MUTIARA ILMU

Senin, 09 Desember 2024

Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Melawan Dinasti Ubaidillah al-Mahdi: Mengungkap Jejak Sejarah Klan Ba'alwi


https://www.walisongobangkit.com/shalahuddin-al-ayyubi-dan-perang-melawan-dinasti-ubaidillah-al-mahdi-mengungkap-jejak-sejarah-klan-baalwi/

Sejarah Islam dipenuhi pelajaran berharga tentang bagaimana umat melawan penyimpangan dalam akidah dan klaim palsu atas nama keturunan Nabi Muhammad SAW. Salah satu peristiwa penting adalah perjuangan Shalahuddin Al-Ayyubi melawan Dinasti Fatimiyah, yang dipimpin oleh Ubaidillah al-Mahdi, tokoh Syiah yang mengklaim keturunan Rasulullah. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak hanya palsu tetapi juga memiliki jejak keterkaitan dengan asal-usul Yahudi. Artikel ini akan membahas peran Shalahuddin Al-Ayyubi dalam menumpas Dinasti Fatimiyah atas dorongan ulama besar, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, serta indikasi keterkaitan klaim klan Ba'alwi dengan jejak Dinasti Ubaidillah.

*Klan Ubaidillah al-Mahdi: Klaim Palsu dan Asal-usul Yahudi*
Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi pada abad ke-10 M. Ia mengklaim sebagai keturunan Rasulullah SAW, tetapi para ulama Ahlussunah wal Jamaah pada masa itu sepakat bahwa klaim tersebut palsu. Dalam istilah Arab, keadaan ini disebut Ikhtilafun Katsirun Jiddan (terdapat banyak perbedaan yang sangat mencurigakan) terkait nasabnya. Penelitian menunjukkan bahwa Ubaidillah sebenarnya adalah keturunan Yahudi.

Strategi Ubaidillah al-Mahdi melibatkan manipulasi emosi umat Islam dengan menanamkan kecintaan buta kepada Ahlul Bait. Gelar seperti "Al-Habib," yang pertama kali digunakan oleh ayahnya, Ahmad al-Habib, juga diduga berasal dari propaganda mereka. Strategi ini berhasil menipu umat Islam selama hampir dua abad(200 tahun), termasuk di wilayah Mesir.

*Shalahuddin Al-Ayyubi: Mengembalikan Kejayaan Islam*
Shalahuddin Al-Ayyubi dikenal sebagai sosok pembebas Al-Quds dari Pasukan Salib. Namun, sebelum itu, ia terlebih dahulu menumpas Dinasti Fatimiyah di Mesir atas arahan para ulama, termasuk Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Dinasti Fatimiyah merupakan sekutu kuat Pasukan Salib, sehingga menghancurkan mereka adalah langkah strategis untuk mengamankan dunia Islam.

Shalahuddin tidak hanya berhasil merebut Mesir, tetapi juga mengakhiri pengaruh Dinasti Fatimiyah yang dianggap merusak akidah umat Islam. Kemenangan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam dan simbol keberhasilan menjaga kemurnian ajaran Rasulullah SAW.

*Indikasi Keterkaitan dengan Klan Ba'alwi*
Jejak Dinasti Fatimiyah di masa lalu memiliki kemiripan pola dengan klaim nasab oleh klan Ba'alwi di masa kini. Istilah seperti "Al-Habib" mulai populer di Nusantara pada abad ke-19 M, ketika imigran dari Yaman mulai masuk ke wilayah ini. Menurut peneliti, istilah ini digunakan untuk memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai "Dzuriyat Rasulullah," meskipun tidak ada bukti historis yang kuat.

Sebaliknya, Walisongo, yang sebagian besar adalah keturunan Syaikh Abdul Qadir Jailani, justru dikenal sebagai pelopor ajaran Islam murni di Nusantara. Fakta bahwa klan Ba'alwi sering kali berseberangan dengan warisan ajaran Walisongo dapat menjadi indikasi kuat adanya jejak pola pemikiran Dinasti Fatimiyah dalam klaim mereka.

*Dampak di Nusantara: Pelajaran untuk Umat*
Sejarah mencatat bagaimana taktik serupa digunakan di Aceh, di mana gelar "Sayyid" dan "Habib" digunakan oleh pengkhianat seperti Habib Abdurrahman bin Muhammad Az-Zahir untuk melemahkan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajahan Belanda. Fatwa-fatwa mereka menyebabkan kemunduran semangat jihad di Aceh, yang sebelumnya menjadi benteng Islam terkuat di Nusantara.
Data lain jejak panjang penghianatan Klan ba’alwi terhadap perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia:
1. *Pengkhianatan Pangeran Diponegoro* : Habib Ibrahim Ba’abud bersekongkol dengan Belanda, yang menyebabkan penangkapan Pangeran Diponegoro.
2. *Geger Cilegon 1888* : Habib Usman bin Yahya bekerja sama dengan kolonial, yang berakhir pada kegagalan perlawanan para ulama dan banyak ulama beserta penduduk yang menjadi korban hukum gantung oleh kolonial Belanda.
3. *Demang Lehman* : Pejuang dari Martapura ini dihukum gantung karena penghianatan Habib Hamid Al-Aidrus.
4. Perkuat Pernyataan Hendropriyono, Sejarawan UGM Sebut Sultan Hamid II *(Habib Abdul Hamid Alkadrie)*  Khianati RI, selengkapnya tulisan di link website berikut :  https://www.walisongobangkit.com/perkuat-pernyataan-hendropriyono-sejarawan-ugm-sebut-sultan-hamid-ii-khianati-ri/

Fenomena serupa dapat ditemukan dalam klaim nasab oleh beberapa kelompok di Indonesia yang lebih mengutamakan status keturunan daripada kontribusi nyata dalam keilmuan dan akhlak.

*Penutup*
Pelajaran dari perjuangan Shalahuddin Al-Ayyubi dan sejarah Dinasti Fatimiyah adalah pentingnya berpikir kritis dan berlandaskan ilmu dalam mencintai Ahlul Bait Rasulullah SAW. Masyarakat Islam, khususnya di Indonesia, harus waspada terhadap klaim-klaim yang tidak berdasarkan fakta dan lebih mengutamakan akhlak mulia serta keilmuan daripada sekadar gelar keturunan.

Semoga umat Islam mampu menjaga kemurnian ajaran Rasulullah SAW dan tidak terjebak dalam klaim tanpa bukti yang hanya memperlemah persatuan umat. 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sabtu, 07 Desember 2024

KYAI DAN NYAI


Dalam masyarakat Jawa, Kyai adalah sebutan untuk orang, barang maupun hewan (bergender laki-laki) yang dihormati maupun dituakan. Sementara Nyai adalah sebutan untuk yang bergender perempuan.

Kyai dan Nyai untuk sebutan orang biasanya disematkan kepada tokoh-tokoh masyarakat. Tetapi untuk orang yang sudah meninggal, yang muda pun kadang disebut Kyai maupun Nyai juga dinisannya. Sehingga tidak mengherankan jika makam di pelosok-pelosok, di nisan-nisannya tertulis kata Kyai maupun Nyai, meskipun orang yang dimakamkan disitu bukan tokoh terkenal. Tetapi pada jaman sekarang ini, sebutan Kyai ini lebih banyak diasosiasikan pada tokoh agama.

Kyai/Nyai untuk penamaan barang biasanya terkait dengan senjata perang yang dimiliki oleh orang-orang kerajaan. Misalnya tombak Kyai Pleret, yang merupakan salah satu pusaka jaman Mataram, keris Kyai Setan Kober milik adipati Jipang (Arya Penangsang) dan keris Kyai Naga Siloeman yang dipercaya merupakan milik Pangeran Diponegoro.

Selain untuk penamaan senjata, Kyai/Nyai ini dipakai juga untuk menamai alat musik, misalnya gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga milik keraton Yogyakarta. Bahkan ada juga konsep gamelan yang menggunakan nama Kyai, yaitu gamelan Kyai Kanjeng. 

Sementara Kyai/Nyai untuk sebutan hewan biasanya disematkan pada hewan-hewan milik para tokoh maupun milik kerajaan, misalnya kuda Kyai Gagak Rimang milik adipati Jipang (Arya Penangsang) maupun Nyai Debleng Sepuh, kerbau bule milik keraton Solo.

Selain disematkan pada orang, barang dan hewan, Kyai/Nyai ini disematkan juga pada hal-hal diluar nalar, misalnya Kyai Sapu Jagad,  sebutan untuk ‘penunggu’ gunung Merapi.

Sebenarnya di lingkungan orang Jawa itu tidak boleh meninggikan dirinya sendiri atau "mbasakke awake dhewe"

Jadi kalau ada orang jawa menyebut dirinya dengan Ki atau Kyai secara unggah ungguh tata krama tidak benar, biarlah sebutan Kyai dan Nyai itu orang lain yang menyebut. Bukan dirinya sendiri.