MUTIARA ILMU

Rabu, 12 Maret 2025

PUASA PRA ISLAM





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Selama ini tidak sedikit kaum muslimin menduga bahwa puasa itu hanya dilakukan oleh agama Islam saja, tak salah jika mereka menanyakan hal itu pada saya apakah sebelum Islam itu puasa sudah dilakukan oleh umat umat terdahulu. 

Momentum itu saya mengutip tulisan Dr. Mukhtar Hadi, M.Si. (Direktur Pascasarjana IAIN Metro) yang mengatakan bahwa puasa itu sudah dilakukan oleh umat umat sebelum datangnya agama Islam.

Well, salah satu kewajiban bagi setiap muslim sebagaimana yang termaktub di dalam rukun Islam adalah mengerjakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Perintah puasa itu secara jelas difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183. Jika kita membaca pada surat dan ayat tersebut dijelaskan bahwa kewajiban puasa ini juga telah diwajibkan bagi kaum atau orang-orang sebelum Islam. Pertanyaannya,  puasa orang-orang sebelum Islam itu sesungguhnya seperti apa?

Ada yang memahami puasa orang-orang sebelum Islam itu adalah puasanya umat dari Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW dari Nabi Adam hingga Nabi terakhir. Berarti puasanya umat semisal umat Nabi Daud, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi-Nabi yang lainnya. Namun ada pula yang memahami umat sebelum Islam adalah kaum Nasrani. Tulisan ini mengambil pendapat yang pertama bahwa umat sebelum Islam adalah umat Nabi Adam hingga Rasulullah SAW.

Dalam beberapa riwayat dan kitab-kitab tafsir, puasanya orang-orang sebelum Islam itu adalah sebagaimana berikut ini.

Pertama adalah puasanya Nabi Daud, yaitu puasa yang dilaksanakan sehari puasa, sehari berbuka dan puasa lagi di hari berikutnya dan seterusnya. Umat Islam sering menyebutnya dengan puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak. Disebut puasa Daud karena puasa itu dahulu telah dilaksanakan oleh Nabi Daud dan para pengikutnya.

Penjelasan soal puasa Daud ini didasarkan pada sebuah Hadits: “Sebaik-baik shalat disisi Allah adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihissalam. Dan sebaik-baik puasa disisi Allah adalah puasa Daud. Nabi Daud dulu tidur di pertengahan malam dan beliau shalat di sepertiga  malamnya dan tidur lagi di seperenamnya. Adapun puasa Daud yaitu puasa sehari dan tidak berpuasa di hari berikutnya” (HR.Bukhari). Meskipun puasa ini oleh Rasulullah dinyatakan sebagai sebaik-baik puasa namun di dalam Islam puasa Daud ini merupakan puasa Sunnah dan bukan merupakan puasa wajib karena puasa wajib hanya satu saja yaitu puasa satu bulan di bulan Ramadhan.

Kedua, puasa tanggal 10 bulan Muharam sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi yang merupakan umat Nabi Musa ‘alaihissalam. Sebelum Islam datang, orang-orang Arab terutama kaum penganut agama Yahudi sudah terbiasa melakukan puasa pada tanggal sepuluh di bulan Muharram. Karena dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram, maka puasa itu kemudian disebut dengan puasa ‘Asyura. Praktek puasa ‘Asyura ini kemudian masih dilaksanakan oleh Nabi sebagai metode dakwah untuk mengajak Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) untuk masuk Islam. Dengan Nabi berpuasa ‘asyura ini, orang Yahudi akan berfikir ternyata syariat Islam tidak jauh berbeda dengan syariat nabi mereka, Musa ‘alaihissalam.

Menurut sejarah dan dijelaskan dalam sebuah hadits, awalnya Rasulullah saw berpuasa ‘Asyura ketika masih berada di Mekah dan pada saat itu Beliau tidak memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun, ketika beliau tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melaksanakan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Maka, Nabi memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Puasa ‘Asyura diwajibkan pada masa itu, namun setelah ada perintah kewajiban puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura ditetapkan oleh Nabi menjadi puasa Sunnah.

Ketiga, puasa yang pernah dilakukan oleh kaum Nasrani. Banyak perintah puasa dalam agama Nasrani sebagaimana dijelaskan dalam Al-Kitab baik di Perjanjian Lama maupun perjanjian baru. Ada yang disebut dengan puasa mutlak yaitu jenis puasa dimana seseorang tidak makan dan minum sama sekali. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kondisi pelaku puasa. Contoh puasa mutlak ini adalah puasa Musa yaitu 40 hari 40 malam tidak makan dan minum, puasa Ester yaitu puasa 3 hari 3 malam tidak makan dan tidak minum, dan puasa Yesus yaitu 40 hari 40 malam tidak makan dan minum.

Di kalangan agama Nasrani juga ada puasa yang disebut puasa Normal, yakni pelaku tidak makan sama sekali. Namun, mereka dapat minum sebanyak-banyaknya. Puasa ini dapat dilakukan selama beberapa hari, tergantung kondisi pelaku. Contoh puasa normal ini adalah puasa Daud, yaitu tidak makan dan semalaman berbaring di tanah. Lalu ada puasa Sebagian, yaitu puasa dengan menghindari makanan dan minuman tertentu selama kurun yang ditentukan. Contoh puasa jenis ini adalah puasa Daniel, yakni puasa 10 hari hanya makan sayur serta minum air putih.

Nabi dan Rasul yang lain dinyatakan juga melakukan puasa. Menurut Ibnu Katsir, penulis Tafsir Ibnu Katsir, Nabi Adam ‘alaihissalam berpuasa selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun. Dalam riwayat lain Nabi Adam berpuasa tiap tanggal 10 Muharram sebagai ungkapan rasa syukur lantaran Allah mengizinkannya bertemu dengan istrinya, Hawa, di Arafah. Nabi  Nuh ‘alaihissalam juga melakukan puasa ketika  sedang berada di atas perahu bersama umatnya ketika banjir bandang besar terjadi.

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berpuasa ketika Raja Namruz memerintahkan pengumpulan kayu bakar untuk membakar diri Nabi Ibrahim. Ketika beliau dilemparkan ke dalam api yang berkobar beliau dalam keadaan berpuasa sampai akhirnya Allah memerintahkan agar api itu menjadi dingin dan tidak sedikitpun membakarnya. Nabi Yusus ‘alaihissalam juga berpuasa ketika sedang menjalani masa tahanan akibat difitnah  telah berbuat tidak senonoh dengan Zulaikha. Nabi Yunus ‘alaihissalam berpuasa ketika berada dalam perut ikan paus. Nabi Ayub ‘alaihissalam yang diuji dengan banyak cobaan juga berpuasa sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Demikianlah puasa para ahli Kitab dan para Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Boleh dikatakan ibadah puasa hampir dilakukan oleh para Nabi dan umat-umat sebelum Islam. Yang membedakannya hanya pada tata cara atau kaifiyat puasanya. Tujuannya sama yaitu berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Wallahu a’lam bishawab.

Salam akal sehat, Bondowoso, 11 Maret 2025

PUASA PERSPEKTIF SOSIAL





Oleh: Dr. Muhammad Saeful Kurniawan, MA



Puasa ini merupakan institusi pendidikan untuk mengekpresikan diri ditengah tengah masyarakat dalam menyalurkan donasi pada orang lain yang membutuhkan kendati itu tidak besar.

Tadi malam saya kedatangan tamu dari Nangkaan Bondowoso seorang marbot masjid Jamik al-Amin. Kedatangannya jauh jauh dari kota Bondowoso disamping untuk silaturahim juga memberi hadiah cincin asli Kalimantan. Pasalnya, saat ngisi pengajian yang bersangkutan melihat jari jemari saya ada cincinya. Sehingga ia berinisiasi ingin memberi hadiah cincin pada saya.

Ndilalah sosoknya yang religius dan gemar mengkhatamkan al-Qur'an maka saya juga berinisiasi memberikan hadiah al-Qur'an khusus penghafal al-Qur'an untuk mempermudah dirinya dalam memahami kandungan isi al-Qur'an. Sebab al-Quran itu didesign terjemah perkata dan terjemah bebas lengkap dengan tafsirnya. Ini yang dinamakan simbiosis mutualisme saat dibulan suci ramadhan.

Mengutip tulisan Dr. Mukhtar  Hadi, M. Si. Direktur Pascasarjana IAIN Metro yang mengatakan bahwa  melaksanakan ibadah puasa adalah bentuk ketundukan atas perintah Allah SWT kepada setiap orang-orang yang beriman. Tujuannya supaya menjadi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183). Namun demikian, Puasa bukan hanya ibadah yang berdimensi spiritual individual.  Artinya, puasa  bukan  ibadah yang manfaat dan dampaknya dirasakan oleh individu yang berpuasa saja. Akan tetapi puasa juga memiliki dimensi sosial yang sangat luas.

Meskipun secara terbatas dalam kitab-kitab Fiqih pengertian puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa, seperti makan minum, melakukan hubungan suami istri ketika sedang berpuasa, Namun, esensi  puasa sesungguhnya bukan hanya menahan lapar dan dahaga saja. Demikian di sabdakan oleh Nabi SAW, yaitu berapa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja dan tidak mendapatkan pahala puasa. Mengapa demikian? Karena orang tersebut berpuasa tetapi juga masih mengumpat orang lain, berkata-kata yang kotor, berseteru dengan orang lain, melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan  maksiat dan lain sebagainya.

Pada saat orang yang berpuasa bukan hanya memuasakan perutnya saja dengan tidak memasukkan makanan dan minuman, tetapi hatinya berpuasa, mulutnya berpuasa, tangan dan kaki serta anggota tubuh yang lain juga berpuasa. Pendek kata, baik aspek lahiriah maupun batiniah semuanya harus berpuasa.

Seseorang yang berpuasa dan merasakan beratnya lapar dan dahaga, lelah dan lemahnya badan fisik tanpa asupan makanan dan minuman, maka secara batiniah akan menyelami dan merasakan penderitaan orang-orang yang miskin dan papa. Banyak orang yang berada dalam kondisi fakir dan  miskin yang jangankan memiliki persediaan makan untuk beberapa hari, untuk makan hari itu saja mereka kesulitan. Dengan terpaksa mereka makan seadanya, sehari terkadang makan hanya satu kali, bahkan tidak sama sekali. Kondisi itu bagi sebagian orang yang fakir miskin terkadang bukan berbilang sehari dua hari, seminggu atau hanya satu bulan, tetapi boleh jadi berhari-hari dan sepanjang hari.

Masih beruntung orang yang berpuasa yang masih menemukan makanan berbuka. Kadang-kadang makanan berbuka itu beraneka macam dan warna. Bagi orang yang fakir dan papa itu, harapan untuk  berbuka itu kadang-kadang tidak ada sehingga mereka seperti berpuasa sepanjang masa. Pada tataran inilah, puasa akan melatih kepekaan sosial dan mengasah rasa kepedulian sosial kita dengan orang lain yang kurang beruntung. Simbol dan bentuk langsung empati dan kepedulian sosial itu sebagaimana diperintahkan dan dicontohkan Nabi supaya di bulan suci Ramadhan untuk memperbanyak sedekah dan berinfak serta memberi makan orang-orang yang sedang berpuasa.

Kepedulian sosial dan kesediaan membantu orang lain serta ringan mengulurkan tangan menolong orang lain adalah bentuk nyata impelemensi dari nilai-nilai sosial ibadah puasa. Dimensi sosialnya sangat luas, yakni bukan hanya membantu orang-orang dari kelompok sendiri, namun juga orang lain tanpa ada sekat-sekat agama, etnis, suku atau golongan. Menolong dan membantu orang yang kesulitan hanya memiliki satu nama, yaitu atas nama kemanusiaan. Demikianlah agama Islam mengajarkan.

Muslim Indonesia yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk dan Berbhineka Tunggal Ika dituntut untuk memiliki pandangan kemanusiaan yang universal tersebut. Suatu masyarakat yang majemuk membutuhkan kesatuan dan kebersamaan dalam rangka mencapai tujuan bersama yang dicita-citakan. Semua itu bisa diwujudkan jika terbentuk kohesi sosial yang kuat. Kohesi sosial adalah perekat atau ikatan yang menjaga masyarakat tetap bersatu dan terintegrasi. Di dalamnya ada nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan bersama yang dibagi pada seluruh anggota masyarakat sebagai acuan moral.  Kerjasama, saling membantu, saling meringankan beban dan peduli kepada sesama adalah perekat sosial yang  bisa  mengokohkan kohesi sosial.

Puasa adalah madrasah sosial yang dapat membentuk diri menjadi pribadi muslim yang kuat dan tangguh secara spiritual tetapi juga tangguh secara sosial. Mari kita laksanakan ibadah  puasa dengan sungguh-sungguh hingga sampai pada makna esensialnya. Puasa yang tidak sekedar lapar dan dahaga.  Wallahu a’lam bishawab.

Salam akal sehat, Bondowoso 11 Maret 2025