MUTIARA ILMU

Sabtu, 24 Agustus 2024

TAFSIR PITUTUR BAHASA MADURA: RUGI DUA KALI




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



"E tapok e kala' odenga, Artena, Rogi dukalajeh."

Artinya, sudah jauh ditimpa tangga.


Beberapa waktu yang lalu, ada tetangga rumah Koncer Kidul Tenggarang Bondowoso mencalonkan bupati tetapi kalah dengan kandidat lain. Sialnya lagi, pasca kekalahan dari perhelatan politik daerah tiba-tiba yang bersangkutan digugat cerai isterinya padahal sudah dikarunia buah hati. Sudah kehilangan jabatan masih kehilangan isterinya.

Beberapa tahun silam saat saya masih kecil, dirumah kakek dan nenek desa Jambeanom terjadi huru hara keluarga tentang sengketa tanah sawah. Tanah sawah yang menjadi milik kakek warisan dari orang tuanya dirampas oleh saudara saudaranya sendiri. Takut terjadi pertumpahan darah, akhirnya kakek pilih mengalah menyerahkan warisan orang tuanya. Namun apa yang terjadi, orang yang merampas tanah milik kakek saya sakit-sakitan hingga meninggal dunia. 

Masih didunia sudah mendapat adzab Tuhan apalagi di akhirat. Konon, orang yang kerapkali merampas hak orang lain, maka yang bersangkutan akan ditimpakan tanah tersebut hingga sampai kedalam perut bumi. 

Saya ingat dengan mafia tanah di Indonesia kembali ditangkap karena memang minimnya monitoring dan adanya celah hukum yang memungkinkan untuk tindakan kriminal itu terjadi.

Kasus mafia tanah yang melibatkan orang dari berbagai instansi terus berulang dengan berbagai macam modusnya seperti pemalsuan dokumen resmi sertifikat tanah milik orang lain. Dengan bekal dokumen palsu tersebut pelaku melakukan gugatan ke pengadilan hingga memenangkan sidang. Tanah yang bukan haknya pun berpindah ke tangannya.

Bagaimana mafia tanah dalam pandangan Islam? Pada dasarnya praktik mafia tanah merupakan bentuk pengambilalihan hak milik orang lain secara ilegal. Perbuatan demikian mendapat larangan keras dari agama. Ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang menyinggungnya. Salah satunya adalah firman Allah swt berikut: 

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ 

Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Surat Al-Baqarah ayat 188).

Ayat di atas dengan tegas melarang adanya praktik mengambil hak milik orang lain dengan cara ilegal. Imam Fakruddin ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, perbuatan demikian mendapat larangan keras dalam Islam. Selain ayat di atas, ada banyak firman Allah yang memiliki pesan serupa seperti surat An-Nisa ayat 29, An-Nisa ayat 10, Al-Baqarah ayat 278, Al-Baqarah ayat 257, dan sebagainya. (Ar-Razi, Tafsir Al-Kabir, tanpa tahun: juz 5, h. 127) 

Selain ayat Al-Qur’an, sejumlah hadits Nabi juga secara tegas mengatakan tindakan mengambil hak orang lain sebagai perbuatan zalim yang sangat tercela. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa orang yang mengambil hak orang lain secara ilegal akan mendapat kerugian besar di akhirat kelak. Rasulullah bersabda: 

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: «إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِبصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ 

Artinya, “’Tahukah kalian orang yang merugi itu?’ Para sahabat pun menjawab, ‘Orang yang merugi itu menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan harta benda.’ Maka beliau pun bersabda, ‘Orang yang merugi dari umatku itu adalah orang-orang yang datang pada hari kiamat membawa shalat, puasa dan zakat, tetapi ia pernah mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah dan memukul seseorang. Maka pahala-pahala ibadahnya diberikan kepada orang yang pernah ia zalimi tersebut. Apabila pahala ibadahnya telah habis, sedangkan masih ada kezaliman yang belum ia bayar, maka dosa-dosa mereka diambil ditimpakan kepadanya. Kemudian ia pun dilemparkan ke dalam api neraka,’” (HR Muslim). 

Berkaitan dengan hadits di atas, Imam Muslim menjelaskan, kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang hakiki. Orang yang memiliki harta sedikit di dunia atau tidak memilikinya sama sekali, mereka juga merugi tapi bukan kerugian yang sebenarnya karena bersifat dinamis. Sedangkan kerugian di akhirat sifatnya nyata. (Imam Muslim, Syarah Muslim, 2017: juz VIII, halaman 111).

Sementara Ahmad Hathibah, ulama Mesir bermazhab Maliki, dalam Syarah Riyadush Shalihin menjelaskan, orang yang mengambil hak orang lain dengan cara zalim, kelak di akhirat amal ibadahnya akan digerogoti oleh orang yang dulu dizaliminya. Sehingga, di akhirat ia sangat merugi karena pahala amal ibadahnya habis meski punya bekal sebesar gunung. Jika pahala amal ibadahnya sudah habis ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Ahmad Hathibah, Syarah Riysdush Shalihin, tanpa tahun, juz 4, h. 3) 

Dalam redaksi yang lebih tegas, Nabi saw menegaskan bahwa mafia tanah akan mendapat siksa sangat pedih di akhirat, yaitu diimpit tujuh lapis bumi.  Diriwayatkan: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ شِبْرًا مِنْ الْأَرْضِ بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا طَوَّقَهُ اللَّهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

Artinya, “Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak,” (HR Muslim).

Berkaitan dengan hadits di atas, Abul Abbas al-Qurthubi menjelaskan, “Hadits ini merupakan ancaman sangat berat bagi mafia tanah. Sebab, bagaimapun tindakan demikian termasuk kategori dosa besar. Baik merampas tanah dengan cara menggashab, mencuri, ataupun menipu. Sedikit atau banyak sama saja.” (Abul Abbas al-Qurthubi, Al-Mufhim lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim, tanpa tahun: juz IV, halaman 534).

Dalam redaksi lain riwayat Imam Bukhari dijelaskan, siksa bagi mafia tanah di akhirat adalah dibenamkan ke bumi sedalam tujuh lapis bumi. Diriwayatkan: 

عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَخَذَ مِنْ الأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ. 

Artinya, “Dari Salim, dari bapaknya ra, dia berkata, ‘Nabi saw bersabda: Barang siapa yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti dia akan dibenamkan sampai tujuh bumi,” (HR Bukhari).

Demikianlah siksa pedih bagi orang yang berani berbuat zalim dengan mengambil hak tanah milik orang lain. Semoga kita semua dijauhkan dari perbuatan buruk demikian. Amin.

Salam al-Mihrab Foundation

TAFSIR PITUTUR BAHASA MADURA: KEADILAN




Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



"Akael dhukalaja, Artena: ta' pele Kase otaba tadha' se e pele."

Artinya, tidak tebang pilih dalam menegakkan kebenaran.

Beberapa tahun silam saat saya menjadi ketua yayasan pondok pesantren Misbahul Jadid Sumpilan Lumutan Botolinggo, ada laporan dari informan terpercaya bahwa ada guru bantu yang menjalin hubungan percintaan dengan salah satu santriwati asal Jampit Ijen Sempol Bondowoso yang saat itu masih duduk dikelas satu madrasah Aliyah.

Mendengar laporan itu, saya sebagai ketua yayasan langsung responsif dengan memanggil kedua belah pihak pasalnya pada waktu itu guru tugas merupakan icon pondok pesantren namun demikian saya harus bertindak adil dan tidak tebang pilih dalam menegakkan peraturan pesantren.

Saat diintrogasi keduanya masih bertele tele akhirnya saya atas ketua yayasan menggunakan otoritas penuh untuk memaksa keduanya mengakui perbuatannya. Alhamdulillah keduanya mengaku kendati harus meneteskan air mata karena malu. Sejak itu, peraturan pesantren sangat disegani oleh santri dan stake holder lainnya. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan nabi Muhammad Saw.

Rasulullah SAW bersabda bahwa kelak pada hari kiamat Allah SWT akan memberikan perlindungan kepada tujuh (golongan) orang. Salah satunya adalah seorang pemimpin yang adil sebagaimana dikisahkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a:

: عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ الإِمَامُ الْعَادِلُ

Artinya: "Rasulullah SAW bersabda: Ada tujuh golongan orang yang akan mendapat perlindungan dari Allah (pada hari kiamat) di mana pada hari itu tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya. Salah satu dari ketujuh orang tersebut adalah pemimpin yang adil."

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin yang adil akan dicintai oleh Allah SWT, tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat. Pemimpim yang adil sangat diperlukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, damai dan sejahtera. Pemimpin yang adil akan lebih menjamin ketentraman dalam masyarakat dibandingkan pemimpin yang tidak adil atau dzalim. Banyak pemimpin yang kehilangan legitimasinya dan kemudian jatuh karena ketidakadilannya. Pemimpin yang tidak adil sudah pasti tidak disuka oleh rakyatnya sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpatuhan sipil dan instabilitas.

Dalam kaitan itu, Allah SWT dalam Surah Al Maidah, ayat 8, berfirman:

اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

Artinya: "Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan kepada Allah."

Ayat di atas menegaskan bahwa berlaku adil sangat dekat dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Bukanlah orang bertakwa apabila seseorang tidak bisa bersikap adil dalam kepemimpinannya. Padahal setiap dari kita adalah pemimpin. Oleh karena itu siapa pun dituntut berlaku adil terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Dalam skala kecil, seperti keluarga, suami adalah pemimpin. Sebagai pemimpin, seorang suami harus berlaku adil kepada anggota keluarganya. Sebagai anak tertua dalam keluarga, seseorang harus adil terhadap adik-adik yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin dalam suatu lembaga atau wilayah tertentu seperti kota, provinsi atau negara, seseorang harus berlaku adil terhadap orang-orang yang dipimpinnya.

Salah satu contoh sikap yang bertentangan dengan prinsip keadilan adalah sikap pilih kasih. Sikap seperti ini tidak adil karena berarti bersikap diskriminatif kepada yang lain. Islam menolak hal seperti itu sebab Islam menekankan keadilan meskipun terhadap orang yang kita benci sekalipun sebagaimana ditegaskan dalam Al Qur’an, Surah Al Maidah, ayat 8:

وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلا تَعْدِلُوا

Artinya: "Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorongmu berlaku tidak adil."

Ayat di atas sangat jelas menekankan bahwa keadilan tidak boleh pandang bulu. Tidak dibenarkan seseorang hanya berlaku adil kepada diri sendiri dan keluarga, sementara kepada orang lain bertindak tidak adil. Dalam Islam, keadilan berlaku untuk semua tanpa memandang asal usul keturunan, suku  maupun golongan. Seperti itulah yang diterapkan Rasulullah SAW dalam menangani masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, seperti ketika menengahi ketegangan antar suku yang hampir menimbulkan pertumpahan darah diantara mereka.

Waktu itu, orang-orang Quraisy di Mekah berselisih tentang suku mana yang akan meletakkan hajar aswad ke tempatnya di dekat Ka’bah setelah pindah dari tempatnya karena terbawa arus banjir. Masing-masing suku mengklaim paling berhak mendapatkan kehormatan mengembalikan hajar aswad ke tempat semula. Ancaman pertumpahan darah akhirnya bisa dihindarkan setelah Rasulullah SAW dipercaya menengahi persoalan di atas. Beliau meletakkan hajar aswad di atas kain serbannya. Kemudian meminta semua pemimpin suku ikut mangangkat bersama-sama dengan memegangi kain tersebut. Cara seperti ini memungkinkan semua pihak terlibat. Keterlibatan semua pihak ini menjadikan mereka semua rukun dan bergotong royong untuk mencapai tujuan yang sama. Mereka semua puas dengan solusi yang ditawarkan Rasulullah SAW meski usia beliau waktu itu baru 35 tahun.

Cara mengatasi persoalan seperti itu sekarang ini dikenal dengan win win solution, dimana tidak ada satu pihak pun diantara pihak-pihak yang berselisih merasa dikalahkan. Sebaliknya mereka semua merasa menang meski tidak ada pihak yang mereka kalahkan. Win win solution adalah salah satu contoh dari Rasulullah SAW tentang bagaimana menyelesaikan suatu persoalan secara adil. Banyak kasus di dalam masyarakat, termasuk dalam keluarga, tidak bisa terselesaikan dengan baik atau mengalami kebuntuan karena memang penyelesaiannya tidak adil dan tidak pula memenuhi rasa keadilan. Memang keadilan hanya bisa diharapkan lahir dari para pemimpin,  termasuk para hakim, yang adil.

Rasulullah SAW sangat menekankan berlakunya prinsip keadilan di tengah-tengah masyarakat. Beliau menunjukkan kesalahan para pemimpin di zaman Jahiliyah yang tidak menghukum orang-orang elite yang mencuri. Tetapi apabila orang-orang rendahan atau rakyat jelata mencuri, mereka menjatuhkan hukuman. Beliau mengecam hal itu dan menyampaikannya dalam suatu khutbah sebagaimana tertuang dalam hadits beliau yang diriwayatkan Muslim:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ

Artinya: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya yang membuat rusak orang-orang sebelum kalian adalah, ketika orang-orang terpandang mencuri, mereka tidak menghukumnya, sementara jika orang-orang yg rendahan dari mereka mencuri mereka menegakkan hukuman had."

Apa yang dikecam Rasulullah SAW pada zaman Jahiliyah di atas terulang kembali di zaman kita, bahkan mungkin lebih parah. Di zaman kita sekarang, ada koruptor yang merugikan negara miliaran rupiah bebas dari hukuman karena tidak diproses sebagaimana mestinya, sementara rakyat jelata yang hanya mencuri seekor ayam atau kambing harus mendekam di penjara selama beberapa lama setelah menjalani proses hukum. Ini pertanda buruknya kepemimpinan di bidang penegakan hukum dimana hukum lebih ditegakkan untuk kalangan bawah, dan tidak untuk kalangan atas.

Keadaan seperti itu bisa meresahkan masyarakat yang berdampak pada instabilitas negara. Imam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, ”Seorang raja atau pemimpin yang adil akan bertahan dalam kepemimpinannya meskipun dia seorang kafir. Sedangkan raja atau pemimpin yang tidak adil atau dzalim tidak akan bertahan walau dia seorang Muslim.”

Dalam hubungannya dengan keluarga terkait prinsip keadilan, Rasulullah SAW pernah bersabda:

وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

Artinya: "Demi Allah yang memegang jiwa Muhammad di dalam tangan-Nya! Jika seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri pasti aku akan memotong tangannya."

Hadits di atas merupakan komitmen beliau untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan keadilan sekalipun terhadap anak turun beliau sendiri seperti Fathimah binti Muhammad. Beliau bersumpah akan memotong tangan Fatimah jika terbukti melakukan pencurian demi tegaknya keadilan dalam masyarakat yang beliau pimpin.

Menjadi pemimpin yang adil memang tidak mudah karena berat sekali tantangannya. Tantangan bisa berasal dari dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. Justru karena itulah maka Allah SWT akan memberikan perlindungan kepada setiap pemimpin yang bisa menegakkan keadilan dengan baik kelak di hari Kiamat. Di saat itu, tidak ada perlindungan dari siapapun kecuali perlindungan yang diberikan oleh Allah SWT.

Mudah-mudah apa yang telah saya sampaikan di atas, dapat menginspirasi kita semua bagaimana menjadi pemimpin yang adil. Setiap orang adalah pemimpin, maka setiap orang akan dimintai pertanggung jawabannya dalam menegakkan keadilan.

Salam keadilan