MUTIARA ILMU: SEJARAH MALEM SELIKURAN

Rabu, 20 Maret 2024

SEJARAH MALEM SELIKURAN



Malem Selikuran merupakan tradisi ritual Islam Jawa yang dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk masyarakat Kraton Kasunanan Surakarta. Malem selikuran berasal dari bahasa Jawa yang berarti malam ke-21. 

Malem artinya malam, selikuran artinya dua puluh satu. Secara istilah malem selikuran adalah malam ke dua puluh satu dalam bulan ramadhan.

Tradisi adaptasi ajaran Islam dalam kebudayaan Jawa ini merupakan ajaran Walisongo dalam rangka Islamisasi Jawa. Tradisi sinkretis ini kemudian pada era Sultan Agung menemukan bentuknya yang lebih baku, yaitu dikombinasikannya penanggalan Arab Islam dan Jawa serta pembakuan beberapa ritual Islam dalam bingkai kebudayaan Jawa.

Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah raja Mataram yang banyak memberikan warna Islam di Jawa. Pribumisasi Islama model Sultan Agung ini kemudian dilanjutkan oleh Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman.

Di antara tradisi yang dikembangkan Sultan Agung adalah tradisi menyambut lailatul qadr. Tradisi malem lailatul qadr berisi ritual keagamaan yang digelar pada tiap-tiap malam ganjil di 10 malam terakhir bulan Ramadhan. 

Tradisi malem lailatul qadr ini kemudian disebut sebagai tradisi malem selikuran. Dengan demikian, jelas bahwa secara historis, tradisi malem selikuran dilakukan pertama kali oleh Sultan Agung. 

Disebut malem selikuran karena tradisi lailatul qadr diawali pada malam ke-21 bulan Ramadhan. Akan tetapi, dalam perjalanannya, tradisi malem selikuran mengalami pasang surut, dan di Kasunanan Surakarta mulai dikembangkan lagi sejak Sri Susuhunan Pakubuwono IX. 

GPH Poeger, mengatakan bahwa tradisi malem selikuran dikembangkan kembali sejak Pakubuwana IX (wawancara 30 September 2011).
Tradisi malem selikuran kemudian dilanjutkan oleh Pakubuwono X hingga dewasa ini. 

Pada era Pakubuwana IX dan X dikenal sebagai era Jawanisasi Islam yang ditandai dengan penguatan dan pembakuan upacara tradisional pemerintahan maupun keagamaan, termasuk tradisi malem selikuran. 

Bahkan, cara dakwah dan khotbah yang semula bercorak Arab diubah menjadi bercorak Jawa. Khotbah-khotbah kemudian juga menggunakan bahasa Jawa (Adnan, t. th: 15)
Hal ini berbeda dengan sejarawan dari UNS yang mengatakan bahwa pengembangan kembal tradisi malem selikuran dimulai lagi pada era Pakubuwanan X. 

Dosen Ilmui Sejarah UNS, Tandjung W. Sutirto mengatakan :
Nanging tradhisi kasebut ngalami pasang surut ing antarane ganti panguwasane nata ing Surakarta. Tradhisi maleman kuwi wiwit ngrembaka gedhe nalikane Kasunanan ingkang jumeneng Sri Susuhunan Paku Buwono X. Nganti tumekane saiki tradhisi maleman kalestarekake kanthi becik senajan ora mesthi kanthi arak-arakan gedhen (Solopos, 26 Agustus 2011).

Akan tetapi, tradisi tersebut mengalami pasang surut pada setiap pergantian kekuasaan di Surakarta. Tradisi tersebut kemudian berkembang dengan baik ketika pemerintahan dipegang oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X. Sampai sekarang tradisi maleman dilestarikan dengan baik walaupun terkadang tidak dengan pawai besar).

Tradisi malem selikuran pada era Pakubuwono X dilakukan dengan pembacaan doa keselamatan kepada Allah SWT dengan ubo rampe yang disebut tumpeng sewu sebanyak 1000 buah untuk dibagi-bagikan kepada abdi dalem dan masyarakat.

Upacara dilakukan di Masjid Ageng Surakarta. Setelah dibacakan doa di Masjid Agung, tumpeng dibawa oleh para abdi dalem dengan arak-arakkan (pawai) jalan kaki dengan menggunakan lampu (ting) menuju lapangan Sri Wedari.

Sejak Pakubuwana X, event kirab malem selikuran yang diselenggarakan Kraton Kasunanan dengan lampu ting dan 1000 tumpeng menuju Sri Wedari untuk memperingati Nuzulul Qur’an (Ariyanto: 2011, 83). 

Baru dua tahun ini pihak kasunanan memindah arah arak-arak tumpengan yang semula dari kraton menuju Sri Wedari, tetapi sejak 2011 dan tahun 2012 ini, arak-arakan tumpengan menuju MAsjid Agung Surakarta. Pada tahun 2012 ini juga terjadi sejarah baru tradisi malem selikuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surakarta. Proses tradisi malem selikuran Pemkot berangkat dari Kantor Pemerintah Kota Surakarta menuju taman Sri Wedari dengan prosesi yang juga bercorak tradisional.

Lampu ting mewujudkan simbol cahaya yang remang-remang sebagai media mengingatkan pada keremangan malam ketika Rasulullah turun dari Jabal Nur seusai menerima wahyu. 

Para sahabat menyambut Rasulullah menyambut dengan penerangan obor. Ting adalah simbol penerangan (cahaya), sedangkan sinarnya yang redup menggambarkan napak tilas Nabi di Jabal Nur.
Sejak dulu sampai sekarang, tradisi malem selikuran mendapat antusias yang luar biasa dari masyarakat di Vorstenlanden (Koentjaraningrat: 1989, 370).

 Akan tetapi, spirit malem selikuran sudah banyak yang dilupakan dan tidak dimengerti oleh masyarakat saat ini. Saat ini, tradisi sinkretik tersebut, oleh masyarakat pada umumnya, lebih dipahami sebagai sekadar ritual seremonial dan bahkan hanya sebagai pasar malam dan hiburan.

Tradisi malem selikuran sebenarnya tidak sebesar tradisi grebeg yang lain seperti grebeg Maulud, grebeg Pasa (1 Syawal), grebeg Besar (Sajid, t. th.: 53). Tradisi malem selikuran walaupun termasuk grebeg yang kemudian sering disebut maleman (malam dua puluh satu ramadhan), namun formalitasnya tidak seperti grebeg-grebeg resmi dan pisowanan formal yang lain. 

Hal ini tampak dalam beberapa buku tentang kraton yang hanya sedikit menyebut tradisi selikuran ini. Hal ini menandakan bahwa tradisi malem selikuran bukan sesuatu yang pokok dalam struktur pemerintahan Kraton Kasunanan Surakarta. 

Bahkan, di dalam arsip-arsip dokumen Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 juga tidak disebut-sebut adanya tradisi malem selikuran (Margana, 2003). 

Hal ini memperkuat asumsi bahwa tradisi malem selikuran merupakan kreasi baru. Namun, dari sisi transformasi sosial dan media dakwah, tradisi malem selikuran memiliki fungsi yang sama dengan grebeg Sekaten. Hanya saja, landasan hiostoris grebeg Sekaten lebih kuat dari pada tradisi malem selikuran.

Dengan kata lain, tradisi malem selikuran, walaupun memiliki makna sosial keagamaan yang dalam, namun lebih sebagai tradisi sekunder di Kraton Kasunanan jika dibanding dengan grebeg-grebeg yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar