MUTIARA ILMU

Sabtu, 15 Maret 2025

*Kewaspadaan Terhadap Klan Ba'alwi: Antara Klaim Kesucian dan Realitas Kejahatan*



https://www.walisongobangkit.com/kewaspadaan-terhadap-klan-baalwi-antara-klaim-kesucian-dan-realitas-kejahatan/

Klan Ba’alwi sering mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan meminta penghormatan khusus dari masyarakat. Namun, klaim ini bertolak belakang dengan berbagai fakta sejarah dan perilaku yang mereka tunjukkan. Bukan hanya gagal menunjukkan sifat-sifat luhur seorang dzurriyah Nabi, mereka justru terlibat dalam berbagai pengkhianatan terhadap bangsa serta perilaku tercela yang mencederai nilai-nilai Islam dan moralitas.

1. Dari Klaim Dakwah ke Kepentingan Dagang
Salah satu mitos besar yang dibangun oleh klan Ba’alwi adalah bahwa mereka datang ke Nusantara untuk menyebarkan Islam. Namun, bukti sejarah menunjukkan bahwa kedatangan mereka justru difasilitasi oleh VOC, penjajah Belanda yang mengeksploitasi Nusantara. Jika mereka benar-benar ulama, mengapa mereka memilih jalur perdagangan melalui VOC daripada berdakwah dengan perjuangan seperti para ulama pribumi?

2. Deretan Pengkhianatan terhadap Bangsa
Fakta sejarah mencatat bahwa banyak individu dari klan Ba’alwi berkhianat terhadap bangsa ini, menjadi antek Belanda, dan bahkan menindas rakyat sendiri. Beberapa di antaranya:
• Habib Utsman bin Yahya: Mengeluarkan fatwa haramnya jihad melawan Belanda demi gaji 100 gulden.
• Habib Ali Kwitang: Murid dari Utsman bin Yahya yang mendapatkan tanda jasa dari Belanda.
• Habib Ibrahim Baabud: Berperan dalam menindas rakyat bersama Belanda saat Perang Diponegoro.
• Habib Abdurrahman El Zahir di Aceh: Menjadi informan Belanda yang mengkhianati rakyat Aceh.
• Habibah Fatimah: Membantu Belanda menguasai Kesultanan Banten.
• Habib dalam PKI: Beberapa anggota klan ini terlibat dalam Partai Komunis Indonesia yang merusak bangsa.
Pengkhianatan ini menunjukkan bahwa klaim sebagai keturunan suci sama sekali tidak sejalan dengan tindakan yang mereka lakukan. Jika memang keturunan Nabi, mengapa justru memihak penjajah?

3. Klaim Keturunan Nabi, Tapi DNA Tidak Cocok
Secara genetika, klaim klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tes DNA menunjukkan bahwa haplogroup mereka adalah G, bukan J1, yang merupakan haplogroup keturunan Nabi. Ini adalah bukti ilmiah yang tidak bisa dibantah bahwa mereka bukanlah keturunan Rasulullah.

4. Kontribusi yang Tidak Sebanding
Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pribumi yang berkontribusi nyata bagi bangsa, klaim klan Ba’alwi sebagai pejuang dan ulama besar menjadi tidak relevan. Tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Jenderal Sudirman, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Prof. Dr. Hamka memiliki rekam jejak perjuangan yang nyata. Sementara itu, klan Ba’alwi hanya bisa menyebut beberapa nama tanpa kontribusi yang signifikan.

5. Perilaku Tidak Bermoral dan Kejahatan
Selain pengkhianatan, banyak individu dari klan Ba’alwi yang terlibat dalam berbagai kejahatan moral dan kriminal:
• Pelecehan seksual: Yusuf Alkaf mencabuli santri.
• Kekerasan dalam rumah tangga: Ali Jindan diduga melakukan KDRT.
• Kasus narkoba: Beberapa habib terlibat dalam peredaran narkoba.
• Penganiayaan anak di bawah umur: Habib Bahar bin Smith terbukti bersalah.
• Penipuan finansial: Beberapa habib tertangkap karena melakukan penipuan uang dan emas.
• Murtad dan menjadi pendeta: Beberapa anggota klan ini bahkan meninggalkan Islam.
Jika mereka benar-benar keturunan Nabi, bagaimana mungkin mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam? Fakta ini semakin memperjelas bahwa klaim kesucian mereka tidak lebih dari sekadar mitos yang dipaksakan.
Link informasi: https://www.walisongobangkit.com/daftar-deretan-kejahatan-yang-dilakukan-oknum-habib-yaman-bani-baalawiy/

FAKTA ILMIAH: KLARIFIKASI TERHADAP KLAIM KLAN BA'ALWI
Dalam kajian sejarah, filologi, dan genetika, telah ditemukan banyak kejanggalan dalam klaim Klan Ba'alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli, termasuk KH Imaduddin Utsman al Bantani, Prof. Dr. Manachem Ali, dan Dr. Sugeng Sugiarto, menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Secara genetik, hasil analisis menunjukkan bahwa haplogroup G yang ditemukan dalam garis keturunan Klan Ba'alwi tidak sesuai dengan haplogroup J1 yang ditemukan dalam keturunan Bani Hasyim dan Nabi Muhammad SAW.
Lebih lanjut, sejarah mencatat bahwa Klan Ba'alwi justru banyak terlibat dalam pengkhianatan terhadap bangsa dan agama. Memang benar bahwa di masa kolonial banyak pribumi yang menjadi antek Belanda dan melakukan pengkhianatan. Namun, yang membuat situasi ini lebih parah adalah bahwa Klan Ba'alwi mengklaim sebagai dzurriyah Nabi, yang seharusnya membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Namun, alih-alih menjalankan tugas moral ini, mereka justru berperan sebagai kaki tangan kolonial, berkhianat terhadap bangsa yang mereka tempati. Klaim sebagai keturunan Nabi hanya menjadi alat legitimasi untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Ironi ini semakin jelas jika dibandingkan dengan anak Nabi Nuh AS. Anak Nabi Nuh memang menolak ajaran ayahnya, tetapi ia tidak pernah mengaku sebagai wali Allah atau keturunan suci yang harus dihormati. Berbeda dengan Klan Ba'alwi, yang membangun klaim sepanjang nasab dan meminta diakui sebagai dzurriyah Nabi, tetapi kelakuannya justru bertentangan dengan nilai-nilai keislaman yang seharusnya mereka junjung tinggi. Jika mereka sendiri gagal menjaga perilaku dan akhlak yang seharusnya sesuai dengan status yang mereka klaim, lalu mengapa mereka masih ngotot menjual nasab yang justru malah mencoreng nama baik Nabi Muhammad SAW?
Dengan demikian, fakta sejarah, genetika, dan perilaku sosial telah cukup memberikan bukti bahwa Klan Ba'alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Klaim mereka harus diuji secara ilmiah, dan masyarakat perlu berpikir dengan akal sehat serta hati nurani agar tidak mudah tertipu oleh narasi yang tidak berdasar.

Kesimpulan: Klan Ba’alwi dan Mitos Kesuciannya
Sudah saatnya masyarakat membuka mata terhadap fakta bahwa klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Mereka bukan ulama besar, bukan pejuang bangsa, dan bukan keturunan suci yang harus dihormati tanpa kritik. Masyarakat perlu waspada terhadap manipulasi sejarah dan klaim tanpa dasar yang hanya bertujuan untuk menjaga kepentingan segelintir kelompok.
Mari jaga bangsa ini dari pengaruh yang merusak dengan berpikir kritis, menelaah fakta sejarah, dan menolak kultus yang tidak berlandaskan realitas. Kesucian bukan ditentukan oleh nasab, tetapi oleh akhlak dan perbuatan nyata.

*KITAB NASAB DAN SEJARAH YANG LAYAK DI MILIKI*



1. Kitabul mu'qibin 
2. Maqotil atthilibiyin
3. Sirrus silsilah 
4. Tahdzibul ansab 
5. Al Majdi 
6. Syajarotul Mubarokah 
7. Al Fakhri 
8. Al ashili 
9. Umdatut Tolib 
10. Umdatut Tholib 
11. Tobaqotun nassabin
12. Sihahul akhbar 
13. Torful ashab 
14. Tuhfatut Tolib 
15. Assuluk 2 jilid
16. Muntaqilah attolibiah 
17. Abnaul imam 
18. Assyjaroh Zakiyah 
19. Al muntaqo 
20. Bahrul ansab 
21. Al kafi 
22. as sam'ani 
23. Tuhfah zaman 2 jlid
24. Al Ghuror 
25. Qiladatunnahar 6 jilid 
26 Al aqdul fakhir 4 jilid
27. Tobaqot Al khowas 
28. Al baha' 
29. Uqudul almas 2 jilid 
30. Tahfatul Azhar 2 jilid
31. Idamul qut 2 jilid
32. Tarikh Hadramaut Al Hamidi 2 jilid
33. Al istizadhah 3 jilid
34. Tasbitul Fuad 3 jilid 
35. Al masro' Rowi 2 jilid 
36. Al burqoh Al musyiqoh 
37. Syaroful asbath 
38. Rosail fi ilmin Nasab 
39. Tobaqot fuqoha 
40. Tarikh stagher 
41. Muqoddimah fi ilmin nasab 
42. Syahrul ainiyah 
43. Al qirtos 
44. Tobaqot sulahail Yaman
45. Attijan di muluki himyar 
46. Usulu ilmin nasab

Rabu, 12 Maret 2025

PUASA PRA ISLAM





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Selama ini tidak sedikit kaum muslimin menduga bahwa puasa itu hanya dilakukan oleh agama Islam saja, tak salah jika mereka menanyakan hal itu pada saya apakah sebelum Islam itu puasa sudah dilakukan oleh umat umat terdahulu. 

Momentum itu saya mengutip tulisan Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro) yang mengatakan bahwa puasa itu sudah dilakukan oleh umat umat sebelum datangnya agama Islam.

Well, salah satu kewajiban bagi setiap muslim sebagaimana yang termaktub di dalam rukun Islam adalah mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Perintah puasa itu secara jelas difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Jika kita membaca pada surat dan ayat tersebut dijelaskan bahwa kewajiban puasa ini juga telah diwajibkan bagi kaum atau orang-orang sebelum Islam. Pertanyaannya,  puasa orang-orang sebelum Islam itu sesungguhnya seperti apa?

Ada yang memahami puasa orang-orang sebelum Islam itu adalah puasanya umat dari Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW dari Nabi Adam hingga Nabi terakhir. Berarti puasanya umat semisal umat Nabi Daud, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi-Nabi yang lainnya. Namun ada pula yang memahami umat sebelum Islam adalah kaum Nasrani. Tulisan ini mengambil pendapat yang pertama bahwa umat sebelum Islam adalah umat Nabi Adam hingga Rasulullah SAW.

Dalam beberapa riwayat dan kitab-kitab tafsir, puasanya orang-orang sebelum Islam itu adalah sebagaimana berikut ini.

Pertama adalah puasanya Nabi Daud, yaitu puasa yang dilaksanakan sehari puasa, sehari berbuka dan puasa lagi di hari berikutnya dan seterusnya. Umat Islam sering menyebutnya dengan puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak. Disebut puasa Daud karena puasa itu dahulu telah dilaksanakan oleh Nabi Daud dan para pengikutnya.

Penjelasan soal puasa Daud ini didasarkan pada sebuah Hadits: “Sebaik-baik shalat disisi Allah adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihissalam. Dan sebaik-baik puasa disisi Allah adalah puasa Daud. Nabi Daud dulu tidur di pertengahan malam dan beliau shalat di sepertiga  malamnya dan tidur lagi di seperenamnya. Adapun puasa Daud yaitu puasa sehari dan tidak berpuasa di hari berikutnya” (HR.Bukhari). Meskipun puasa ini oleh Rasulullah dinyatakan sebagai sebaik-baik puasa namun di dalam Islam puasa Daud ini merupakan puasa Sunnah dan bukan merupakan puasa wajib karena puasa wajib hanya satu saja yaitu puasa satu bulan di bulan Ramadhan.

Kedua, puasa tanggal 10 bulan Muharam sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi yang merupakan umat Nabi Musa ‘alaihissalam. Sebelum Islam datang, orang-orang Arab terutama kaum penganut agama Yahudi sudah terbiasa melakukan puasa pada tanggal sepuluh di bulan Muharram. Karena dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram, maka puasa itu kemudian disebut dengan puasa ‘Asyura. Praktek puasa ‘Asyura ini kemudian masih dilaksanakan oleh Nabi sebagai metode dakwah untuk mengajak Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk masuk Islam. Dengan Nabi berpuasa ‘asyura ini, orang Yahudi akan berfikir ternyata syariat Islam tidak jauh berbeda dengan syariat nabi mereka, Musa ‘alaihissalam.

Menurut sejarah dan dijelaskan dalam sebuah hadits, awalnya Rasulullah saw berpuasa ‘Asyura ketika masih berada di Mekah dan pada saat itu Beliau tidak memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun, ketika beliau tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melaksanakan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Maka, Nabi memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Puasa ‘Asyura diwajibkan pada masa itu, namun setelah ada perintah kewajiban puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura ditetapkan oleh Nabi menjadi puasa Sunnah.

Ketiga, puasa yang pernah dilakukan oleh kaum Nasrani. Banyak perintah puasa dalam agama Nasrani sebagaimana dijelaskan dalam Al-Kitab baik di Perjanjian Lama maupun perjanjian baru. Ada yang disebut dengan puasa mutlak yaitu jenis puasa dimana seseorang tidak makan dan minum sama sekali. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi pelaku puasa. Contoh puasa mutlak ini adalah puasa Musa yaitu 40 hari 40 malam tidak makan dan minum, puasa Ester yaitu puasa 3 hari 3 malam tidak makan dan tidak minum, dan puasa Yesus yaitu 40 hari 40 malam tidak makan dan minum.

Di kalangan agama Nasrani juga ada puasa yang disebut puasa Normal, yakni pelaku tidak makan sama sekali. Namun, mereka dapat minum sebanyak-banyaknya. Puasa ini dapat dilakukan selama beberapa hari, tergantung kondisi pelaku. Contoh puasa normal ini adalah puasa Daud, yaitu tidak makan dan semalaman berbaring di tanah. Lalu ada puasa Sebagian, yaitu puasa dengan menghindari makanan dan minuman tertentu selama kurun yang ditentukan. Contoh puasa jenis ini adalah puasa Daniel, yakni puasa 10 hari hanya makan sayur serta minum air putih.

Nabi dan Rasul yang lain dinyatakan juga melakukan puasa. Menurut Ibnu Katsir, penulis Tafsir Ibnu Katsir, Nabi Adam ‘alaihissalam berpuasa selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun. Dalam riwayat lain Nabi Adam berpuasa tiap tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan rasa syukur lantaran Allah mengizinkannya bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah. Nabi  Nuh ‘alaihissalam juga melakukan puasa ketika  sedang berada di atas perahu bersama umatnya ketika banjir bandang besar terjadi.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berpuasa ketika Raja Namruz memerintahkan pengumpulan kayu bakar untuk membakar diri Nabi Ibrahim. Ketika beliau dilemparkan ke dalam api yang berkobar beliau dalam keadaan berpuasa sampai akhirnya Allah memerintahkan agar api itu menjadi dingin dan tidak sedikitpun membakarnya. Nabi Yusus ‘alaihissalam juga berpuasa ketika sedang menjalani masa tahanan akibat difitnah  telah berbuat tidak senonoh dengan Zulaikha. Nabi Yunus ‘alaihissalam berpuasa ketika berada dalam perut ikan paus. Nabi Ayub ‘alaihissalam yang diuji dengan banyak cobaan juga berpuasa sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Demikianlah puasa para ahli Kitab dan para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Boleh dikatakan ibadah puasa hampir dilakukan oleh para Nabi dan umat-umat sebelum Islam. Yang membedakannya hanya pada tata cara atau kaifiyat puasanya. Tujuannya sama yaitu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Wallahu a’lam bishawab.

Salam akal sehat, Bondowoso, 11 Maret 2025