MUTIARA ILMU

Senin, 17 Maret 2025

TRAVELLER MENDAPAT DISPENSASI HUKU SHALAT JUM'AT





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Setiap kami melakukan Travelling di luar kota misalnya, di kota Lumajang, kota Surabaya, kota Yogyakarta, dan luar kota lainnya, isteri selalu menyuruh shalat Jumat dimasjid terdekat. Kadang saya mengikuti permintaanya untuk menyenangkan hatinya tapi kadang saya mengatakan pada dirinya:

"Saat ini, saya tidak akan sholat jum'at disamping kelelahan menjadi draiver mobil yang berjarak ratusan kilo meter, juga saya ingin menikmati suguhan dispensasi hukum musafir oleh Tuhan." Kata saya padanya.

"Maksudnya dispensasi hukum?" Tanyanya penasaran.

"Posisi saya saat ini adalah musafir atau TRAVELLER yang dapat dispensasi atau potongan hukum boleh tidak melaksanakan shalat Jumat." Ungkap saya diplomatis.

Namun demikian, berbeda saat saya melakukan safari dakwah di kota Ketapang Kalimantan Barat, saya selalu melakukan shalat Jumat bahkan tidak hanya sekedar sholat Jum'at saja melainkan diminta menjadi Khotib dan Imam shalat Jumat diberbagai instansi dan institusi pendidikan alias pondok pesantren. Mengapa demikian? Nah ini alasannya. 

Pada dasarnya shalat Jumat hukumnya adalah wajib bagi setiap Muslim laki-laki. Hal ini berdasar pada firman Allah swt dalam surat Al-Jumu’ah ayat 9:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Demikianlah shalat Jumat menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas tertentu. Diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kualitas ketakwaan dan keimanan umat muslim. Karena itulah shalat Jumat didahului dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis shalat Jumat hendaknya menjadi satu media syiar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuat persatuan umat.

Adapun syarat-syarat shalat Jumat seperti yang tertulis dalam kitab Matnul Ghayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’
 
وشرائط وجوب الجمعة سبعة أشياء : الاسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة والاستيطان
 
Syarat wajib Jumat ada tujuh hal yaitu; Islam, baligh, berakal sehat, merdeka, laki-laki, sehat dan mustauthin (tidak sedang bepergian) 

Dari ketujuh syarat tersebut, tiga syarat pertama Islam, baligh dan berakal dapat dianggap mafhum. Karena jelas tidak wajib shalat Jumat orang yang tidak beragama Islam, yang belum baligh, apalagi orang gila. Sedangkan mengenai empat syarat yang lain Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan lainnya dari Jabir ra, Nabi saw bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فعليه الجمعة إلا امراة ومسافرا وعبدا ومريضا

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat Jumat kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya dan orang yang sedang sakit.

Pada praktiknya, shalat Jumat sama seperti shalat-shalat fardhu lainnya. Hanya ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu pertama  hendaklah diadakan di negeri, kota atau desa. kedua jumlah orang tidak kurang dari 40, dan ketiga masih adanya waktu untuk shalat Jumat, jika waktu telah habis atau syarat yang lain tidak terpenuhi maka dilaksanakanlah shalat Dhuhur.

Dengan demikian shalat Jumat selalu dilakukan di masjid. Dan tidak boleh dilakukan sendirian di rumah seperti shalat fardhu yang lain. Hal ini tentunya menyulitkan mereka yang terbiasa bepergian jauh. Entah karena tugas negara atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena itulah maka shalat Jumat tidak diwajibkan bagi mereka yang sedang sakit atau berada dalam perjalanan (musafir).
 
Khusus untuk musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk maksiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.

Bolehnya meninggalkan shalat Jumat oleh musafir ini dalam wacana fiqih disebut dengan rukhshah (dispensasi). Yaitu perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Bepergian menjadi udzur seseorang untuk menjalankan shalat Jumat karena dalam perjalanan seseorang biasa mengalami kepayahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat Jumat tiba.

Akan tetapi keringanan –rukhshah- ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berubah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan jika saya dari Bondowoso pergi safari dakwah  ke Ketapang Kalimantan Barat lalu niat menginap di pesantren sahabat saya Dr. KH. Surya Abdullah, M. Pd. I selama satu bulan lamanya maka tidak berlaku lagi bagi saya  keringanan bepergian –rukhsah al-safar-. 

Maka saya  tidak diperbolehkan meninggalkan shalat Jumat, jamak atau qashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. Contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jumat bila tiba waktunya.   

Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang, tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari.

Oleh karena itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk maksiat. Ketiga, mengetahui jumlah hari selama bepergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab Al-Madzahibul Arba’ah, Al-Hawasyiy Al-Madaniyah dan Al-Fiqhul Islami).


Salam akal sehat, Kalimantan Barat, 18 Maret 2025

Sabtu, 15 Maret 2025

*Kewaspadaan Terhadap Klan Ba'alwi: Antara Klaim Kesucian dan Realitas Kejahatan*



https://www.walisongobangkit.com/kewaspadaan-terhadap-klan-baalwi-antara-klaim-kesucian-dan-realitas-kejahatan/

Klan Ba’alwi sering mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW dan meminta penghormatan khusus dari masyarakat. Namun, klaim ini bertolak belakang dengan berbagai fakta sejarah dan perilaku yang mereka tunjukkan. Bukan hanya gagal menunjukkan sifat-sifat luhur seorang dzurriyah Nabi, mereka justru terlibat dalam berbagai pengkhianatan terhadap bangsa serta perilaku tercela yang mencederai nilai-nilai Islam dan moralitas.

1. Dari Klaim Dakwah ke Kepentingan Dagang
Salah satu mitos besar yang dibangun oleh klan Ba’alwi adalah bahwa mereka datang ke Nusantara untuk menyebarkan Islam. Namun, bukti sejarah menunjukkan bahwa kedatangan mereka justru difasilitasi oleh VOC, penjajah Belanda yang mengeksploitasi Nusantara. Jika mereka benar-benar ulama, mengapa mereka memilih jalur perdagangan melalui VOC daripada berdakwah dengan perjuangan seperti para ulama pribumi?

2. Deretan Pengkhianatan terhadap Bangsa
Fakta sejarah mencatat bahwa banyak individu dari klan Ba’alwi berkhianat terhadap bangsa ini, menjadi antek Belanda, dan bahkan menindas rakyat sendiri. Beberapa di antaranya:
• Habib Utsman bin Yahya: Mengeluarkan fatwa haramnya jihad melawan Belanda demi gaji 100 gulden.
• Habib Ali Kwitang: Murid dari Utsman bin Yahya yang mendapatkan tanda jasa dari Belanda.
• Habib Ibrahim Baabud: Berperan dalam menindas rakyat bersama Belanda saat Perang Diponegoro.
• Habib Abdurrahman El Zahir di Aceh: Menjadi informan Belanda yang mengkhianati rakyat Aceh.
• Habibah Fatimah: Membantu Belanda menguasai Kesultanan Banten.
• Habib dalam PKI: Beberapa anggota klan ini terlibat dalam Partai Komunis Indonesia yang merusak bangsa.
Pengkhianatan ini menunjukkan bahwa klaim sebagai keturunan suci sama sekali tidak sejalan dengan tindakan yang mereka lakukan. Jika memang keturunan Nabi, mengapa justru memihak penjajah?

3. Klaim Keturunan Nabi, Tapi DNA Tidak Cocok
Secara genetika, klaim klan Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tes DNA menunjukkan bahwa haplogroup mereka adalah G, bukan J1, yang merupakan haplogroup keturunan Nabi. Ini adalah bukti ilmiah yang tidak bisa dibantah bahwa mereka bukanlah keturunan Rasulullah.

4. Kontribusi yang Tidak Sebanding
Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pribumi yang berkontribusi nyata bagi bangsa, klaim klan Ba’alwi sebagai pejuang dan ulama besar menjadi tidak relevan. Tokoh seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Jenderal Sudirman, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Prof. Dr. Hamka memiliki rekam jejak perjuangan yang nyata. Sementara itu, klan Ba’alwi hanya bisa menyebut beberapa nama tanpa kontribusi yang signifikan.

5. Perilaku Tidak Bermoral dan Kejahatan
Selain pengkhianatan, banyak individu dari klan Ba’alwi yang terlibat dalam berbagai kejahatan moral dan kriminal:
• Pelecehan seksual: Yusuf Alkaf mencabuli santri.
• Kekerasan dalam rumah tangga: Ali Jindan diduga melakukan KDRT.
• Kasus narkoba: Beberapa habib terlibat dalam peredaran narkoba.
• Penganiayaan anak di bawah umur: Habib Bahar bin Smith terbukti bersalah.
• Penipuan finansial: Beberapa habib tertangkap karena melakukan penipuan uang dan emas.
• Murtad dan menjadi pendeta: Beberapa anggota klan ini bahkan meninggalkan Islam.
Jika mereka benar-benar keturunan Nabi, bagaimana mungkin mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam? Fakta ini semakin memperjelas bahwa klaim kesucian mereka tidak lebih dari sekadar mitos yang dipaksakan.
Link informasi: https://www.walisongobangkit.com/daftar-deretan-kejahatan-yang-dilakukan-oknum-habib-yaman-bani-baalawiy/

FAKTA ILMIAH: KLARIFIKASI TERHADAP KLAIM KLAN BA'ALWI
Dalam kajian sejarah, filologi, dan genetika, telah ditemukan banyak kejanggalan dalam klaim Klan Ba'alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli, termasuk KH Imaduddin Utsman al Bantani, Prof. Dr. Manachem Ali, dan Dr. Sugeng Sugiarto, menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Secara genetik, hasil analisis menunjukkan bahwa haplogroup G yang ditemukan dalam garis keturunan Klan Ba'alwi tidak sesuai dengan haplogroup J1 yang ditemukan dalam keturunan Bani Hasyim dan Nabi Muhammad SAW.
Lebih lanjut, sejarah mencatat bahwa Klan Ba'alwi justru banyak terlibat dalam pengkhianatan terhadap bangsa dan agama. Memang benar bahwa di masa kolonial banyak pribumi yang menjadi antek Belanda dan melakukan pengkhianatan. Namun, yang membuat situasi ini lebih parah adalah bahwa Klan Ba'alwi mengklaim sebagai dzurriyah Nabi, yang seharusnya membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Namun, alih-alih menjalankan tugas moral ini, mereka justru berperan sebagai kaki tangan kolonial, berkhianat terhadap bangsa yang mereka tempati. Klaim sebagai keturunan Nabi hanya menjadi alat legitimasi untuk kepentingan politik dan kekuasaan.
Ironi ini semakin jelas jika dibandingkan dengan anak Nabi Nuh AS. Anak Nabi Nuh memang menolak ajaran ayahnya, tetapi ia tidak pernah mengaku sebagai wali Allah atau keturunan suci yang harus dihormati. Berbeda dengan Klan Ba'alwi, yang membangun klaim sepanjang nasab dan meminta diakui sebagai dzurriyah Nabi, tetapi kelakuannya justru bertentangan dengan nilai-nilai keislaman yang seharusnya mereka junjung tinggi. Jika mereka sendiri gagal menjaga perilaku dan akhlak yang seharusnya sesuai dengan status yang mereka klaim, lalu mengapa mereka masih ngotot menjual nasab yang justru malah mencoreng nama baik Nabi Muhammad SAW?
Dengan demikian, fakta sejarah, genetika, dan perilaku sosial telah cukup memberikan bukti bahwa Klan Ba'alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Klaim mereka harus diuji secara ilmiah, dan masyarakat perlu berpikir dengan akal sehat serta hati nurani agar tidak mudah tertipu oleh narasi yang tidak berdasar.

Kesimpulan: Klan Ba’alwi dan Mitos Kesuciannya
Sudah saatnya masyarakat membuka mata terhadap fakta bahwa klan Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW. Mereka bukan ulama besar, bukan pejuang bangsa, dan bukan keturunan suci yang harus dihormati tanpa kritik. Masyarakat perlu waspada terhadap manipulasi sejarah dan klaim tanpa dasar yang hanya bertujuan untuk menjaga kepentingan segelintir kelompok.
Mari jaga bangsa ini dari pengaruh yang merusak dengan berpikir kritis, menelaah fakta sejarah, dan menolak kultus yang tidak berlandaskan realitas. Kesucian bukan ditentukan oleh nasab, tetapi oleh akhlak dan perbuatan nyata.

*KITAB NASAB DAN SEJARAH YANG LAYAK DI MILIKI*



1. Kitabul mu'qibin 
2. Maqotil atthilibiyin
3. Sirrus silsilah 
4. Tahdzibul ansab 
5. Al Majdi 
6. Syajarotul Mubarokah 
7. Al Fakhri 
8. Al ashili 
9. Umdatut Tolib 
10. Umdatut Tholib 
11. Tobaqotun nassabin
12. Sihahul akhbar 
13. Torful ashab 
14. Tuhfatut Tolib 
15. Assuluk 2 jilid
16. Muntaqilah attolibiah 
17. Abnaul imam 
18. Assyjaroh Zakiyah 
19. Al muntaqo 
20. Bahrul ansab 
21. Al kafi 
22. as sam'ani 
23. Tuhfah zaman 2 jlid
24. Al Ghuror 
25. Qiladatunnahar 6 jilid 
26 Al aqdul fakhir 4 jilid
27. Tobaqot Al khowas 
28. Al baha' 
29. Uqudul almas 2 jilid 
30. Tahfatul Azhar 2 jilid
31. Idamul qut 2 jilid
32. Tarikh Hadramaut Al Hamidi 2 jilid
33. Al istizadhah 3 jilid
34. Tasbitul Fuad 3 jilid 
35. Al masro' Rowi 2 jilid 
36. Al burqoh Al musyiqoh 
37. Syaroful asbath 
38. Rosail fi ilmin Nasab 
39. Tobaqot fuqoha 
40. Tarikh stagher 
41. Muqoddimah fi ilmin nasab 
42. Syahrul ainiyah 
43. Al qirtos 
44. Tobaqot sulahail Yaman
45. Attijan di muluki himyar 
46. Usulu ilmin nasab