Pemakaman ini disebut Kagungan Dalem Pasarean Giriloyo. Data-data tentang siapa saja yang dimakamkan di pemakaman ini tercatat di dalam dokumen resmi Kraton Yogyakarta. Para pembaca dipersilakan mengecek dokumen resmi tersebut yang ditulis oleh KRT Mandayakusuma. Judulnya 𝐶𝑒𝑛𝑔𝑘𝑜𝑟𝑜𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐺𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑆𝑎𝑟𝑡𝑎 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑙𝑎𝑛 𝐼𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑎𝑚𝑖 𝑆𝑒𝑚𝑎𝑟𝑒 𝐼𝑛𝑔 𝐾𝑎𝑔𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎𝑙𝑒𝑚 𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟𝑒𝑦𝑎𝑛 𝐼𝑚𝑎𝑔𝑖𝑟𝑖, 𝐺𝑖𝑟𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎, 𝑆𝑎𝑟𝑡𝑎 𝐵𝑎𝑛𝑦𝑢𝑠𝑢𝑚𝑢𝑟𝑢𝑝 𝐼𝑛𝑔 𝑁𝑔𝑎𝑦𝑜𝑔𝑦𝑎𝑘𝑎𝑟𝑡𝑎 𝐻𝑎𝑑𝑖𝑛𝑖𝑛𝑔𝑟𝑎𝑡 𝑈𝑔𝑖 𝑃𝑎𝑠𝑎𝑟𝑒𝑦𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑙-𝐴𝑟𝑢𝑚 𝐼𝑛𝑔 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑙. Buku ini diterbitkan oleh Kawedanan Hageng Sriwandawa Bagian Puralaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1950.
Dalam keterangan Babad Diponegoro Manado, pemakaman Bukit Giriloyo ini dikatakan sebagai perwujudan dari syarat yang diamanahkan oleh mufti Mazhab Syafii di Mekah kepada Sultan Agung Hanyakrakusuma, yaitu membangun dua makam. Maka pada 1631/32, Sultan Agung membangun makam di Bukit Giriloyo. Satu makam lagi yang dibangun adalah makam Pajimatan, Imogiri.
Jasad pertama yang dimakamkan di sini adalah jasad paman Sultan Agung, Panembahan Juminah, yang merupakan salah-satu Dewan Walisongo di zaman itu. Selain itu, ada makam orang penting lain, yaitu ibu Sultan Agung, Ratu Mas Hadi binti Pangeran Benowo. Bersama dengan para putra-putri kerajaan, jasad mereka dimakamkan di sisi barat pemakaman. Bukit Giriloyo bagian timur kemudian diperuntukkan bagi para bupati dan pembesar mancanegara (pemimpin dan orang-orang daerah pesisiran) Jawa yang terlibat di dalam tatanan Kerajaan Mataram Islam (Van Mook, 1926: 9-10).
Salah-satu pembesar mancanegara yang dimakamkan di sini adalah Sultan Cirebon V/Panembahan Giriloyo/Syekh Abdul Karim. Ia diambil menantu oleh Sunan Amangkurat I. Ia meninggal pada sekira 1666. Selain Sultan Cirebon V, ada banyak pembesar mancanegara lain yang dimakamkan di sini. Jumlah mereka lebih dari sekira lima orang.
Hanya saja, yang masih dapat disaksikan dan masih utuh saat ini hanya lima makam. Kelima makam itu terletak tepat di sisi utara makam Sultan Cirebon V. Jika dilihat bentuk kijing-nisannya, lima makam itu menunjukkan paugeran makam tahun 1500-1600-an. Begitu pula bentuk kijing-makam Sultan Cirebon V. Bedanya, makam sang sultan ini dimuliakan dengan bentuk, rupa, dan ragam hias sedemikian megah. Maklum! Makam seorang raja harus dibedakan dengan makam orang biasa!
Selain para pembesar mancanegara itu, di bukit ini juga dimakamkan dua orang yang mengawal perjalanan Mataram Islam, yaitu Kyai Ageng Giring IV dan Kyai Ageng Sentong. Gambar makam kedua tokoh ini saya unggah di sini. Saya menjepretnya pada 5 Mei 2023. Siapakah keduanya?
Kyai Ageng Giring IV merupakan anak Kyai Ageng Giring III, sosok yang memastikan dan menjadi “penghubung” turunnya “wahyu” Mataram Islam melalui Kyai Ageng Pamanahan di awal abad ke-16. Ketika Kerajaan Mataram Islam berdiri, sang anak, yaitu Kyai Ageng Giring IV, ikut terlibat di dalam tatanan Mataram Islam untuk “menjaga” keberlangsungan hubungan antara Mataram Islam dengan sanad genealogi-ilmu-amal Sunan Kalijaga melalui jalur Giring. Dalam bahasa kasepuhan, Kyai Ageng Giring IV ini nanti yang memastikan agar “wahyu” terus berjalan hingga sampai pada sosok raja keturunan ketujuh Kyai Ageng Pamanahan.
Sedangkan Kyai Ageng Sentong merupakan tokoh yang melalui garis genealogi-sanadnyalah “wahyu keturunan ketujuh terterapkan (applied)”. Siapakah sang keturunan ketujuh itu? Ia adalah raja Mataram Islam yang genealoginya dari jalur Kyai Ageng Giring, yaitu RM Drajad/Pangeran Puger. Kelak ia akan jumeneng menjadi Sunan Pakubowono I di Kartasura pada 1704. Dalam versi legendanya, cerita tentang Kyai Ageng Sentong dalam konteks “wahyu keturunan ketujuh” ini ditulis oleh Van Mook di artikelnya, Kuta Gedhe (1926).
Wallahu a’lam.
*𝐌. 𝐘𝐚𝐬𝐞𝐫 𝐀𝐫𝐚𝐟𝐚𝐭, 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑙𝑖𝑡𝑖 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑚-𝑚𝑎𝑘𝑎𝑚 𝑡𝑢𝑎