwa kita sedang dalam perjalanan pulang

Dalam lorong-lorong jiwa manusia, selalu ada pertanyaan purba yang tak kunjung pupus: dari mana kita berasal? Ke mana kita akan kembali? Dalam lintasan waktu yang fana, manusia mencari makna yang abadi. Dua konsep mistis muncul dari khazanah yang berbeda namun beresonansi: Çakra Manggilingan dari kosmologi Jawa dan Zamharir dari bahasa wahyu Al-Qur’an. Ketika keduanya didekati dengan nafas tasawuf, tersingkaplah peta pulang ruhani umat manusia dalam semesta yang fana ini.

Dalam kepercayaan Jawa klasik, Çakra Manggilingan adalah roda agung kehidupan berputar tak henti, menggiling takdir, menggiring nasib. Segala makhluk masuk ke dalam roda ini, yaitu lahir, tumbuh, jatuh, bangkit, lalu kembali. Dalam pandangan tasawuf, hal ini bersesuaian dengan konsep sulūk (perjalanan spiritual) dari nafs al-ammārah (jiwa rendah) ke nafs al-muthma’innah (jiwa tenang), dan seterusnya.

Bagi seorang salik (pejalan ruhani), dunia bukan tujuan, tapi ladang ujian. Setiap putaran Çakra adalah maqām baru, tempat fana diuji, batin disucikan, dan ruh dinaikkan. Dalam laku hidup orang Jawa yang bernafas sufistik, kehidupan dilihat sebagai siklus semeditapa ngrametapa ngrasa, sampai ke manunggaling kawula lan Gusti, bersatu dengan Tuhan, bukan dalam zat, tapi dalam ridha dan ma’rifah.

Zamharir dalam Al-Qur’an disebut sebagai dingin ekstrem di neraka, berbanding dengan panas yang membakar. Namun dalam pendekatan kosmologi spiritual, Zamharir dapat dimaknai sebagai pra-kejadian, fase ketiadaan total sebelum penciptaan. Dalam Sains, kita menyebutnya singularity sebelum Big Bang. Dalam teologi, ia disebut ‘adam, kekosongan mutlak di mana tiada apapun kecuali Allah.

Bagi kaum sufi, Zamharir adalah tajalli ketidakterbatasan Allah. Ia adalah tempat keheningan sempurna, tempat di mana seluruh ilusi eksistensi terlepas, dan ruh kembali ke asal mula. Dalam fana’ fi Allah, seorang salik mengalami Zamharir bukan sebagai siksaan, tapi sebagai detik spiritual sebelum baqā’ (keabadian bersama Allah).

Bayangkanlah Çakra Manggilingan sebagai roda penciptaan, memutar ruh-ruh dari Lauh Mahfuz ke alam dunia, lalu kembali ke barzakh dan akhirat. Sedangkan Zamharir adalah titik diamnya roda itu, saat semesta dihentikan oleh kehendak-Nya. Allah berfirman,
“Pada hari itu, Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran tulisan.” (QS. Al-Anbiya: 104)

Di antara putaran dan penghentian itulah, manusia menyusun langkahnya. Dalam sufisme, pencarian tidak hanya tentang berjalan ke depan, tetapi berputar menuju dalam. Dari dunia ke diri, dari diri ke cahaya, dari cahaya ke keheningan, dan dari keheningan ke Dia yang Abadi.

Dan saat Isa bin Maryam menelusuri tanah Babilonia, ia membawa pesan bukan untuk menaklukkan, tapi untuk mengingatkan. Bahwa jalan menuju The Gates of Babylon bukan untuk menguasai dunia, tapi untuk kembali ke Tuhan.

Sama seperti itu, para tukang kayu, penggembala, sopir angkot, dan pedagang tahu keliling adalah bagian dari Çakra Manggilingan , jiwa-jiwa yang tetap berputar mencari makna. Mereka bukan hanya manusia biasa, tapi penempuh jalan pulang. Dan ketika semua telah lenyap, suara Tuhan akan terdengar: “Dan kepada-Ku kalian kembali…” (QS. Yasin: 83)

Di sanalah, Zamharir menanti, bukan untuk menyiksa, tapi untuk menyambut. Di titik beku itu, hanya ada satu nama yang masih bergema, yakni Allah al-’Azza wa Jalla.

Maka inilah sekelumit perbincangan pagi ini yang mengisahkan tentang kebesaran yang tidak tergantung silsilah, tentang jalan yang ditempuh bukan karena darah biru, tapi karena jiwa yang merindu. Tentang manusia-manusia sederhana yang menyalakan obor pemahaman di antara reruntuhan Babilonia dan gemuruh WhatsApp Group. Dan ketika dunia terus menggali Babilon, mungkin yang paling dicari bukanlah harta karun raja, tapi siapa yang akan melintasi gerbangnya berikutnya.

#sufi #tarekat #whatsapp #babilonia #gerbangbabilonia #cakramanggilingan #zamharir #peradabanislam


Minggu, 18 Mei 2025

Kritik terhadap Klaim Nasab Palsu


https://www.walisongobangkit.com/kritik-terhadap-klaim-nasab-palsu-klan-baalwi-bukan-kurang-ajar-tapi-menjaga-kebenaran/

Kalimat yang kerap dilontarkan ketika kritik menyentuh tokoh-tokoh agama adalah: “لحوم العلماء مسمومة” — “Daging para ulama itu beracun.” Kutipan masyhur ini berasal dari al-Hafizh Ibn ‘Asakir (w. 571 H), seorang sejarawan besar dari Damaskus dalam karyanya Tabyīn kadzib al-Muftarī, ketika menasihati umat agar tidak ringan mencaci para ulama.
Namun, kalimat ini tidaklah sakral dan tidak absolut. Ia harus dibaca dalam konteks, bukan dijadikan tameng setiap kali terjadi koreksi terhadap tokoh agama—terutama jika yang dikritik adalah klaim nasab, bukan ilmu atau akhlak. Terlebih jika klaim tersebut menyangkut sesuatu yang sangat serius: hubungan darah dengan Rasulullah SAW.
________________________________________
*Nasab Bukan Urusan Sembarangan*
Nasab Nabi Muhammad SAW bukan warisan pribadi, bukan pula milik kelompok. Ia bagian dari identitas umat Islam. Ketika seseorang mengaku sebagai dzurriyyah Rasulullah SAW, maka itu bukan sekadar urusan privat—melainkan juga menyangkut martabat kenabian, kepercayaan umat, dan hak-hak sosial yang selama ini melekat pada klaim tersebut.
Imam al-Suyuthi dalam Tadrīb al-Rāwī menjelaskan bahwa menisbatkan seseorang kepada Nabi secara dusta termasuk bagian dari dosa besar dan kezaliman terhadap umat. Bahkan dalam al-Minhāj karya Imam Nawawi, disebutkan bahwa pemalsuan nasab adalah dosa besar (kabā’ir).
Lebih keras lagi, Imam Malik bin Anas (w. 179 H), pendiri mazhab Maliki, berkata:
"Siapa yang mengaku-ngaku sebagai keturunan Nabi padahal ia tahu dirinya bukan, maka ia harus dihukum."
(Diriwayatkan oleh Ibn Hazm dalam al-Muhallā, 13/387)
________________________________________
*Ilmu Membuka Tabir: Genetika Membantah*
Kritik terhadap klaim nasab klan Ba’alwi bukan muncul dari kebencian. Ia lahir dari penelitian ilmiah lintas disiplin: sejarah, filologi, dan genetika. KH Imaduddin Utsman al Bantani, dalam riset akademiknya, menunjukkan kejanggalan kronologis dan filologis dalam silsilah mereka—terutama tokoh sentral yang diklaim sebagai kunci: Alawi bin Ubaidillah.
Tak hanya itu, riset genetika modern yang dipelopori oleh pakar seperti Dr. Michael Hammer dari University of Arizona dan Dr. Levaneh Tzur menunjukkan bahwa haplogroup paternal keturunan Bani Hasyim adalah J1, khususnya subclade J1c3-P58.
Namun, mayoritas yang mengaku sebagai habib Ba’alwi justru tergolong haplogroup G. Ini dikonfirmasi oleh sejumlah peneliti independen, termasuk Dr. Sugeng Sugiarto, ahli genetika Indonesia yang mendukung penggunaan DNA dalam penelitian nasab.
Ini bukan fitnah. Ini adalah fakta laboratorium. Jika klaim nasab tidak didukung data sejarah dan DNA, maka patut dipertanyakan validitasnya.
________________________________________
*Syuhrah Tidak Cukup: Nasab Harus Tersambung*
Sebagian orang berdalih dengan prinsip syuhrah wa al-istifādhah — yaitu “nasab yang sudah masyhur dan diketahui banyak orang.” Tapi syuhrah tidak bisa berdiri sendiri. Para ulama Ahlussunnah menegaskan bahwa nasab harus bisa ditelusuri melalui sanad yang bersambung, muttashil, dengan bukti tertulis atau kesaksian tsiqah.
Imam al-Sakhawi dalam al-Jawāhir wa al-Durar menekankan bahwa nasab yang valid harus dibuktikan dengan kitab ansab mu’tabar, bukan sekadar pengakuan kolektif.
Bahkan Imam al-Shuyuthi dalam al-Hāwī lil Fatāwī (juz 2, hlm 281) berkata:
"Tidak sah seseorang disebut sebagai ahlul bait kecuali ada bukti yang jelas."
Jadi, menolak klaim nasab Ba’alwi bukan berarti melecehkan tokoh-tokoh mereka, melainkan menuntut bukti ilmiah untuk klaim besar.
________________________________________
*Mengkritik Ulama ≠ Menghina Ulama*
Para peneliti yang mengkritisi klaim Ba’alwi sering dituduh melecehkan ulama atau membenci Ahlul Bait. Ini generalisasi yang menyesatkan. Tidak semua yang mengaku keturunan Nabi adalah Ahlul Bait sejati. Tidak semua yang berjubah dan disapa “Habib” memiliki garis darah Rasulullah SAW.
Kritik terhadap pemalsuan nasab justru bagian dari membela Ahlul Bait sejati. Kita tidak boleh membiarkan nama suci Rasulullah SAW digunakan untuk legitimasi politik, pengumpulan harta, atau kultus sosial.
________________________________________
*Membungkam Kritik adalah Kezaliman*
Salah kaprah terbesar adalah ketika kritik ilmiah terhadap klaim Ba’alwi disamakan dengan “ghibah” atau “fitnah terhadap ulama”. Ini adalah pelecehan terhadap ilmu dan pembalikan logika.
Imam Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Zawājir ‘an Iqtirāf al-Kabā’ir menyatakan bahwa menghentikan amar ma’ruf dan nahi munkar karena takut menyakiti orang besar adalah bentuk pengkhianatan terhadap agama.
Jika sebuah klaim tak bisa diuji, maka ia bukan bagian dari ilmu. Dan jika kritik dianggap dosa hanya karena menyasar orang berjubah, maka kita sedang menyembah simbol, bukan mencari kebenaran.
________________________________________
*Penutup: Jubah Tidak Sakral, Kebenaran Harus Dijaga*
Selama klaim sebagai dzurriyat Nabi masih dilontarkan, maka masyarakat berhak mengoreksi. Selama tidak ada bukti ilmiah yang kuat, maka klaim itu patut diragukan. Dan selama kebohongan diwariskan, maka kita wajib menyuarakan kebenaran.
Kritik ini bukan kurang ajar. Ini bukan ujaran kebencian. Ini adalah bentuk cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan bentuk kehormatan kepada Ahlul Bait yang sejati—mereka yang benar-benar berasal dari darahnya, bukan sekadar dari cerita yang diwariskan tanpa bukti.
________________________________________
📚 *Referensi:*
1. Ibn ‘Asakir – Tabyīn kadzib al-Muftarī (Damaskus, Dar al-Taqwa, 1440 H)
2. Imam al-Suyuthi – al-Hāwī lil Fatāwī, Juz 2
3. Imam Malik – Diriwayatkan oleh Ibn Hazm dalam al-Muhallā
4. Prof. Dr. Manachem Ali – Filolog, Universitas Airlangga
5. KH Imaduddin Utsman al Bantani – Tesis tentang kritik nasab Ba’alwi
6. Dr. Sugeng Sugiarto – Ahli genetika Indonesia
7. Dr. Michael Hammer – University of Arizona, pakar haplogroup Y-DNA