MUTIARA ILMU

Kamis, 07 November 2024

Ubaidillah bin Ahmad Ba'alawi Perspektif ilmu sejarah

*"Apakah Ahli Sejarah Berhak Mengkritisi Ilmu Nasab? Bukti Kejanggalan Ubaidillah bin Ahmad yang Membongkar Klaim Keturunan Ba'alawi"*
Pendekatan dari disiplin sejarah, filologi, dan genetika.
*1. Hubungan antara Ilmu Sejarah dan Ilmu Nasab*
Ilmu sejarah dan ilmu nasab memang memiliki pendekatan yang berbeda-beda, namun keduanya saling berkaitan dalam kajian tentang garis keturunan. Sejarah mengandalkan bukti tertulis, artefak, dan catatan kronologis untuk mengungkap masa lalu. Sementara ilmu nasab fokus pada pencatatan garis keturunan yang valid, menggunakan bukti silsilah dan, dalam era modern, ditunjang oleh analisis genetika.
• *Para ahli sejarah dapat masuk ke ranah ilmu nasab* jika mereka memasukkan keabsahan klaim-klaim nasab dengan mengandalkan catatan-catatan sejarah. Jika suatu silsilah atau tokoh dalam nasab tersebut tidak memiliki bukti sejarah yang mendukung keberadaannya, maka ahli sejarah berhak untuk meragukan atau menyanggah keabsahannya.
• *Sebaliknya, ahli nasab* yang mempelajari silsilah suatu keluarga atau klan juga harus berpedoman pada bukti sejarah. Jika ada klaim bahwa seseorang merupakan keturunan tokoh tertentu, klaim tersebut harus didukung oleh catatan yang dapat dibuat secara historis.
*2. Kejanggalan Tokoh Ubaidillah bin Ahmad*
Tokoh yang sering disebut sebagai Imam Ubaidillah bin Ahmad adalah pusat yang terdapat dalam klaim nasab Ba'alwi. Menurut klaim klan Ba'alwi, Ubaidillah bin Ahmad adalah seorang Imam terkemuka, hidup di abad ke-4 Hijriah, dan konon merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW. Namun, ada beberapa kejanggalan mendasar yang perlu dijelaskan:
• *Tidak Ada Catatan Sejarah Selama 550 Tahun* : Jika benar Ubaidillah bin Ahmad adalah seorang Imam yang berpengaruh dan keturunan Nabi Muhammad SAW, sangat aneh bahwa selama 550 tahun setelah masa hidupnya, tidak ada satu pun sejarawan yang mencatat tentang keberadaannya. Seorang tokoh yang disebut Imam biasanya dihormati dan dihormati, dengan catatan sejarah yang mencerminkan pengaruhnya. Fakta bahwa tidak ada bukti tertulis selama lebih dari setengah milenium menunjukkan kejanggalan yang serius.
• *Ketiadaan Karya Tulis* : Salah satu indikasi penting bahwa seseorang adalah seorang ulama atau Imam besar adalah keberadaan karya-karya ilmiah atau kontribusi keilmuan yang dapat dilacak. Ubaidillah bin Ahmad, meskipun dianggap sebagai Imam, tidak meninggalkan satu pun karya atau tulisan yang diakui secara historis. Ini adalah kejanggalan yang besar, mengingat ulama besar pada zamannya pasti meninggalkan jejak intelektual.
• *Indikasi Tokoh Fiktif* : Ketidakhadiran bukti-bukti sejarah dan ketiadaan karya tulis menunjukkan bahwa Ubaidillah bin Ahmad lebih menyerupai tokoh fiktif yang dimunculkan untuk mendukung silsilah yang dirancang belakangan. Dalam dunia keilmuan, klaim-klaim nasab yang tidak memiliki bukti sejarah sering kali meragukan kebenarannya.
*3. Pentingnya Pendekatan Ilmiah*
Ilmu sejarah dan ilmu nasab tidak dapat dipisahkan dalam klaim-klaim yang mencakup garis keturunan. Dalam kasus Ubaidillah bin Ahmad, pendekatan ilmiah yang mencakup:
• *Sejarah* : Mengevaluasi keberadaan tokoh-tokoh dalam silsilah dengan catatan sejarah.
• *Filologi* : Mengkaji teks-teks kuno yang berkaitan dengan klaim keturunan, untuk memastikan otentisitasnya.
• *Genetika* : Menggunakan teknologi modern untuk memverifikasi klaim keturunan secara ilmiah.
Ahli sejarah dan ahli nasab bisa bekerja sama untuk memverifikasi atau menyangkal klaim-klaim keturunan. Dalam hal ini, kejanggalan sejarah terkait Ubaidillah bin Ahmad mendukung argumen bahwa klaim Ba'alwi tidak dapat diterima tanpa bukti yang kuat.

*Kesimpulan*
Ahli sejarah berhak mengklaim bahwa Ubaidillah bin Ahmad adalah tokoh yang skeptis karena tidak adanya bukti sejarah yang mendukung klaim tersebut. Tanpa catatan sejarah, jejak intelektual, atau bukti-bukti ilmiah lainnya, klaim klan Ba'alwi harus dibahas dan dipertimbangkan sebagai konstruksi fiktif daripada fakta sejarah.

Rabu, 06 November 2024

*“FAQIH MUQADAM MIR’AJ 70X ITU MAKSUDNYA BAGAIMANA?”*

*”DISKUSI DENGAN MUKIBIN KRONIS KABIB KLAN BA’ALWI DI GRUP WHATSAPP”*  
Tema: *“FAQIH MUQADAM MIR’AJ 70X ITU MAKSUDNYA BAGAIMANA?”*

*JAMAAH A BERTANYA:*
Assalamualaikum warohmatulloohi wabarokaatuh 
Saya mau bertanya Al-Faqir ta'lamu
Kepada para Gus Muhibin atau Kyai Muhibin, atau juga mungkin para Muhibin Tulen, 
Kita mendengar bahwa Faqih Muqoddam ( Dedengkotnya Ba"lawi ) katanya pernah Mi'roj 70 x dalam semalam) 
Yang saya tanyakan adalah Apa yang Dia dapatkan dan apa hasil dari Isro mi'raj 70 X. ) berikan 1 saja hasil dari 70 X bolak balik ke Sidratul Muntaha. 
Coba yang merasa Muhibin di Group ini jelaskan. 
Demikian.


*MUKIBIN KABIB:*
Saya yang orang biasa saja mi'roj tiap hari minimal 5x. Kalau 70 mah bagi kalangan sholihin amat sangat sedikit, karna kabarnya ada yang sampai 100 bahkan 1000x sehari semalam
جاء في شرح الزرقاني على موطأ الإمام مالك، عند قوله -صلى الله عليه وسلم-: .....وخير أعمالكم الصلاة....

(وخير أعمالكم الصلاة): أي إنها أكثر أعمالكم أجرا، فلذا كانت أفضل الأعمال؛ لجمعها العبادات كقراءة وتسبيح وتكبير وتهليل، وإمساك عن كلام البشر، والمفطرات. هي معراج المؤمن، ومقربته إلى الله، فالزموها وأقيموا حدودها. انتهى.  

والله أعلم.


*JAWABAN JAMAAH A KEMBALI BERTANYA:*
Kalau ini jawaban yang pernah diutarakan Muhibin Berat Ba'lawi yaitu  Buya Yahya alias Ustadz Yahya. 
Kalau memang benar itu yang namanya sosok Faqih Muqoddam katanya pimpinan para Wali Muhibin, masa bolak balik 70 x tidak hasil apa apa. Katanya pimpinan Wali, Apakah Istilah Wali ( Tua Ning Gila ) artinya bolak balik Ning Gili Tarim , 70 x . ?


*JAWABAN JAMAAH B:*
Jawaban lo malah muter ke hal lain gan. di sini yang nanya jelas: kalau Faqih Muqoddam katanya Mi'raj 70 kali dalam semalam, apa hasilnya? Apa yang dia dapat dari bolak-balik 70 kali itu? Bukannya malah ngebahas shalat lima waktu atau Mi'raj-nya orang-orang biasa. Shalat memang disebut sebagai "Mi'raj-nya orang mukmin," tapi itu jelas berbeda konteksnya dengan Mi'raj ke Sidratul Muntaha kayak yang disebut Faqih Muqoddam.
Jadi, kalau bener Faqih Mi'raj 70 kali, harusnya ada satu aja hasil konkret yang bisa disebutkan, dong. Kira-kira apa yang dia bawa turun buat umat dari 70 kali naik-turun itu? Kalau tidak ada jawaban yang spesifik, ya orang jadi makin bertanya-tanya

*JAWABAN MUKIBIN KABIB*: Saya yang minimal 5 kali saja banyak mas hasilnya

*JAWABAN JAMAAH B:*
Begini, kawan. Kalau Mi'raj itu sama kayak sholat yang kita lakuin tiap hari, ya hasilnya buat pribadi masing-masing, dapet kedekatan sama Allah SWT. Tapi kalau seorang tokoh besar kayak Faqih Muqoddam diklaim bisa Mi'raj sampai 70 kali dalam semalam dan dianggap karomah, ya pasti orang bertanya-tanya: apa hasilnya buat umat?
Contoh paling jelas ya Rasulullah SAW, yang Mi'raj satu kali aja udah membawa perintah sholat buat seluruh umat Islam. Itu bukti nyata dan manfaatnya bagi semua orang, bukan hanya bagi beliau pribadi. Jadi kalau bener Faqih Muqoddam sampai ke Sidratul Muntaha berkali-kali, pastinya ada sesuatu dong yang bisa dibagi buat umat? Kalau cuma untuk diri sendiri, kok bisa disebut karomah yang luar biasa?

*JAWABAN MUKIBIN BA’ALWI:*  Coba baca  lagi ini:

جاء في شرح الزرقاني على موطأ الإمام مالك، عند قوله -صلى الله عليه وسلم-: .....وخير أعمالكم الصلاة....

(وخير أعمالكم الصلاة): أي إنها أكثر أعمالكم أجرا، فلذا كانت أفضل الأعمال؛ لجمعها العبادات كقراءة وتسبيح وتكبير وتهليل، وإمساك عن كلام البشر، والمفطرات. هي معراج المؤمن، ومقربته إلى الله، فالزموها وأقيموا حدودها. انتهى.  

والله أعلم.

*JAWABAN JAMAAH B:*
Oke, gue ngerti maksud lo mau ngejelasin kalau sholat itu "Mi'raj-nya orang mukmin," dan jelas sholat punya nilai besar buat mendekatkan diri kita kepada Allah. Tapi masalahnya, yang ditanya tentang bukan keutamaan sholat secara umum.
melanjutkan pertanyaan diatas mengenai hal spesifik soal klaim Mi'raj Faqih Muqoddam yang katanya 70 kali dalam semalam ke Sidratul Muntaha. Kalau Mi'raj itu dianggap karomah dan kejadian luar biasa, pasti ada sesuatu yang berbeda dari Mi'raj biasa, dong. Apalagi kalau sampe ditulis di kitab dan jadi cerita turun-temurun.
Jadi yang jadi tanda tanya tuh begini: kalau Rasulullah SAW Mi'raj dengan hasil membawa perintah sholat buat umat, kira-kira Faqih Muqoddam bawa apa buat umat dari 70 kali bolak-baliknya? Kalau cuma kayak sholat harian, ya itu kan buat kepentingan pribadi, bukan sesuatu yang perlu diceritakan sebagai karomah khusus.

*JAWABAN JAMAAH C :*
Saya memahami sysrah azzarqoni tsb, bahwa sholat adalah amaliyah terbaik sehingga sholat bisa menjadi tangga (معراج) atau media bagi mu'min utk fokus tawajjuh (bersifat spiritual) kepada Allah, sehingga dgn sholat itu mu'min lebih mendekatkan dirinya kepada Allah. 
Mi'raj disitu bukan mi'raj seperti Nabi bersama Buroq ke sidratul muntaha atau mirojnya faqih muqoddam ke sidratul muntaha bersama keledainya tapi menjadikan sholat sbg media alat mendekatkan diri kepada Allah
Ini yg logis menurut saya.
Wallahu a'lam..
معراج المؤمن
Kalau saya blm level mu'min... Jadi blm bisa mi'raj

*JAWABAN JAMAAH D :*
Itu sih miraj maksudnya sholat, jika sampai maqomnya mk ruhnya bisa miraj ke atasnya sidratul muntaha.
Kalo faqih muqoddam dlm kitab internal baklawi dijelaskan dia miraj 70c beserta raganya, jadi itu jelas bermaksud menyamai Nabi SAW.. bahkan melampaui dgn jumlah 70x.. sedang data Nabi SAW miraj+ raga 1x saja


*JAWABAN MUKIBIN KABIB:* Inimah wali songo juga bisa 🤣🤣, Kalau ada yang bilang walisongo gak bisa namanya pelecehan, Minta dalil A dikasih minta malah minta dalil B. , Udah dikasih malah lompat minta dalil F, Tuh kan bodohnya pada nongol
🤣🤣🤣

*JAWABAN JAMAAH B:*
Oke, kita gali lagi lebih dalam ya, biar makin paham.
Pertama-tama, kita tahu bahwa Rasulullah SAW cuma satu kali aja Mi'raj seumur hidup. Mi'raj ini bukan main-main, Allah SWT sendiri yang ngatur perjalanan ini dengan tujuan yang sangat spesifik dan luar biasa. Beliau naik ke Sidratul Muntaha pakai buraq—kendaraan yang Allah siapkan khusus untuk perjalanan yang tidak mungkin dijangkau manusia biasa. Nah, hasil dari Mi'raj Rasulullah SAW ini juga jelas banget: beliau membawain perintah sholat untuk kita, yang akhirnya jadi tiang agama dan punya kedudukan khusus dalam ibadah.
Sekarang, kita bandingin sama klaim tentang Faqih Muqoddam dari klan Ba'alwi, yang katanya bisa Mi'raj sampai 70 kali dalam semalam. Dan bukan cuma itu, dia disebut-sebut Mi'rajnya naik keledai! Pertanyaan pertama yang langsung muncul: kalau Mi'raj ini hanya simbol amaliyah sholat, kenapa ada detail sampai 70 kali? Terus kenapa harus ada cerita tentang kendaraan keledai sebagai prasarana seperti buraq? Bukankah seharusnya kalau memang itu cuma amaliyah sholat, nggak perlu embel-embel kayak gitu?
Kalau ada yang bilang Mi'raj-nya Faqih Muqoddam ini cuma simbol atau lambang dari sholat, kita masih punya pertanyaan lain: keledai itu simbol apa dong? Kalau perjalanan Faqih Muqoddam ini memang punya makna spiritual, kok pake keledai buat perjalanan ke tempat setinggi Sidratul Muntaha? Rasulullah SAW aja, dengan keistimewaan yang Allah kasih, Mi'rajnya pakai buraq, kendaraan yang nggak ada bandingannya di dunia ini. Jadi, kalau keledai ini memang punya makna simbolis, maknanya apa ya?
Kita juga bisa melihat dari hasil Mi'raj Rasulullah SAW, yang berdampak langsung bagi umat Islam. Mi'raj beliau bukan sekadar perjalanan pribadi, namun menghasilkan perintah sholat yang membawa kebaikan besar bagi umat. Nah, kalau ada klaim Faqih Muqoddam Mi'raj sampai 70 kali, harusnya ada manfaat besar juga buat umat, bukan? Tapi, kalau hanya buat cerita yang tidak punya makna nyata atau manfaat buat orang banyak, kesannya malah kayak dongeng yang susah dinalar.
Jadi, kalau Mi'raj Faqih Muqoddam hanya sekedar amaliyah sholat biasa, kenapa dibikin sampai 70 kali bolak-balik ke Sidratul Muntaha dan pakai keledai? Ini yang membuat cerita itu tampak aneh. Kalau cuma buat sendiri, ya nggak perlu diungkit sampai detail banget kayak gini.


*JAWABAN MUKIBIN KABIB*: Bagus, sudah bisa ngarang 🤣🤣🤣

*JAWABAN JAMAAH B:*
Ketika anda mengetik ini:” Minta dalil A dikasih minta malah minta dalil B. , Udah dikasih malah lompat minta dalil F, Tuh kan bodohnya pada nongol”, OK, jadi sudah clear ya,
Anda ngetik komentar di grup cuma mau ngomongin diri sendiri….🤣



Krik…krik…krik….kriik.. (HENING SEKETIKA…)

*AKHIR KATA:* 
Untuk menyusun kesimpulan tentang klaim Faqih Muqoddam yang dikatakan melakukan Mi'raj 70 kali dalam semalam menggunakan keledai/donkey, kita harus kembali ke pemahaman dasar ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah (ASWAJA) yang selalu menghormati dan memuliakan kisah-kisah yang berhubungan dengan Rasulullah SAW. Mi'raj Nabi Muhammad SAW adalah salah satu mukjizat terbesar yang hanya terjadi sekali dalam hidup beliau, di mana ia diperjalankan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha dengan buraq, makhluk khusus dari surga yang dipersiapkan untuk perjalanan itu.
Buraq ini memiliki makna yang dalam, sebagai simbol keagungan dan keistimewaan perjalanan Rasulullah SAW. Mukjizat Mi'raj menghasilkan perintah sholat lima waktu, yang menjadi kewajiban penting bagi umat Islam, dan ini memiliki makna besar dalam spiritualitas kita.
Mengklaim bahwa seorang tokoh seperti Faqih Muqoddam melakukan Mi'raj 70 kali dalam semalam menggunakan keledai/donkey dapat menimbulkan permasalahan yang serius. Pertama, ini tidak bisa dimaknai sebagai sholat, karena tidak ada dalil atau referensi dari para ulama ASWAJA yang mendukung interpretasi semacam ini. Kedua, hal ini berpotensi menjadi bentuk merendahkan atau merendahkan Nabi Muhammad SAW, karena mukjizat Mi'raj adalah keistimewaan yang diberikan kepada beliau saja, dengan cara yang sangat mulia.
Sebagai referensi, para ulama Ahlus Sunnah, seperti Imam Nawawi dan Imam al-Ghazali, selalu menekankan pentingnya menjaga kehormatan Rasulullah SAW dan menaati ajaran yang jelas berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Syarah Shahih Muslim , Imam Nawawi menjelaskan bahwa mukjizat Nabi Muhammad SAW tidak bisa disamakan atau dibandingkan dengan kejadian spiritual biasa yang dialami oleh orang lain, apalagi jika menggunakan simbol-simbol yang kurang memiliki makna spiritual, seperti keledai.
Oleh karena itu, ajaran seperti ini dari klan Ba'alwi dapat dianggap sebagai penyimpangan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ISLAM ASWAJA. Penggunaan klaim luar biasa ini tidak hanya melemahkan makna spiritual yang benar, tetapi juga berpotensi melemahkan keistimewaan Rasulullah SAW dan mukjizat Mi'raj beliau. Kita sebagai umat harus berhati-hati dan harus berpegang teguh pada ajaran yang sesuai dengan Al-Qur'an, Hadis, dan interpretasi yang sahih dari para ulama Sunni ASWAJA.